Minggu, 26 Februari 2012

Novel Doremi Jingga ( Part 1 )


Nightmare

Langkah gontai yang tak terarah yang terus berjalan menapaki satu demi persatu jejak yang ada. Hanya dengan berlampiaskan piama yang menutupi tubuh melindungi dari hawa dingin yang kian menusuk jantungku. Awan gelap yang serasa akan siap menerkamku kapan saja dengan suara gemuruh yang kian memekakkan telingaku. Seperti tak memedulikan keadaan yang ada, aku terus berjalan tanpa tujuan.
          Kaki ini terus dan terus melangkah dengan pasti mengikuti kata hati yang berbisik untuk mengajakku ke suatu tempat yang aku tak tau tepatnya dimana. Langkahku terhenti ketika aku mendapati diriku berada ditengah padang yang luas dan tak berpenghuni. Dimana aku ? mengapa aku bisa berada disini ? Hanya pemandangan kosong dan hampa yang terlihat dimataku.
          Aku berusaha mencari tahu dimana keberadaanku. Bola mataku tak pernah berhenti berputar melihat keadaan disekelilingku. Dengan lihai dan penuh dengan tanda tanya berputar untuk menemui sesuatu yang berarti disini. Dan aku lelah untuk berusaha temukan sisa – sisa kehidupan disini. Daerah kosong yang tak berpenghuni layaknya seperti kota mati.
          Ketakutanku kian memuncak mendapati diriku yang sendiri. Mungkinkah aku tersesat ? Lalu dimana jalan keluar dari tempat ini ? Aku merasa takut, sepi dan kesendirian yang terus menyelimuti diriku yang tak berdaya telah tertunduk lemah diatas rerumputan ini. Arrghh... aku lelah, aku penat untuk bangkit lagi. Aku ingin keluar dari ketidakpastian ini.
          “ Bangun Debra ! “ Suara itu seperti sudah tak asing lagi bagiku. Suara lembut yang membuat kedamaian dihatiku. Tapi mungkinkah itu dia ? Ahh.. tidak mungkin dia ada disini. Aku sendiri.... dan tiada satupun orang yang ada selain aku. Aku terlalu lelah untuk bangkit.
          “ Debra.. Ayo ! “ suara itu makin terdengar jelas dan semakin dekat denganku. Aku belum yakin akan hal ini. Terlalu lelah untuk mencerna semua yang ada dihadapanku. Yang aku inginkan sekarang hanyalah keluar dari tempat yang mengerikan ini.
          “ Debra... Ayo bangun ! “ dan sekarang bukan hanya suara yang begitu dekat denganku. Karna suara itu datang bersamaan dengan uluran tangannya yang mengajakku untuk bangun dan berdiri. Dan mungkin ini sudah saatnya aku mengikuti ajakannya. Aku mencoba menengadahkan kepalaku keatas untuk memastikan bahwa seseorang yang ada dihadapanku adalah benar dia. Dan untuk kemudian aku mendapati sebuah wajah yang begitu kukenal.
          Wajah yang begitu berseri dengan senyum tipis yang penuh kehangatan darinya. Dengan pakaian putih dan bersih membaluti dirinya yang berdiri tegak dihadapanku. Seperti mendapati seseorang yang begitu putih dan suci layaknya seperti mereka berada dikehidupan yang berbeda denganku. Mereka yang berada bukan dikehidupan yang nyata.
          “ Yoga ?? “ nama itu keluar dari mulutku memastikan bahwa memang dia yang sedang berdiri dihadapanku.
          “ Ya.. aku ! Ayo bangkitlah sayang, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
          Suatu tempat ? Tempat apalagi yang bisa ditemui disini ? Bagiku tempat ini begitu kosong dan tak kan ada lagi sesuatu yang berarti disini. Lalu apa yang dimaksud Yoga ? Mungkin sebaiknya aku memang harus mengikuti dia yang jauh lebih tau tempat ini daripadaku. Aku bangkit dan berdiri disampingnya, untuk kemudian berjalan mengikutinya.
          “ Lihat rumah itu ! “ suara Yoga menyuruhku untuk mengarahkan pandanganku ke rumah kecil nan indah yang berada didepanku.
          “ Aku ingin kesana, aku ingin menyusul lelaki tua yang sudah lama menetap dirumah kecil itu. Aku ingin menemaninya yang sudah setahun lebih hidup sendiri disana “ tutur Yoga sambil menunjuki lelaki yang sedang duduk santai sambil membaca koran dengan secangkir kopi yang berada dimeja sampingnya.
          Aku mengenal rumah kecil ini, tapi ini tak mungkin. Rumah ini masih berdiri dengan kokoh dan indah. Tak ada tampak hitam didindingnya atau bekas – bekas tanda kebakaran yang telah menghanguskannya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi ? Ini adalah rumahku. Rumah yang sedari kecil sudah kutempati bersama keluarga kecilku, Ayah, Bunda dan Chiko kakakku satu – satunya. Ini sudah setahun lebih dari kejadian itu. Kejadian yang telah merenggut nyawa Ayahku. Kejadian yang telah membuat semua hidupku kacau dan berubah menjadi sangat buruk.
          Dan siapa laki – laki yang duduk disana ? Dan mengapa Yoga ingin menemani laki – laki itu ?
Aku berjalan menghampiri laki –laki tua yang sedang duduk dengan koran dikedua tangannya. Ku ambil korannya yang sedari tadi menutupi wajahnya. Ku mencoba mencari tahu siapa laki – laki yang dimaksud Yoga.
          “ AYAH......???!!!”
          Laki – laki itu hanya tersenyum simpul lalu berdiri menciumi keningku. Terasa dengan jelas kehangatan yang diberikannya. Aku masih terdiam tak mengerti dengan semua yang terjadi ini. Ini seperti suatu hal yang tak mungkin terjadi. Aku merasakan kembali kehangatan Ayahku yang sudah meninggal setahun lebih yang lalu karena peristiwa kebakaran itu. Aku mengalihkan pandanganku ke Yoga, berharap dia akan memberikan penjelasan kepadaku tentang arti dari semua ini. Dan seketika aku menatap Yoga dengan penuh tanda tanya, dia tersenyum dan mengatakan....
          “ Aku ingin menyusul Ayahmu dan hidup tenang bersamanya “
                  
                                                          ***

Aku ingin engkau slalu...
Hadir dan temani aku..
Disetiap langkah yang meyakiniku
Kau tercipta untukku..
Sepanjang hidupku

          Aku tersentak dari tidurku mendengar nyanyian lagu dari band kesayanganku-Ungu. Nada dering ini kupasang khusus menandakan panggilan dari Yoga, kekasihku. Ku ambil ponselku yang terletak di meja yang tak jauh dari tempat tidurku. Dengan kepala yang masih terasa berat karena tak sepenuhnya sadar dari tidur panjangku tadi.
Kuperbaiki suaraku terlebih dahulu sebelum aku menjawabnya, sebab aku tak ingin suaraku terdengar hancur dari seberang karna pita suaraku masih belum bekerja dengan sempurna setelah tertidur cukup lama. Sebelumnya aku juga ingin, memperbaiki wajahku terlebih dahulu, karna aku tau pasti sungguh sangat berantakan setelah bangun tidur ini. Tapi kuurungkan niatku, karna toh gag ada gunanya, dia juga tidak bisa melihat apa yang terjadi pada diriku sekarang ini. Dia hanya bisa mendengar suaraku, bukan melihatku.
          Okey..! mungkin ini terlalu lama aku berdiam diri memikirkan hal seperti itu. Diseberang sana, pasti juga sudah lelah menunggu jawab dari ku. Tanpa harus memikir terlalu lama lagi, ku angkat ponselku tanpa harus mengecek kembali siapa yang meneleponku.
          “ Hallo..” suaraku masih terdengar sangat kacau, walau aku sudah mencoba untuk memperbaikinya tadi.
          “ Pagi sayang... Masih tidur ya ? Bangun gi.. siap - siap buat sekolah. Aku yang jemput kamu ya sekarang, gak usah pergi ma Chiko dulu hari ini. Okey ? “ jelas Yoga yang langsung menyampaikan tujuannya meneleponku di pagi buta ini
          “Hmm... yia, aku mau siap – siap dulu “ jawabku dengan singkat.
          “ Okey... See u baby ! Love you...” kata – kata yang selalu menjadi penutup setiap Yoga meneleponku.
          Kututup ponselku tanpa membalas ucapan dari Yoga. Kepalaku masih terasa sangat berat. Dan rasanya malas untuk bangkit dari tempat tidurku. Dan untuk sejenak aku terdiam, mengingat kejadian di mimpiku tadi. Entah itu mimpi buruk atau sebaliknya. Mimpi dimana aku merasakan kembali kehangatan Ayahku yang hingga detik ini aku masih sangat merindukannya. Aku merasa senang bisa bertemu kembali dengannya di mimpiku tadi. Tapi katakutan itu pun sontak hinggap di pikiranku, menyangkut tentang ucapan Yoga dimimpiku.
          Apa maksudnya mengatakan semua itu ? Apa benar dia akan menyusul Ayahku ? Yang berarti pertanda bahwa dia juga akan meninggalkanku untuk selamanya. Oh.. Tuhan ! Jangan sampai itu terjadi lagi untuk waktu yang begitu cepat. Aku belum terlalu pulih dari kesedihanku untuk menerima kenyataan bahwa Ayah yang sangat kucintai telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Dan jangan biarkan aku merasakan kembali kehilangan seseorang yang begitu sangat kucintai untuk kedua kalinya. Kehilangan kekasihku, Yoga. Entah apa jadinya aku nanti, bila sesuatu yang buruk itu benar – benar terjadi.
          “ Debra, kamu sudah bangun sayang ? “ sapa Bundaku yang setiap pagi selalu membuka pintu kamarku untuk membangunkanku.
          “ Ya Bunda, aku sudah bangun “
          “ Kalau gitu, ayo cepat mandi, siap – siap untuk sekolah. Jangan sampai kamu bikin kakakmu marah lagi karena selalu terlambat bangun dan membuat dia juga ikutan terlambat ke sekolah “ tutur Bunda dengan panjang lebar menasihatiku supaya terbebas dari amarahnya kakakku yang satu itu.
          “ Hmm.. hari ini aku pergi sekolah dengan Yoga, Bun. Jadi bilang aja ke Chiko kalau dia boleh duluan berangkat “
          “ Ya sudah bunda akan bilang. Kamunya mandi gi, bunda tunggu sarapan dibawah “
          “ Ya bun... “ sahutku.
          Aku masih berdiam diri duduk di tempat tidurku yang empuk, jauh berbeda dibandingkan dengan tempat tidur dirumahku yang dulu. Aku menatap semua yang ada dikamarku. Benda – benda mewah dan beharga tinggi dengan kualitas yang tidak perlu diragukan lagi. Fasilitas yang lengkap dan tertata rapi dikamarku.
Keadaan yang sangat jauh berbeda dibandingkan kamarku yang dulu. Mungkin hanya ada satu persamaan diantaranya, poster Ungu band yang masih terpajang didinding dan photo – photo ku bersama personil Ungu.
          Dan kini, keadaan semuanya telah berubah. Aku di kehidupanku yang baru. Kehidupan yang mungkin didambakan setiap orang. Hidup yang serba berkecukupan.  Yang bisa mendapati semua yang kau inginkan. Kehidupan yang membuat semua orang betah didalamnya. Tapi tidak bagiku. Aku tidak menyukai dan menginginkan kehidupan sekarang. Aku lebih menyukai hidup yang sederhana walau hanya dirumah yang begitu kecil. Karena disanalah aku menemukan kebahagiaan yang takkan pernah bisa tergantikan oleh apapun.
                                                          ***
“ Weew... Si pesek udah siap aja ni. Biasanya masih ngolor jam segini “ sapa Chiko, kakakku satu – satunya yang tak pernah absen untuk menjahiliku.
          “ Bisa gak sih sehariii aja berhenti panggil gue pesek ??!! Hidung gue juga gak pesek – pesek amat. Yiaa standart lah, hidung orang Indonesia. Jadi nggak perlu sampai segitunya ngeledek gue  “ balasku dengan ketus, terhadap panggilan yang katanya panggilan sayang dia untukku. Hmm.. bagiku itu bukan panggilan sayang. Aku tetap saja kesal bila mendengar kata – kata itu disebut.
          “ Nggak bisa.. !! lagian kata siapa hidung lo standart orang Indonesia, yang standart tu kayak gue ni, kalo lo mah namanya pesek “
          “ Standart aja bangga...” celetukku
          “ Biarin daripada lo..! “
          “ Bodo ! Pesek – pesek gini gue juga punya cowok. Daripada lo, mpe sekarang gak laku - laku. Yieee...!!” jawab ku sambil ngeledek balik dia.
          “ Diiiih... lo gak tau aja, sebenarnya banyak yang mau jadi cewek gue, tapi gue tolak. Karena gue mang lagi malas pacaran “
          “ Ooow yiaa ?? masa ??! yia jelas lah lo tolak, orang yang naksir lo pada gak bener semua. Hancuuurr !! sama kayak lo ! “
          “ Enak aja lo..!!” balas Chiko yang langsung menimpuk ku dengan bantal yang ada di sofa. Dan tentu aku pun membalas perbuatannya itu. Dan aksi saling lempar bantal pun terjadi diantara aku dan dia. Suasana pagi itu pun menjadi gaduh, karena ulah kami berdua. Yia memang begitulah kalau aku dan Chiko telah bersama. Kami bisa melakukan aksi yang gila sekalipun. Dan tentunya itu, hanyalah pertengkaran kakak-adik yang rukun dan saling menyayangi. Karna ada pada saatnya kami begitu akur dan kompak. Hmm.. nanti kamu juga tau, pada saat apa hal itu terjadi.
          “ Udah – udah ! Berantem mulu tiap pagi. Ayo dimakan ni sarapannya ! “ seru Bunda yang mengakhiri pergelutan ku dengan kakak yang resek satu itu.
          “ Yia bun.. ini ni. Resek banget jadi orang !”
          “ Sama.. lo juga !” balas Chiko sambil memencet hidung ku. Membuatku semakin kesal karna perbuatannya daritadi.
          “ Aww... sakit bodoh !” jawab ku dengan nada suara kesal.      
Pagi anak – anak ! “ sapa seorang laki – laki separuh baya yang menghampiri meja makan, dengan pakaian rapi layaknya seperti Bapak – bapak yang mau pergi kerja kantoran.
          “ Pagi !” jawab kami kompak dengan raut wajah yang langsung berubah semeraut. Jelas memperlihatkan ketidaksukaan kami pada lelaki yang satu itu.
          “ Gimana ? Ada cerita yang menarik dari sekolah kalian ? “ tanya lelaki itu sambil memberikan senyuman yang manisnya pada kami berdua.
          “ Belum juga berangkat, apanya yang menarik ? “ tutur Chiko dengan nada yang sinis.
          “ Tiiit...Tiiiit....” suara klakson mobil berbunyi dari luar rumahku. Dan ini kesempatan yang baik bagiku, untuk bisa mengakhiri makan pagi yang garing ini karena harus satu meja dengan laki – laki tua ini.
          “ Aku berangkat duluan yia.. Yoga udah dateng  jemput. Daah.... “ tuturku sembari langsung keluar dari rumah tanpa harus pamit dulu kepada lelaki itu.
          “ Loh.. trus gue ma siapa ? Kok main dulu –duluan aja sih sek ? “ tanya Chiko ketika aku langsung meluncur keluar rumah.
          “ Bodoo... ! Pergi aja ndiri ! Makanya punya pacaaar! “ seruku dari luar rumah menyahuti omongannya.
          “ Sialan lo ! “ terdengar suara Chiko dari dalam rumah yang kesel dengan ucapanku.
          Aku memang sengaja ingin cepat – cepat keluar dari rumah yang besar dan mewah itu. Bila didalamnya aku harus bersama dengan lelaki separuh baya itu, Dirwanto. Seorang Direktur di sebuah perusahaan terkenal di Jakarta. Yang kini menjadi ayah tiri kami berdua. Setelah kejadian yang merenggut nyawa Ayah kandungku itu, tidak lama lagi Ibu menikah dengan laki – laki ini. Mungkin hanya selang waktu 3 bulan dari kejadian yang menggenaskan itu. Ibu langsung meminta persetujuan kami agar ia bisa menikah dengan seorang Direktur ini. Dengan alasan bahwa dia adalah laki – laki yang baik yang bisa menjadi Ayah bagi kami berdua.
Harta, ya aku bisa mengerti. Inilah tujuan Ibu sebenarnya disamping memberikan kami alasan yang bodoh itu. Dirwanto yang mempunyai segalanya bisa menggantikan semua harta kami yang telah hangus terbakar atau jelas saja bisa memberikan yang lebih daripada itu. Aku tau tujuan Ibu dibalik semua ini hanyalah ingin membahagiakan kami anaknya. Ibu memang hanya seorang Ibu rumah tangga, yang selama ini hanya menunggu nafkah dari suaminya. Jadi mana mungkin Ibu bisa memberikan kehidupan yang baik pada kami setelah kejadian itu. Makanya ibu memohon kepada kami agar menyetujui lamaran dari sang direktur itu.
Kami berdua sangat dekat dengan Ayah. Kami sangat menyayangi Ayah, hingga sampai sekarang aku dan Chiko belum bisa menerima kehadiran siapapun didalam keluargaku yang hendak menggantikan posisi Ayah. Tapi demi Ibu, kami mau menerima lelaki itu, walau tidak sepenuhnya.
          Kehidupan aku dan keluargaku dulu memang tidak sebaik sekarang. Kami adalah keluarga yang sederhana, tetapi sangat rukun dan harmonis. Karena kami punya jalinan cinta yang kuat. Setelah kematin ayah, kehidupan kami berubah.Karena semenjak Bunda menikah dengan lelaki kaya itu setahun yang lalu, membawa pengaruh besar dalam kehidupanku terutama di bidang materi. Aku jadi punya segalanya, rumah yang mewah, dan hal – hal lainnya yang belum pernah ku miliki sebelumnya. Tapi hal itu lantas tidak membuat aku dan Chiko menyukai kehidupan kami yang sekarang. Kami lebih memilih hidup dalam kesederhanaan seperti dahulu, daripada hidup dengan bergelimangan materi seperti ini.
          Dirwanto juga selalu bersikap baik pada kami berdua. Dia menyayangi kami layaknya seperti anak kandungnya sendiri. Tapi entah mengapa, aku dan Chiko tetap saja tidak menyukai laki – laki ini. Entah karena kami yang belum siap dengan kehadiran Ayah baru, atau memang karna ada suatu kejanggalan yang kami rasakan. Entahlah.. mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya.




Something Hard To Tell   

“ Chiko gak marah kan kalo hari ini kamu pergi sama aku ? “ tanya Yoga membuka pembicaraan ketika aku baru masuk menaiki mobilnya.
          “ Nggak kok, lagian bodo amat. Mau dia marah kek, mau nggak, aku nggak peduli sama cowok resek itu “
          “ Resek – resek kan juga kakak kamu, kamu juga sayang kan sama dia ? “ balas Yoga sambil terus menyetir mobilnya melaju meninggalkan rumahku.
          “ Ya iya lah sayang, namanya juga kakak satu – satunya “ tuturku
          “ Ya makanya, jangan berantem mulu dong “ kata Yoga yang sering memberikan nasehat dan masukan padaku.
          “ Berantem itu bumbu manisnya, sama kayak pacaran. Pacaran kalau nggak ada berantemnya kan kurang seru. Bagaikan sayur tanpa garam... hehe” balasku sambil nyengir memandangi wajah lembutnya yang sangat kusuka.
          “ Hehe.. ketawa lagi . Nggak ada yang lucu juga “ balas Yoga sambil memencet hidungku yang sedari tadi nyengir sambil memandang wajahnya.
          “ Aduuh... kenapa sih ? Pada seneng banget deh mencet hidungku. Nggak ngerasain sakitnya apa...? “ tuturku kesal, tapi seneng  juga sih kalau yang mencet Yoga. Kalau Chiko mah, mendingan nggak.
          “ Ya habis pesek sih... coba kalau mancung, nggak akan digituin. Kan tujuan kita mencet kan baik, biar hidungnya mancung. Hehehe “ jawab Yoga sambil ketawa memandangiku yang merengek kesakitan karnanya.
          “ hehe.. ketawa lagi. Nggak lucu “ balasku membalikkan kata – katanya tadi.
          “ Diih... malah balikin kata – kata orang. Hmmm.... ngambeeek.. Susah ya pacaran ma anak kecil. Tiada hari tanpa ngambek “ tutur Yoga sambil berusaha membujukku yang cemberut padanya. Sebenarnya aku nggak ngambek sih ma dia. Tapi pura – pura aja, akting gitu biar digodain dan dibujuk terus sama dia. Hahaha.. salah satu taktik cewek buat cari perhatian. :p
          Sepanjang perjalanan Yoga terus merayuku, membujuk ku supaya nggak marah lagi sama dia. Aku senang dengan suasana seperti ini. Karna moment inilah aku slalu mendapat perhatian dan kasih sayang yang ditunjukan Yoga padaku.Perhatian dari seseorang kekasih yang setahun diatasku. Yoga menduduki bangku kelas tiga, sama seperti Chiko. Sebelum menjalin hubungan denganku, Yoga berteman baik dengan Chiko, bahkan boleh dibilang mereka bersahabat. Tapi bukan berarti sekarang setelah aku berpacaran dengan Yoga, mereka berdua tidak bersahabat lagi. Mereka tetap dekat, bahkan sangat dekat. Layaknya seperti sahabat yang takkan pernah terpisahkan.
          Perhatian Yoga yang membuatku tidak ingin jauh darinya. Dia yang selalu memberikanku semangat. Tutur katanya yang halus dan lembut, membuatku selalu nyaman dan betah disampingnya. Dia selalu menjadi sandaran bagiku, apapun masalah yang aku hadapi, aku selalu cerita padanya. Dan dia pun juga senantiasa memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat dan menjadi jalan keluar bagi setiap masalah yang kuhadapi. Tidak ada yang pernah aku tutupi dari dirinya. Begitu juga dengan dia. Makanya tadi aku bilang, apa jadinya aku nanti kalau tanpa dia disisiku.
          Eiiitzz... Tunggu ! Mimpiku tadi.... Aku masih bertanya – tanya dengan kata Yoga di mimpi itu. Aku takut bila membayangkan hal itu benar – benar terjadi. Kata – kata itu masih terniang ditelingaku. Seakan itu akan benar – benar terjadi. Hati ku selalu gelisah mengingat kata itu. Seakan berbisik kalau memang ada suatu hal yang membuat kata – kata itu akan terwujud nantinya.
          “ Aku mimpi buruk semalem “ aku mulai membuka suaraku sampai – sampai aku lupa, kalau aku pura – pura marah padanya tadi.
          Kami berdua baru sampai disekolah, dan berjalan menyusuri koridor sekolah yang masih sepi di pagi hari ini. Suasana semakin mencengkram saja karna dibayangi dengan rasa ketakutanku untuk mengucapkan kata itu kembali.
          “ Mimpi apa ? “ Yoga menyahuti ucapanku dan melupakan hal yang sebelumnya terjadi.
          “ Mimpi aku bertemu dengan Ayahku lagi “
          “ Bagus dong, seenggak – enggaknya bisa melepas kerinduanmu pada Ayah “
          “ Iya.. tapi ini beda. Aku bertemu Ayah di rumah ku yang dulu “
          “ Ya wajar, rumah itu yang banyak kenangan antara kamu dan Ayah kamu, makanya kejadian mimpinya disana “
          “ Bukan itu masalahnya, tapi....... “Nafasku tercekat di tengah kata. Rasanya tak sanggup melanjutkan kalimat yang selanjutnya.
          “ Tapi apa ? “ tanya Yoga dengan nada yang cemas melihat ketakutan diwajahku.
          “ Dimimpiku itu ada kamu dan disana kamu bilang kalau kamu akan... “
          “ Akan apa ? Jangan setengah – setengah gini dong sayang. Jangan bikin aku cemas juga. Ceritain ke aku semuanya dengan tenang “ pinta Yoga padaku
          “ Kamu bilang kalau kamu akan menyusul Ayahku, kamu akan pergi meninggalkan aku selamanya sama seperti Ayahku. “ kalimat itu berhasil kuucapkan dengan sempurna walau awalnya tersekat di tengah kata, karna aku takut saja untuk mengucapkannya. Aku memang terlalu sensitif untuk hal ini.
          Kupandangi wajah Yoga, dia terdiam sejenak. Tampak wajah sedih dari mukanya. Sepertinya dia juga merasakan hal yang sama denganku. Ketakutan akan hal itu benar – benar terjadi. Tapi bagaimana mungkin Yoga juga mengkhawatirkan akan mimpiku itu ? Yoga tidak pernah memusingkan tentang apa yang terjadi di mimpi. Baginya mimpi adalah bunga tidur yang tidak perlu diambil pusing akan arti dari sebuah mimpi itu. Tapi kenapa sekarang Yoga tampak seperti memusingkannya ? Apa ada sesuatu hal yang membuat Yoga percaya dengan mimpiku itu ?
          “ Kurasa itu benar... “ tutur Yoga dengan suara pelan dan pandangan kosong.
          “ Apa??? Maksud kamu mimpi aku ? “ aku semakin khawatir bila itu benar – benar terjadi.
          “ Yia mimpi itu benar..... “ Yoga membenarkan kembali perkataanku dengan mimik wajah yang tampak seperti orang yang nggak sadar dengan ucapannya.
          “ Yoga.. Maksud kamu ? “
          “ Eh eh... Yia maksud aku mimpi itu kan benar. Setiap orang juga pasti akan meninggalkan dunia ini kan ? Jadi ya nggak salah dong dengan mimpi kamu atau ucapanku. “ tutur Yoga dengan terbata – taba menenangkan diriku yang cemas karena ucapannya.
          “ Iya aku tau, tapi... “
          “ Ya sudahlah, nggak usah terlalu dipikirin. Itu Cuma mimpi kok “ kata Yoga yang langsung memotong pembicaraanku.
          Yoga menarik tanganku untuk berjalan mengantarkanku sampai dikelas. Sepanjang perjalanan dia hanya diam. Aku bingung dengan sikap Yoga. Mengapa dia tampak begitu mengkhawatirkan mimpiku ? Walau dia tampak dengan sengaja menutupi wajahnya yang juga cemas akan hal ini. Wajahnya tampak seperti orang ketakutan, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dari diriku. Kalau memang dia tidak memedulikan mimpiku, mengapa dia harus seperti ini. Aku mengenal Yoga sudah lama. Dan aku tau, dia menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi itu apa ? Apa ini ada hubungannya dengan mimpiku ? Oh Tuhan, aku semakin tidak mengerti dengan semua ini. Hal ini semakin membuatku larut dalam tanda tanya yang besar.
                                                          ***

          “ Tumben ni si Miss Happy kita diem dan murung gini “ sapa Chika sahabatku.
          “ Sebutan apalagi tu ? Nggak bagus banget kedengarannya. Garing tau nggak ? “ kataku
          “ Bodo ah garing atau nggak nya, kenapa sih ? Murung gitu ? Lagi ada masalah ? Cerita dong ke gue, jangan diem – diem aja “ tutur Chika
          “ Gue ngerasa ada yang aneh aja dari Yoga “
          “ Yoga atau lo nya yang aneh ? “ celetuk Cika
          “ Gue lagi nggak becanda Ka , serius dikit bisa nggak sih ? “ balasku
          “ Okey okey... Mang ada apa ma Yoga ? Keliatannya dia baik – baik aja “ jawab Cika dengan serius menyahuti ucapanku
          “ Nggak, gue rasa dia ada nyembunyiin sesuatu dari gue. Menyangkut suatu masalah yang besar tentang dirinya. Tapi gue sama sekali nggak tau.”
          “ Lo yakin kalau Yoga bener- bener nyembunyiin sesuatu ? Lo bisa buktiin darimana ? “
          “ Gue mang nggak punya bukti apa – apa, tapi feeling gue bilang gitu “
          “ Yaudah mending lo tanya langsung ma dia, ada apa sebenarnya. “ saran Chika.
          “ Gue nggak yakin Yoga bakal jujur ke gue “ kataku
          “ Yaudah sabar aja nungguin waktu kapan dia bisa jujur ke lo “ balas Chika
          “ Bener – bener nggak ngasih solusi yang baik lo ya... percuma aja gue ngomong ke lo “
          “ Hehehe.. salah sendiri ngapain mau cerita ke gue “
          “ Kan lo sendiri yang minta tadi, aneh banget sih jadi orang “ balasku dengan ketus.
          “ Woo... lagi kesel banget ni kayaknya Ra, kenapa sih ? “ tanya Shiren yang baru datang bersama Echa.
          “ Nggak usah ditanya, ntar emosinya meledak lagi loh “ sahut Chika pada Shiren.
          “ Tanya aja ma temen lo yang nyebelin ini “ jawabku yang memang benar – benar tidak mood untuk bercanda dengan sahabatku itu.
          “ Chika.. Chika, udah tau mood Debra lagi nggak baik, malah dipancing emosinya, kena semprot deh lo “ sahut Echa.
          “ Hehehe biarin.. kan buat ngibur dia juga “ jawab Cihka dengan santai
          “ Apanya yang kehibur ? bikin kesel iya!! “ jawabku dengan nada kesal dan langsung beranjak keluar meninggalkan mereka.
          “ Mau kemana Ra ? “ Tanya Shiren
          “ Keluar bentar nenangin diri “
          Hmm... aku memang lebih suka menenangkan diriku sendiri dengan pergi menjauh dari keramaian agar aku bisa berpikir tenang untuk sementara waktu. Aku hanya tidak ingin orang lain ikut kesal karena nantinya hanya akan dapat semprotan dari kata – kataku yang sedang kesal dan lagi nggak mood ini. Aku memang orangnya moodyan. Kadang ada saatnya aku bisa gila dan heboh bareng mereka. Tapi jika ada suatu masalah yang hinggap dipikiranku, semua keadaan itu akan berubah dalam waktu yang sekejap saja.
          Aku berjalan terus menyusuri koridor sekolah menuju suatu tempat yang sudah menjadi kebiasaanku untuk berdiam diri disana. Kelas kosong yang berada disudut kiri atas lantai tiga, lantai terakhir sekolahku. Banyak orang yang bilang kelas ini angker. Bahkan tidak ada satupun yang berani masuk kedalamnya. Katanya mereka sering mendengarkan suara – suara makhlus halus didalam ini. Memang keliatannya kelas ini sangat mengerikan dari luar, tapi bukan dari luar saja, kalau kau masuk kedalamnya pun juga mungkin merasakan hal yang sama. Kelas ini memang sudah tidak dipakai semenjak 5 tahun yang lalu. Yang alasannya sampai sekarang tidak pernah diberitahukan oleh pihak sekolah. Walau tidak ada alasan yang jelas, tapi semua murid sudah bisa menyimpulkan kalau kelas itu tidak dipakai karena ada penghuninya yang tidak ingin diganggu, karena dia juga lagi asyik belajar. Heh ? alasan yang tidak masuk akal yang sering diucapkan para siswa, entah alasan bodoh apa itu.
Entah mengapa aku tidak pernah prcaya dengan hal seperti itu. Bagiku semuanya hanyalah halusinasi setiap orang yang percaya akan itu sehingga selalu dibayang – bayangi rasa takut. Jadi begitu melihat dan mendengar ini, mereka langsung berpendapat demikian. Aku berani berbicara seperti itu, karena aku telah mengalami dan merasakannya. Kelas yang dibilang angker dan berpenghuni serta sangat menyeramkan. Tapi tidak bagiku, sudah dua tahun yang lalu, tepat disaat aku mulai menginjakkan kakiku untuk pertama kalinya disekolah ini. Aku merasakan suatu hal yang bisa membuatku teduh didalamnya. Aku begitu merasakan perasaan yang nyaman saat berada disini. Disini aku bebas untuk berekspresi apapun. Aku bebas meluapkan isi hatiku tanpa ada orang lain yang tau. Ya tentu saja, karna tak ada satu orang pun yang berani memasuki kelas ini. Jangankan untuk masuk, mengintip dari luar saja mereka tidak berani. Jadi aku benar – benar merasa tenang bila berada didalamnya.
Aku juga tidak menemukan tanda – tanda yang berbahaya dari kelas ini. Selama aku berada didalamnya, tak ada satupun hal gaib yang menggangguku. Banyak orang yang melarang keras aku untuk masuk dalam dan menyuruhku berhenti untuk terus mengunjunginya. Mas Nanok penjaga sekolah, juga awalnya melarang keras aku untuk masuk. Tapi karena permohonan ku yang terus – terusan pada Mas Nanok, akhirnya ia memberikan ku kunci duplikat kelas ini. Agar dia tidak perlu capek – capek mengantarkanku atau mengunci balik pintunya. Jadi aku bebas masuk kapan saja sesuai dengan waktu yang aku inginkan. Mungkin banyak orang yang mengatakan aku orang aneh, atau beranggapan kalau aku punya kemampuan gaib yang membuat ku betah berada didalamnya. Karena tak pernah sedikitpun takut terhadap hal yang seperti itu. Aku tidak peduli terhadap apapun perkataan orang tentangku. Yang jelas, aku merasa nyaman disini, aku merasakan ketenangan batin yang tidak bisa aku temui ditempat lain.
Aku memandangi benda – benda yang ada sekilingku. Kursi – kursi siswa yang begitu berantakan. Begitu juga dengan mejanya yang penuh dengan debu. Papan tulis yang penuh dengan tulisan acak – acakan yang tidak enak sekali dipandang mata. Lantai yang hitam yang sangat kotor. Besi – besi jendela yang sudah berkarat. Lemari yang tebuka dengan buku – buku berjatuhan yang saling berhimpit satu sama lain. Fiuuh... sungguh sangat mengerikan memandang ruangan yang sangat kelam ini. Layaknya seperti shooting film horor saja. Tapi aku tak pernah peduli dengan apapun itu.
Aku langsung duduk dibangku yang sudah menjadi bangku tetapku setiap kali aku pergi kesini. Bangku berwarna coklat yang dipenuhi dengan coret – coretan siswa yang dulu pernah menduduki bangku ini. Bangku kecil yang menghadap kejendela yang otomatis secara langsung kamu bisa melihat pemandangan indah sekolah diluar sana. Walaupun tidak begitu jelas karena kacanya yang sudah sangat hitam dan berlumut.
Aku menghela nafas dalam – dalam untuk melepaskan semua beban yang terasa didadaku. Kupejamkan mata dan mulai menenangkan diriku. Aku tau udara disini sangat tidak baik untuk dihirup. Tentu saja, karena penuh dengan debu yang sangat kotor. Dan aku juga mengetahui kalau ini bukan waktu yang tepat untuk aku berada disini. Karena jam pelajaran sudah dimulai setengah jam yang lalu.
Aku tidak memedulikan hal itu, karena aku tidak akan bisa berkonsentrasi pada pelajaran jika perasaanku tidak enak seperti ini. Sahabatku lainnya juga tidak ada yang berusaha melarangku untuk keluar kelas jam segini. Karna memang mereka tahu, kalau aku tidak akan bisa dilarang kalau aku bertujuan kesini. Bisa – bisa mereka akan mendapatkan amarah dariku, dengan alasanku yang mengatakan bahwa mereka tak mengerti aku sebagai sahabatnya. Tentu mereka tidak ingin dibilang sebagai sahabat yang tidak mengerti sahabatnya. Jadi mereka lebih memilih diam dan mengikuti mauku yang mereka juga yakin bisa membuatku tenang dan menjadi lebih baik.
                                                ***

Ponsel Shiren bergetar, menandakan ada sms yang masuk. Dengan santai Shiren membuka ponselnya untuk melihat siapa yang mengirim sms padanya di jam pelajaran seperti ini.
Debra tidak masuk kelas lagi ?
                                      Sender Yoga
Dan untuk seperkian detik jari jemari Shiren langsung bergerak dengan cepat memencet tombol – tombol yang ada di ponselnya membalas pesan singkat dari Yoga.
Nggak. Dia bilang dia mau nenangin dirinya dulu. Katanya dia lagi ada masalah. Kata Chika itu ada hubungannya dengan kakak juga. Dia tadi bilang ke Chika, kalau ada suatu yang aneh pada kak Yoga ndiri. Jadi beban pikiran sendiri deh sama Debra.
Kata – kata itu disampaikan Shiren tanpa ada sesuatu yang ditutupinya. Ya memang diantara sahabat – sahabat Debra, Shiren lah yang paling dekat dengan Yoga. Karena Yoga tahu, Shiren lah yang menjadi tempat curhat Debra. Jadi Yoga bisa mengetahui apapun tentang Debra dari Shiren. Makanya Yoga sering berkomunikasi juga dengan Shiren. Dan Shiren pun juga tidak canggung lagi untuk berbicara dan mengungkapkan semua yang benar – benar terjadi dengan Debra pada Yoga.
Yoga terdiam sejenak membaca sms balasan dari Shiren. Tadi Yoga memang sengaja lewat didepan kelas Debra, untuk memastikan kalau Debra masih baik – baik saja dan tidak terpengaruh dengan mimpinya tadi. Tapi ternyata pikiran Yoga salah. Debra memang tidak baik sesudah itu, apalagi melihat ekspresi Yoga yang penuh membuatnya menjadi tanya besar tentang apa yang terjadi sebenarnya. Ketika sampai dikelasnya lagi, Yoga langsung mengetik sms kepada Shiren menanyakan tentang keadaan Debra. Dan Yoga terdiam karena merasa bersalah tidak memberitahukan hal yang sebenarnya pada Debra.
“ Kenapa ? “ tanya Niko sahabat Yoga yang duduk bersebelahan dengan Yoga. Sejak tadi dia memperhatikan Yoga tampak cemas ketika membaca sms yang masuk diponselnya.
“ Debra tidak masuk kelas lagi “ jawab Yoga singkat.
“ Ada masalah lagi dengan Bapak tirinya ? “ tanya Niko yang sudah mengetahui dengan jelas tentang keluarga Debra. Tentu saja, karena Debra adik kandung dari Chiko yang juga menjadi sahabat dekat Niko.
“ Nggak ada, tapi ini masalahnya dengan gue “ jawab Yoga
“ Apa ? “ tanya Niko singkat
“ Dia mimpi kalau gue akan meninggalkannya untuk selamanya. “ jawab Yoga dengan nada suara yang cemas.
“ Lo udah ngasi tau dia tentang hal itu ? “ tanya Niko semakin penasaran
“ Belum, makanya sekarang gue khawatir. Belum gue kasih tahu hal yang sebenarnya aja, dia udah kacau gini karena mimpinya. Apalagi kalau gue kasih tau hal yang sebenarnya ke dia. Gue takut dia kenapa – napa nanti. Padahal tadi tujuan gue sebenarnya ngajakin dia berangkat sekolah sama gue untuk ceritain tentang ini. Tapi melihat dia yang sudah ketakutan karena mimpinya itu, gue nggak jadi bilang apa – apa ke dia. Menurut lo apa gue harus ngasi tau dia juga tentang hal ini ? “ tanya Yoga dengan penjelasan yang panjang lebar guna mendapat saran yang baik dari sahabatnya itu.
“ Kalau menurut gue, mendingan lo kasih tau dia yang sebenarnya secepat mungkin. Karena kalau lo kasih tau dia diawal gini, dia nya jadi lebih siap untuk ngadepin semuanya bila waktu itu udah dateng. Gue ngeri juga sih ngebayangin kalau dia tau tentang ini sekarang, tapi ini lebih baik daripada dia tau nanti. Gue yakin dia akan lebih kacau daripada sekarang kalau dia tahu itu setelah semuanya terjadi “ tutur Niko memberikan nasehat yang terbaik buat Yoga.
Yoga terdiam sejenak memikirkan tentang baik buruknya saran dari Niko. Yoga masih mempertimbangkan penuh apa dia harus melakukan seperti yang dikatakan Niko atau tidak. Karena Yoga tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kekasih yang sangat dicintainya itu. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sulit bagi Yoga untuk menceritakannya pada Debra. Karna hal ini benar – benar masalah berat, yang Yoga takut akan berdampak buruk pada Debra. Karena Debra sangat mencintai Yoga. Begitu juga dengan Yoga, makanya Yoga tidak ingin kekasihnya itu kenapa – napa nantinya.


When I Know........

TEEEETTT.......
          Bel tanda pelajaran berakhir pun berbunyi. Lega banget rasanya, bisa mengakhiri pelajaran matematika yang membosankan ini. Apalagi dengan kondisiku sekarang yang tidak bisa berkonsentrasi untuk menerima pelajaran. Kukemaskan buku pelajaran yang berantakan dimejaku. Buku – buku yang terbuka dengan percuma, karna memang sejak tadi aku tidak memperhatikan pelajaran sedikitpun. Jadi hanya sekedar simbolis saja pada guru yang sedang mengajar, kalau aku masih memperhatikan pelajarannya dengan baik.
          “ Debra, kamu jangan pulang dulu ya ! Kamu ikut ibu sebentar ke kantor, ada yang perlu ibu bicarakan dengan kamu “ kata Bu Tati, guru matematika ku, yang merangkap sekaligus menjadi wali kelasku.
          “ Iya buk “. Sahutku singkat.
 Hmm... Ntah apa yang terjadi nanti. Aku sendiri tidak tahu mengapa Bu Tati memanggilku ke kantor. Mungkin karena aku yang tadi melamun sewaktu pelajaran dia. Tapi aku tadi cukup bisa berakting meyakinkan bahwa aku masih memperhatikan pelajarannya dengan baik. Tapi mengapa Bu Tati memanggilku untuk berbicara yang sepertinya ada urusan yang serius. Entahlah... kita lihat saja nanti. Aku siap bila aku harus diceramahi panjang lebar oleh Bu guru yang ramah satu ini.
“ Mau kita tungguin atau gimana ni ? “ tanya Shiren padaku.
“ Hmm...nggak usah deh, duluan aja. Ntar juga pasti lama ceramahnya, daripada capek nunggu mending duluan aja. “ kataku
“ Tapi katanya tadi, si Echa minta ditungguin juga. Dia mau pulang bareng katanya. Dia lagi ada tambahan pelajaran Fisika, untuk persiapan olimpiadenya nanti. “ kata Chika.
“ Hey. Pada belum pulang kan semuanya ? “ sapa Echa yang baru datang memasuki kelas kami.
Echa memang tidak satu kelas dengan kami. Dia berada dikelas XI IPA 2, kelas unggul kedua di sekolah ini. Sedangkan kami bertiga memilih jurusan IPS, dengan alasan yang sama, ingin memperdalam ekonomi akuntansi, karena aku dan Shiren ingin bekerja di Bank nantinya. Sedangkan Chika ingin menjadi pengusaha sukses. Makanya kita lebih memilih jurusan ini, karena ini jurusan yang cocok dengan kita. Berbeda dengan Echa yang ingin menjadi dokter muda.
“ Belum kok, lagian kita mau nungguin Debra juga sekalian .” sahut Chika
“ Loh ? Emang Debra ngapain ?” Tanya Echa.
“ Dia tadi dipanggil sama Bu Tati diruang guru” tutur Shiren.
“ Yakin mau nungguin gue, ntar lama loh ? “ tanyaku meyakinkan mereka.
“ Yupz.. gak pa – pa kok. Aku bisa kekantin dulu sama Chika nungguin kalian berdua sampe selesai “ jawab Shiren.
“ Iya, nggak pa – pa kok. Ya udah kesana gi, ntar Bu Tati kelamaan nunggu loh “ sahut Chika
“ Ya udah gue pergi dulu ya “ jawabku yang langsung bergegas meninggalkan mereka.
Aku berjalan menuju ruang guru. Perasaanku mengatakan kalau hari ini aku akan mendapat teguran dari guruku yang satu itu. Entah dalam bentuk apa tegurannya itu, yang jelas aku tau itu juga demi kebaikan aku. Apalagi aku mengerti bahwa teguran itu memang pantas ku dapatkan sekarang, karena akhir – akhir ini aku memang sedikit malas untuk belajar.
“ Siang Buk “ sapaku yang langsung menduduki bangku yang ada dihadapan guru tersebut.
“ Siang Debra . Ibu rasa kamu sudah tau tujuan Ibu memanggil kamu sekrang untuk apa “ tutur Bu Tati dengan mimik muka yang serius.
“ Ya buk. Maafkan saya, saya memang tidak berkonsentrasi akhir – akhir ini pada pelajaran. Tapi saya janji aku tidak akan mengulanginya lagi. Saya akan belajar lebih giat lagi buk “ kataku dengan merasa bersalah atas sikapku.
Kupandangi wajah Bu Tati sewaktu aku mengucapkan kata itu. Bu Tati mengerutkan keningnya, seperti merasa aneh dari omonganku barusan.
“ Ya kamu memang harus belajar lebih giat lagi, untuk persiapan olimpiade Ekonomi-Akuntansi nanti “ tutur Bu Tati sambil tersenyum kepadaku.
“ Apa ? Maksudnya Bu ? “ tanyaku yang tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Bu Tati.
“ Jadi kamu belum tahu ? Ibu sedikit tidak mengerti dengan apa yang kamu bilang tadi. Tujuan Ibu memanggil kamu kesini, untuk memastikan bahwa kamu siap dan menerima keputusan dari sekolah untuk menunjuk kamu sebagai perwakilan perlombaan nanti. “ jelas Bu Tati.
“ Tapi mengapa saya Buk ? “ tanyaku masih tidak yakin dengan apa yang dibilang Bu Tati.
“ Ya tentu saja kamu yang dipilh. Kamu adalah juara kelas kita. Dari kelas satu juga seperti itu. Nilai mata pelajaran kamu juga sangat bagus, terutama di mata pelajaran Ekonomi. Jadi memang sepantasnya kamu yang dikirim untuk perlombaan ini. “ kata Bu Tati meyakinkan ku atas pemilihan ini.
“ Ya makasih buk karena udah memilih saya. Saya akan berusaha memberikan yang terbaik buat sekolah. “
“ Harus ! Ibu dan pihak sekolah juga berharap penuh agar kamu bisa merebut Piala olimpiade itu kembali “
“ InsyaAllah buk . Ada hal lain lagi buk yang ingin Ibu bicarakan dengan saya ? “ tanyaku memastikan bahwa aku kesini tidak dipanggil karena nilai – nilaiku yang sudah merosot jauh.
“ Hmm... ya. Ibu baru inget menyangkut tentang ucapan kamu tadi. Ada beberapa guru yang melaporkan nilai kamu sudah banyak yang merosot jauh. Dan kamu yang tampak kurang berkonsentrasi pada saat jam pelajaran berlangsung. Ada apa dengan kamu, Debra ? Kamu lagi dalam masalah ? “ Fiuiuuh... akhirnya pertanyaan yang aku tunggu – tunggu keluar juga dari mulut Bu Tati.
“ Hmm... tidak ada masalah yang begitu berarti Buk. Saya memang sedikit tidak berkonsentrasi aja. Tapi saya akan memperbaikinya kok Buk. Ibuk tenang saja, saya akan mengejar nilai – niliku yang ketinggalan tadi. “ jawabku dengan nada suara menyesal.
Setelah selesai pembicaraan lama yang cukup menyita waktuku, aku segera beranjak dari tempat itu. Aku berjalan menuju kantin sekolah, menghampiri sahabatku yang sudah menunggu sejak tadi. Ternyata tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk menunggu Echa selesai dari tambahan pelajaran Fisikanya. Tidak lama kemudian dia datang menyusul kami semua. Hari itu kami memang tidak seperti biasanya. Yaitu kebiasaan kami sehabis pulang sekolah yang duduk - duduk dulu di Kafe langganan kami hanya untuk menghabiskan waktu bercerita dari hal yang penting sampai pada hal kecil yang tidak perlu dibahas sama sekali. Kami memang cukup lelah hari itu, jadi kami langsung pulang saja.
Mobil sedan berwarana kuning melaju dengan kencang, meninggalkan sekolah yang sudah sepi sejak tadi. Kuning memang warna kesukaan Shiren, jadi tidak heran, semua benda yang dia punya berwarnakan kuning. Setiap pulang sekolah, kami memang selalu bareng Shiren. Tentu saja, karna bisa mendapatkan tumpangan yang gratis. Jadi hitung – hitung hemat ongkos,hehehe. Shiren mengantarkan kami satu per satu sampai dirumah masing – masing. Shiren juga memang lebih suka menyetir sendiri ketimbang menyewa seorang sopir yang akan mangantar jemput putri cantik satu itu.
Rute pertama dimulai dari Echa, karena memang rumahnya yang paling dekat dengan sekolah. Selanjutnya Chika yang sebenarnya tidak begitu jauh dari rumahku. Tapi sebelum sampai dirumahku, kita harus melewati rumah Cika dulu. Baru nantinya sampai dirumahku. Huuvff... Rumah yang sangat membosankan.
Setiap kali pulang sekolah, malas saja rasanya untuk cepat – cepat pulang ke rumahku ini. Rumah besar yang hampa. Seperti lagu Ungu saja, Pernahkah kau merasa ? Hatimu Hampa... Pernahkah kau merasa ? Hatimu Kosong... Yupz ! mungkin memang itu seuntai lyric yang cocok menggambarkan perasaanku setiap kali harus menginjakkan kaki dirumah itu.
Kutepaki satu demi per-satu langkahku. Mencoba untuk betah berada dalam waktu yang lama dirumah ini. Terdengar suara laki –laki yang sedang asyik bercanda gurau dari dalam rumahku. Suara yang tentu saja kukenal, Chiko, Niko, dan Yoga. Ketiga sahabat yang sering menghabiskan waktunya dirumahku. Katanya sih untuk belajar bersama – sama, persiapan untuk Ujian Nasional mereka. Tapi menurutku lebih tampak seperti orang yang sedang nongkrong dan menghabiskan waktu mereka dengan gurauan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan pelajaran.
“ Assalammualaikum “ sapaku singkat ketika masuk kedalam rumah.
“ Waalaikumsalam adek manis... Baru pulang ya ? Kok lama banget sih ? Chiko khawatir tu daritadi, Kangen katanya ! “ tegur Niko yang sehari – harinya selalu berseloroh dalam setiap kata yang diucapkannya.
“ Gue Kangen ?? ! Iiih... gak lah ya ! Rugi banget kangen ma pesek yang satu itu “ sahut Chiko
“ Ooo... Aku salah ! Yang khawatir itu Yoga rupanya! “ kata Niko sambil menirukan gaya – gaya banci yang sering diperagakan oleh dua pentolan pelawak OVJ, Aziz dan Sule.
“ Ya gue khawatir ! Darimana aja sih Ra ? Lama banget pulangnya “ tutur Yoga mengiyakan apa yang dibilang Niko dengan nada suara yang serius.
“ Pergi kemana aja... Suka – suka gue ! “ jawabku ketus dan pergi berlalu meninggalkan mereka yang sedang duduk dengan santai diruang  keluarga.
Aku juga tidak mengerti mengapa aku bisa berlaku seperti ini ke Yoga. Dengan tidak mempedulikannya, menjawab pertanyaannya dengan nada yang ketus. Tapi aku melakukan ini agar Yoga merasa bersalah karena menyembunyikan sesuatu dariku. Aku hanya ingin Yoga bicara padaku. Bicara tentang masalahnya, karena aku kekasihnya. Aku juga ingin tahu tentang kehidupannya, walau itu berat untuk di ungkapkan.
Aku berjalan menuju kamarku. Aku ingin istirahat dan menyegarkan pikiran ku kembali. Aku teringat akan janjiku pada Bu Tati, bahwa aku akan lebih serius belajar. Terutama untuk persiapan aku mengikuti kompetisi yang sudah lama kutunggu ini.
Sesampainya dikamar, kuhempaskan tubuhku dalam ranjang empuk yang membuatku nyaman. Rasanya malas untuk bangkit lagi dan mengganti seragamku dengan pakaian rumah. Ingin cepat – cepat tidur dan melupakan semua masalah yang ada pada hari ini. Terutama mimpi buruk itu.
“Tookk...Took..  “ terdengar suara orang yang mengetok pintu kamarku
“ Siapa ? “ tanyaku singkat
“ Aku boleh masuk ? “ suara yang sudah pasti kukenal, Yoga.
Aku hanya diam dan tidak berkata apa – apa. Aku juga sudah yakin kalau dia pasti akan menyusulku. Dia tidak akan mungkin membiarkanku marah dan diam padanya. Percaya atau nggak dia itu tidak akan betah bila sehari saja tidak berkomunikasi denganku. Jadi bisa dipastikan kami jarang bertengkar.
Walau aku belum meng-iyakan dia untuk masuk kekamarku, Yoga sudah langsung membuka pintu kamar dan berjalan menghampiriku. Hmm.... perbuatan yang lancang, masuk kamar orang tanpa seizinnya.Tapi aku tidak bisa marah kalau yang melakukannya Yoga. Eittzz... jangan ditiru perbuatan ini. Don’t try this at Home !
“ Lainkali tunggu orangnya ngijinin masuk dulu. Jangan masuk seenaknya aja “ tegurku yang tidak melihat sedikitpun kearahnya.
“ Ya aku minta maaf. Lagian mau ditunggu sampe kapanpun juga kamu gak akan ijinin aku masuk kalau kamunya lagi ngambek gini “ balas Yoga.
“ Siapa yang ngambek ? “
“ Kamu kenapa sih ? Kok tiba – tiba marah gak jelas gini ke aku ? Tadi juga gak masuk kelas, pulang juga telat, ada apa sih ? “
“ Kesambet setan di kelas 3 ipa 7 tadi “ jawabku. Kelas 3 ipa 7, kelas kosong yang kuceritakan tadi. Dulunya itu kelas 3 Ipa 7, tapi sekarang ditutup dan sekarang hanya ada sampai kelas Ipa 6.
“ Serius dong ! Jangan becanda gini ! “ pinta Yoga
“ Serius udah bubar ! Yang masih ada sampe sekarang Ungu !” jawabku yang tidak memedulikan betul kekhawatiran Yoga.
“ Sayang... lihat aku ! Bilang kalau kamu kesel ke aku ! Dan sebutin alasannya kenapa ? “
“ Karena kamu nyembunyiin sesuatu dari aku “ jawabku yang langsung menatap mata Yoga. Malas untuk berbasa – basi lagi.
“ Nyembunyiin apa sih ? Aku nggak ngerti maksud kamu “ jawab Yoga pura – pura tidak tahu dengan apa yang kumaksud
“ udah deh, jangan boong ! Aku udah kenal kamu sejak lama. Kamu nggak bisa lagi buat boongin aku ! “ kataku dengan nada suara yang mulai mengeras
“ Boongin apa sih Ra ? Aku nggak ada nyembunyiin sesuatu dari kamu ! “
“ Oh ya ? kalau gitu sekarang kamu keluar dari kamar aku ! pikirin dulu mateng – mateng, kamu udah boongin aku tentang apa. Kalau kamu udah nemuin jawabannya, kamu boleh hubungi aku lagi. Tapi kalau nggak, jangan ngomong sama aku dulu, sekalian jangan temuin aku dulu. Keluar gi sana ! aku capek, aku mau istirahat ! “
“ Kamu kenapa sih ? Kok jadi aneh gini ? “
“  Yang aneh itu kamu ! Bukan Aku ! Udah deh aku bilang keluar ! Aku mau istirahat ! “ bentakku pada Yoga yang membuat Chiko dan Niko terdiam, padahal sedari tadi mereka sedang asyik tertawa bersama dibawah.
Yoga hanya terdiam melihatku. Dia pun nggak bisa ngomong apa – apa lagi. Dia langsung beranjak dari tempat tidurku, dan berjalan menuju pintu keluar meninggalkan ku sendiri dikamar. Yoga memang tidak bisa berbuat apa – apa kalau aku sedang marah besar. Menurutnya, aku masih dalam keadaan jiwa yang tidak stabil karena ditinggal oleh Ayahku. Dia mencoba menegrti aku. Walau kupikir caranya itu salah, kalau berangapan seperti itu.
                                                ***
“ Adik gue kenapa ? “ tanya Chiko lirih ketika mendapati Yoga dengan wajah yang lesu sekeluar dari kamarku.
“ Gue nggak tau . Tiba – tiba dia marah gak jelas aja ke gue “ jawab Yoga sedih.
“ Bukannya marah gak jelas. Gue rasa dia cukup beralasan berlaku seperti ini ke loe “ sahut Niko dengan yakin
“ Maksud Loe apa Nik ? “ tanya Chiko yang tidak mengerti dengan ucapan Niko.
“ Loe tanya aja deh ndiri ma dia ! Masa harus gue yang ngejelasin ? “ jawab Niko.
Chiko langsung mengalihkan pandangannya ke Yoga. Yoga hanya diam dan tidak mengeluarkan sepersen katapun.
“ Makanya gue bilang apa ! Jujur itu lebih baik, walau itu pahit ! “ kata Niko lagi menegur Yoga.
“ Aduh gue nggak ngerti deh ! sebenarnya kenapa sih ? “ tanya Chiko semakin penasaran.
“ Gue nggak jujur sama Debra, temasuk sama loe “ kata Yoga yang mulai membuka suaranya.
“ Nggak jujur soal apa ? “
“ Soal penyakit gue “ Yoga terdiam dan tidak melanjutkan kata – katanya lagi.
“ Penyakit ? Penyakit Apa ? “
“ Lo ndiri tau kan, akhir – akhir ini gue orangnya cepat lelah, sering tiba – tiba pucat, nafas gak stabil, kadang ada rasa nyeri sendiri.” Tutur Yoga yang tampak begitu sulit mengatakannya.
“ Iya gue tahu, tapi lo bilang kemaren ini, itu cuma penyakit biasa. Bahkan kemarin ini waktu gue antar loe periksa ke dokter, loe bilang dokter loe nggak ngomong apa – apa. Dia bilang cuma penyakit biasa. Trus emangnya sekarang loe sakit apa ? Parah ? “ tanya Chiko yang tampak begitu khawatir.
Tentu saja, disamping Yoga sahabatnya, dia juga kekasih yang begitu sanagt dicintai adiknya. Jadi sesuatu yang menyangkut tentang Yoga, pasti juga akan berpengaruh pada adik satu – satunya itu.
“ Leukimia Mielositik Kronis atau disingkat orang LMK” jawab Yoga dengan pandangan kosong.
“ Hah ? Gak mungkin ! Loe jangan becanda Ga, itu penyakit bukan penyakit biasa ! Loe jangan main –main “ kata Chiko meyakinkan bahwa apa yang dibilang Yoga Cuma gurauan semata.
“ Siapa yang becanda ?  Gue serius ! gue juga tau penyakit itu nggak main – main. Makanya sampe sekarang gue belum siap buat cerita ke loe dan terutama Debra ! Apalagi kalau Dokter gue bilang gue terlambat mengetahui penyakit ini dan....  “ Yoga terdiam dan tidak melanjutkan kata – katanya lagi
“ Dan apa ? “ tanya Chiko yang mulai mempercayai apa yang dibilang Yoga.
“ Dan gue divonis cuma bisa bertahan paling lama satu tahun lagi “ kata – kata itupun berhasil diucapkan Yoga dengan sempurna. Semuanya terdiam, tak ada satupun yang mengeluarkan suara. Suasana jadi begitu dingin, setelah mengetahui kenyataan yang pahit ini.
“ Kenapa kamu nggak pernah bilang ke aku ? “ nafasku tercekat untuk bisa bersuara menanggapi omongan mereka yang sedari tadi sudah kudengarkan semuanya.
Aku terdiam dibalik tangga yang tidak begitu jauh dari sumber suara. Awalnya aku ingin turun untuk mengambil minuman kebawah. Dan langkahku terhenti mendengar mereka yang sedang tertangkap dalam pembicaraan yang serius. Aku tidak bisa membendung air mataku lagi, mendengar hal itu disebut langsung dari mulut Yoga. Hatiku seakan tercabik – cabik mendengar kenyataan pahit itu disebut.
“ Debra ??!!” Sejak kapan kamu ada disana ? “ tanya Yoga yang tampak takut dan cemas mengkhawatirkan bila aku mendengar semua tentang percakapan dia tadi.
“ Aku udah denger semuanya “
          Air mataku langsung bercucuran dan semakin tidak bisa untuk dipendam. Aku langsung berlari menuju kamarku. Rasanya tidak sanggup untuk melihat wajah Yoga lagi. Apalagi mendapati kenyataan bahwa hidupnya yang akan bertahan hanya setahun lagi. Apa ini ? mengapa ini semua harus terjadi padanya ? Kenapa bukan orang lain ?
Aku langsung menghempaskan tubuhku kembali keranjang yang memberikanku kenyamanan. Kubiarkan pintu kamarku terbuka. Aku mengambil bantal dan memeluknya erat – erat didadaku. Aku berusaha untuk mengeluarkan air mata ini sekuat - kuatnya, agar tak menyesak didadaku. Tapi tetap saja tidak memberikanku sedikit kelegaan dalam hatiku.
Aku tidak pernah membayangkan ini terjadi. Kekhawatiranku pada Yoga selama ini ternyata benar. Mimpi buruk yang aku alami semalam itu terbukti. Aku tidak bisa mencerna semua yang terjadi saat ini. Bagiku, aku hanya masih terbawa dalam suasana mimpiku itu tadi. Mimpi yang takkan pernah terjadi untuk siapapun.






It’s secret.......

Sudah satu minggu aku tidak melihat Yoga disekolah. Aku juga tidak berkomunikasi lagi dengannya. Bukannya kami putus, tapi Yoga hanya menuruti perkataan Chiko yang meminta dirinya untuk tidak menghubungiku dulu, membiarkan aku untuk bisa tenang dan mengendalikan diriku atas semua ini. Chiko memang benar, aku ingin sendiri. Walau aku tahu caraku salah.
          Aku nggak akan bisa bertemu dengan Yoga dalam keadaan seperti ini. Aku tidak bisa membayangkan pertemuanku dengan Yoga nantinya. Karna itu hanya akan membuat airmataku jatuh lagi, melihat wajah lembutnya yang tidak akan bertahan lama. Membayangkan bila semua itu akan hilang dalam hitungan bulan lagi. Aahhh... hanya membuat luka dihatiku.
          “ Dek.. ntar pulang bareng gue ya. Gak usah pergi main dulu “ kata Chiko menghampiriku sewaktu istirahat dikantin sekolah.
          “ Ya “ jawabku sambil menganggukkan kepala.
          Chiko langsung berlalu meninggalkanku. Hanya untaian kata itu saja yang terucap dari mulutnya. Chiko memang berubah akhir – akhir ini. Dia lebih memperhatikanku. Dia menunjukan kepeduliannya dengan memberiku perhatian yang lebih. Dia juga tidak pernah menjahiliku lagi. Tentu saja, karena sekarang aku lebih banyak diam daripada yang dulu.
          “ Semua orang juga akan meninggal lagi, hanya itu tergantung kapan waktunya akan datang “ tutur Echa memecahkan keheningan yang terjadi dikantin itu. Keheningan antara aku dan mereka.
          “ Kita nggak pernah tahu, kapan waktu itu akan datang. Bisa saja sehabis pulang sekolah nanti kita akan tertabrak mobil, lalu meninggal, Nggak ada yang pernah tahu kan ? “ tambah Shiren sambil meneguk minuman dingin yang daritadi sudah ada dimeja.
          “ Dokter boleh memvonis umur seseorang beberapa bulan atau tahun lagi. Tapi tetap saja, yang menentukan itu Tuhan. Bisa saja kita lebih dulu mati daripada dia, tanpa divonis dokter terlebih dahulu. Sekali lagi, kita nggak pernah tahu tentang itu. Tentang kejadian yang akan menimpa kita, termasuk ajal. “ tutur Chika
          “ Hmm ya bener ! Inget aja deh Ra, seperti kata sang idola kita. Andai ku tahu, kapan tiba ajalku. Kuakan memohon Tuhan tolong panjangkan umurku. Andai ku tahu, malaikatmu kan menjemputku. Kuakan memohon Tuhan jangan kau ambil nyawaku “ kata Shiren sambil ikut menyanyikan sebait lagu dari Ungu tadi.
          Aku tahu tujuan dari pembicaraan mereka semua. Ingin menghiburku, dan membuatku tidak terlalu terpuruk akan hal ini. Apalagi ditambah dengan nyanyian Shiren dengan lagu Ungu. Dengan sengaja memakai label sang idola. Band favoritku, agar aku bisa bangkit lagi.
          “ Kalian semua pada ngomong apa sih ? “ tanyaku mulai membuka suara pada mereka.
          “ Ya ngomong tentang loe sekarang. Kita nggak tega liat loe kayak gini “ jawab Echa sambil merangkulku.
          “ Gue nggak kenapa – napa kok, nggak usah sampe segitunya kali “ sergahku dengan nada suara yang berusaha kubuat seceria mungkin.
          “ Nggak kenapa – napa gimana ? Udah satu minggu ini kerjaan loe diem aja dikelas. Murung banget tau nggak ! gimana kita nggak khawatir ma loe “ kata Shiren
          “ Ya gue lagi puasa ngomong aja “
          “ Ada lagi pake puasa ngomong . Alasan apaan sih ? Garing banget tau nggak ! “ kata Chika
          “ Ya udah kalo garing nggak usah dipikirin. Santai aja.. kayak lagu Rhoma Irama.. Santai... Youk kita santai agar otot tidak tegang. Hehehe. Gak usah dipikirin beiiibyyy “ tuturku sambil membalas rangkulan Echa.
          Aku ingin mengembalikan senyumanku didepan mereka. Aku nggak ingin terlihat terlalu kacau didepan mereka yang menanti keceriaanku. Aku berusaha kembali tampak ceria dengan memberikan sedikit tawa dan canda padanya. Aku tidak ingin membawa mereka ikut telibat dalam masalahku.
                                                          ***
          Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku langsung pergi keparkiran supaya Chiko tak perlu menungguku lebih lama. Kuhampiri Jazz hitam yang berada paling sudut dekat lapangan basket. Ku melihat kedalamnya, memastikan ada Chiko atau nggak. Ternyata dia belum sampai.
          Kuberdiri bersandar pada mobil Chiko. Kupandangi keadaan disekitarku. Siswa – siswa yang begitu ramai menuju gerbang sekolah untuk segera pulang kerumah mereka. Ada yang pulang dengan jalan kaki. Ada yang menunggu dihalte bus yang tak jauh berada dari sekolah kami. Ada yang pulang bersama pacarnya. Dan banyak yang membawa kendaraan sendiri.
          Mereka semua sibuk dengan pembicaraan yang sedang mereka bahas. Cewek – cewek update yang selalu mengikuti perkembangan selebritis, sedang asyik membicarakan tentang kedekatan artis yang heboh. Ada siswi yang sedang asyik becerita tentang fashion dan blablabla. Cowok – cowok yang sibuk membicarakan tentang pertandingan sepak bola.
          Dan siswa – siswi kelas tiga, yang sibuk membicarakan tentang persiapan ujian nasional mereka yang tinggal beberapa bulan lagi. Juga acara perpisahan sekolah dan tempat homestay yang bagus untuk dikunjungi yang selalu diadakan setiap tahunnya.
          Hmm... nggak kerasa, waktu berjalan begitu cepat. Sebentar lagi aku akan menduduki bangku kelas tiga. Menggantikan kedudukan mereka sekarang. Termasuk kakakku, Chiko. Yang sebentar lagi dia dan teman - temannya juga akan meninggalkanku disekolah ini. Dia dan teman – temannya. Ya temannya Yoga. Mungkin dulu aku sangat bersedih membayangkan waktu ini akan tiba. Waktu dimana mereka mendapatkan kelulusan dan meninggalkanku dibangku sekolah menengah atas ini. Tapi sekarang, kesedihanku yang dalam tergantikan dengan mengingat keadaannya saat ini.  Dia tidak hanya meninggalkanku disekolah ini saja, tapi mungkin dia juga akan meninggalkanku untuk selamanya.
          “ Udah lama nunggu ya dek ? Maaf ya.. Gue tadi sedikit ada urusan ma anak – anak. Ngomongin tentang rencana kita mau jenguk Yoga” sapa Chiko sambil berjalan membuka pintu mobilnya.
          “ Jenguk Yoga ? Jenguk dimana ? Mangnya Yoga kenapa ? “ tanyaku khawatir mendengar perkataan Chiko.
          “ Masuk mobil dulu deh, ntar baru gue ceritain didalem “ suruh Chiko
          Chiko mulai menghidupkan mesin mobilnya. Dia mulai menyetir dan meninggalkan lingkungan sekolah. Sepanjang jalan Chiko hanya diam dan tidak berbicara sepatah katapun padaku. Aku menunggu dia membuka suaranya, mengatakan padaku tentang apa yang terjadi dengan Yoga saat ini. Tapi sudah lama ku menunggu, Chiko tetap saja diam. Wajahnya tampak serius memperhatikan jalanan yang ada didepannya.
          Dia berusaha bersikap tenang dalam menyetir mobilnya. Walau tersirat ada tanda kegelisahan dimatanya. Aku tidak tahan untuk berlama – lama lagi menunggu dia mulai berbicara padaku. Dengan perasaan yang cemas aku mulai bersuara dan menanyakan keadaan Yoga padanya.
          “ Yoga kenapa ? Kenapa kalian ingin jenguk dia ? Dia baik – baik aja kan ? “ tanyaku dengan nada khawatir.
          “ Keadaannya tambah parah. Ini diluar prakiraan sebelumnya. Yoga mulai mengalami pembengkakan didadanya. Dokter bilang itu salah satu ciri dari penyakitnya, yaitu pembengkakan dikelenjar lympanya. Dan sekarang dia sedang dirawat di RS, Mangun Jati. Besok anak – anak mau rencanain kesana, untuk melihat keadaan dia langsung “
          Aku terdiam dan tidak bisa berkata apa – apa lagi tehadap apa yang diucapkan Chiko. Bagiku ini semua masih terasa mimpi. Yoga seseorang yang sangat kucintai menderita penyakit Leukimia yang mematikan. Aku nggak kuasa lagi buat bendung air mataku. Aku pun menangis dihadapan Chiko. Ingin rasanya untuk menjenguk dan melihat keadaan Yoga, tapi aku nggak kuat. Badanku serasa lemah dan tidak dapat bergerak bila membayangkan bagaimana kondisinya sekarang.
          Chiko membiarkanku menangis. Dia juga tidak berusaha untuk menenangkanku dengan cara berbicara padaku. Dia hanya diam dan terus melajukan mobilnya. Baginya, menenangkanku dengan tidak mengusikku yang sedang mengeluarkan airmata itu lebih baik. Daripada harus menambahkan kata – kata yang hanya akan membuat diriku bertambah sedih.
          Chiko menghentikan mobilnya. Aku tidak tahu entah ini sudah sampai dirumah atau dimana. Daritadi aku menutup mataku, memejamkannya dan membiarkan airmataku tetap mengalir.
          Aku mulai membuka mataku, melihat dimana keberadaanku sekarang. Karna aku merasa ini seperti bukanlah tempat dimana Chiko biasanya menghentikan mobilnya bila ia sudah sampai dirumah. Kuarahkan pandanganku pada keadaan sekelilingku. Ya aku merasa memang bukan berada dirumah.
Aku melihat banyak mobil – mobil yang berjajaran rapi disini. Dan ada  seperti perawat yang keluar masuk bergantian didepanku. Ku melihat pada papan besar yang bertuliskan RS Mangun Jati. Dan kini aku tahu, kemana Chiko membawaku pergi.
“ Ayo turun, kita masuk kedalam “ ajak Chiko padaku
“ Tapi bukannya loe bilang, loe mau kesini besok sama temen – temen loe lainnya ? “
“ Ya itu kan sama temen – temen gue. Gue bawa loe sekarang kesini “
“ Kenapa sekarang ? Gue belum siap. Loe aja yang turun dulu. Sampein salam gue ke Yoga. Gue tunggu disini. “ pintaku pada Chiko
“ Ra lihat gue ! “ suruh Chiko sambil memutar badanku menghadapnya.
“ Mau sampe kapan loe kayak gini hah ? Loe tega biarin Yoga sendirian ngadepin penyakitnya ini ? Ntar kalo Yoga mati sekarang gimana ? Loe sendiri juga yang nyesel kan karna gak dampingin dia disaat dia sakit ? dan semua penyesalan itu timbul disaat loe udah liat dia terbaring lemah di keranda tempat pembaringannya terakhir “
“ Loe ngomong apa sih ? Loe doain Yoga cepet meninggal ? “ tanyaku dengan suara serak menahan tangisan yang akan keluar nantinya.
“ Gue nggak doain dia cepet meninggal. Dia juga sahabat gue ! Sahabat gue sejak SMP. Gue juga nggak ingin kehilangan dia. Tapi sekarang satu – satunya orang yang dia butuhin ada disamping dia saat ini adalah Loe ! Adik gue sendiri ! Gue pengen liat dia bahagia disaat hari – hari terakhirnya. Dan orang yang bisa ngasih itu semua adalah loe. Dia butuh perhatian loe, dia butuh dukungan dari loe, dia butuh loe untuk jadi semangat hidupnya. Dia akan bisa bertahan melawan penyakitnya jika loe ada disamping dia. Loe nggak bisa diem kayak gini terus ! “ tutur Chiko meyakinkanku
“ Tapi gue nggak bisa Kak. Gue nggak bisa liat keadaan dia yang tersiksa karena sakitnya. Gue nggak bisa lihat wajahnya dia yang berada dalam kesakitan kayak gini. Gue nggak tega “ kataku sambil menangis dan membuat seluruh tubuhku bergetar merasakan kepedihan ini
“ Gue tahu apa yang loe rasain sekarang. Gue tahu berat buat loe dek, gue juga ngerasain gimana perih yang loe rasain sekarang. Gue ngerti loe ! Tapi loe lebih tega lagi kalau loe berlaku seperti ini. Bukan hanya loe nyiksa diri Yoga, tapi loe juga nyiksa diri loe sendiri. Ayolah deek... cobalah berpikir dewasa. Loe nggak boleh kekanak – kanakan terus kayak gini. Loe jangan pikirin diri loe sendri ! loe nggak bisa kayak gini terus. Loe harus kuat ngadepin ini semua. Semua orang akan meninggal dek ! Loe jangan pernah mikir kesananya ! Loe lakuin yang terbaik sekarang buat Yoga. Buat Yoga kekasih yang sangat loe cintai. Tunjukin disini dimana peran loe sebagai kekasih yang benar – benar mencintai dia. “ jelas Chiko sambil mengusap air mataku yang berjatuhan sejak tadi.
Dan untuk kesekian kalinya aku nggak bisa berkata apa – apa. Aku hanya bisa menangis dan terus menangis. Berat rasanya untuk menerima semua ini.
“ Ayo lah dek... Ayo sayang ! Kita turun, buat Yoga ! “ ajak Chiko sekali lagi sambil memegang tanganku. Menguatkanku agar aku mau menerima ajakan dia untuk turun melihat keadaan Yoga.
Dan akhirnya aku menyerah. Menyerah untuk terus mengikuti kata hatiku, yang tetap bersikeras untuk tidak menemui Yoga. Aku sadar apa yang dibilang Chiko benar. Yoga saat ini membutuhkan aku. Tidak seharusnya aku berlaku seperti ini. Aku harus bisa menerima semua yang terjadi. Ini adalah takdir. Sebuah cerita tentang percintaanku yang harus aku lalui. Aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah seperti ini. Terutama ketika berhadapan nanti dengan Yoga. Aku harus melihatkan ketabahanku atas semua ini. Aku harus bisa memberikan semangat padanya. Agar bisa melawan penyakitnya ini. Aku harus tersenyum didepannya, memberikan kekuatan padanya, walau didalam hatiku, aku menangis.
                                                ***
“ Gue harap lo bisa tenang disana. Jangan nunjukin kegelisahan lo ke dia. Buat dia seceria mungkin “ tutur Chiko sambil terus berjalan membawaku menuju kamar tempat peristirahatan Yoga
Chiko terus menggenggam tanganku sepanjang jalan melewati lorong dirumah sakit ini. Bau obat – obatan yang kian terus menyengat terasa disini, membuatku pusing dan mual. Ya aku memang tidak suka pada suasana dirumah sakit. Terutama dengan baunya yang khas. Mungkin itu juga salah satu sebab mengapa aku tidak mau jadi dokter.
Langkah Chiko terhenti tepat diruangan 307. Mungkin ini ruangan Yoga dirawat. Kucoba mengintip ke dalam, memastikan bahwa memang ada Yoga didalamnya. Tapi Chiko mencegatku. Dia memandangiku dengan tatapan yang dalam. Dia mengaruk – ngaruk saku celana dibelakangnya. Aku sedikit merasa aneh dengan tingkah laku Chiko. Entah apa yang dia perbuat, dia tampak seperti orang yang sedang mencari – cari sesuatu didalam sakunya itu.
Dan dia mengeluarkan benda yang ada didalamnya. Saputangan. Chiko mulai mengusapkan saputangannnya ke mataku. Dia ingin menghapus sisa – sisa air mata yang masih terlihat sangat jelas dimataku. Jarang sekali aku berada didalam suasana ini. Suasana dimana aku mendapatkan kehangatan dan perhatian seorang kakak yang biasanya selalu menjahiliku. Bahkan mungkin aku dulu sempat berpikir kalau Chiko tidak menyayangiku sebagai adiknya. Tapi kini semua anggapan itu bisa kutepis dengan sempurna. Dia menyayangiku. Dia sungguh memperhatikanku. Dia menumpahkan semua kasih sayangnya. Aku senang melihat perubahan dia yang cukup dewasa. Memperhatikanku sebagai adik satu – satunya yang dia punya.
“ Sekarang keliatan lebih baik daripada yang tadi. Yuk masuk ! “ kata Chiko dengan senyum kehangatannya itu
Chiko mulai membuka pintu kamar Yoga. Aku menghela nafas dalam – dalam mencoba mengendalikan semua emosi yang bergejolak dihatiku. Aku menggerak – gerakan bibirku, sambil sesekali menggigitnya menenangkan hatiku yang cemas dan gelisah ini.
Dan kini, aku-pun sudah berada didalam ruangannnya. Bunyi infus terdengar memecahkan keheningan didalam ruangan itu. Kuputarkan bola mataku melihat seisi ruangan yang ada. Tak ada satupun orang didalamnya. Hanya ada Yoga yang sedang berbaring lemah dengan kedua matanya yang tertutup. Sepertinya dia sedang tertidur pulas. Aku tau dia pasti letih menahan kesakitan yang kian menyesak didadanya.
“ Kemana keluarganya ? Kok Cuma dia sendiri disini ? “ tanyaku berbisik pada Chiko.
“ Nyokapnya tadi nelfon gue. Katanya tadi ada urusan penting, jadi dia minta gue jagain sampe malam nanti disaat mamanya balik. Adeknya masih sekolah, blum pulang. Kalo bokapnya lo tau ndiri, udah lama ngilang ninggalin keluarganya. Gak ada kabar sama sekali. Sampe keadaan anaknya sakit parah kayak gini aja, dia tetap gak dateng. Pergi sama keluarga barunya. Dasar laki – laki bejat !” kata Chiko.
Ayah Yoga sudah lama menghilang ??!!! Sungguh aku baru mengetahui semua itu setelah ucapan dari Chiko tadi. Yoga tidak pernah memberitahuku tentang hal ini. Aku tidak menyangka Yoga bisa menutupi cerita yang pahit ini dengan begitu rapi. Aku merasa menyesal sebagai kekasihnya yang tidak mengetahui hal pelik didalam hidupnya.
“ Dia jadi cepat lelah karna aktifitasnya sehari –hari. Makanya dia terkena anemia juga. Memang sih itu juga salah satu dari ciri penyakitnya. Tapi itu jadi bertambah parah karna dia yang terus bekerja sampe larut malam. Sampe – sampe dia gak peduliin lagi gimana kesehatannya. Dengan alasan, gue satu – satunya cowok di keluarga ini. Mau cari uang dimana buat biayain sekolah gue dan adik gue ? loe tau ndiri bapak gue kabur dari rumah. Nyokap gue hanyalah seorang ibu rumah tangga yang udah mulai sakit – sakitan. Jadi gue harus kerja banting tulang buat cari uang ko. Haaah... kata – kata dia yang selalu buat gue kagum sama pribadi dia. Gue bangga punya sahabat kayak dia “ jelas Chiko melanjuti pembicaraannya tentang kehidupan Yoga akhir –akhir ini.
Kerja ?? Yoga kerja apa ? Pernyataan apalagi ini ? Mengapa aku sama sekali tidak mengetahuinya sedikitpun. Mengapa Yoga tidak pernah bilang ini sedikitpun ke aku ??! Ya Tuhan..... sampe persoalan yang jauh lebih dalam seperti ini tentang Yoga aku sama sekali tidak tahu. Mungkin ada perasaan marah dalam hatiku padanya. Marah karna dia tidak memberi tahuku sama sekali tentang ini.
Tapi kuurungkan niatku, melihat keadaanya sekarang. Aku juga berpikir sejenak tentang apa yang telah terjadi akhir – akhir ini antara aku dan Yoga. Ya aku akui, semenjak aku kehilangan Ayahku, aku begitu egois padanya. Aku hanya ingin selalu diperhatikan sama Yoga. Sedikit saja Yoga berbuat salah, aku langsung marah dan ngambek padanya. Aku tidak pernah memedulikan pribadinya. Tentang kehidupannya sekarang. Aku seakan – akan hanya ingin Yoga selalu memberikan perhatiannya yang penuh padaku. Tanpa ada imbangan dari akunya terhadap dia.
Aku langsung marah padanya bila dia sedikit saja telat menjemputku dari tempat les malamku. Aku marah bila dia tidak membalas sms dan mengangkat telfonku. Tanpa menanyakan terlebih dahulu kenapa dia berlaku demikian. Aku marah bila dia tidak bisa menemaniku jalan dan pergi kesuatu tempat. Aku marah bila dia tidak bisa pergi kencan denganku. Tapi dia........ Dia tidak sedikitpun marah padaku. Dia tetap sabar, dan membalas semuanya dengan senyuman. Dan berusaha menenangkanku, meredam semua amarahku.
“Yoga.... aku kangen kamu !” batinku lirih berbisik dalam hatiku.
Dan kini aku tau, semua alasan dia mengapa dia sering melakukan kesalahan kecil seperti itu. Itu semua karna dia kerja, kerja untuk keluarganya. Dan aku sangat – sangat menyesal atas sikapku selama ini padanya. Aku yang tak mengerti dia.
“ Maafkan aku Yoga “ bisik hatiku sekali lagi sambil membelai wajahnya yang penuh dengan kedamaian.
Aku duduk di kursi kosong disebelah tempat tidurnya. Ku pegang tangannya. Dingin. Ku lihat wajahnya yang begitu pucat, dadanya yang sudah mulai membengkak. Sungguh memprihatinkan keadaannya. Aku mencoba untuk tenang, dan untuk tidak mengeluarkan air mata lagi. Aku ingat pesan Chiko, aku tidak boleh keliatan lemah dihadapannya.
Dan ternyata aku tak kuasa untuk itu semua, air mataku menetes saat aku mencium tangannya. Air mataku jatuh mengenai tangannya. Cepat – cepat aku hapus agar tak terasa olehnya. Supaya dia tidak terbangun karenaku. Kukecup keningnya. Dan kejadian bodoh itu terulang lagi. Aku kembali meneteskan airmata sehingga mengenai keningnya. Dan diapun terbangun dari tidurnya.
“ Debra... “ suaranya lirih menyapaku.
“ Ya aku... Aku datang disini untukmu. Maafin aku, atas sikapku yang salah kemarin ini. “ jawabku dengan berusaha tampak seperti biasa.
“ Aku nggak pernah nyalahin kamu. Jadi kamu nggak perlu minta maaf ke aku sayang. Dengan datangnya kamu disini itu udah cukup bagiku. “ balasnya yang masih dengan sikap bodohnya, yang tidak pernah menyalahkanku.
“ Aku salah Yoga. Aku bersalah terhadap kamu. Aku nggak ngerti kenapa kamu nggak pernah bisa nyalahin aku sedikitpun, walau sudah jelas – jelas aku terbukti bersalah. Aku benci dengan keadaan seperti ini Ga. Aku nggak suka ! Aku ingin kamu marah padaku. Karna aku nggak pernah ngertiin kamu sedikitpun. Aku bukan cewek yang baik buat kamu. Aku selalu nuntut kamu untuk ada disampingku, sedangkan aku nggak pernah ada disaat kamu butuh aku. Aku salah Yoga. Kenapa kamu nggak pernah nyalahin aku sedikitpun ? “ tanyaku dengan beruraian airmata.
“ Karna aku cinta kamu “
“ Bodoh ! Bukan itu jawaban yang aku inginkan. Aku benci kamu. Benci karena kamu nggak pernah bilang ke aku tentang hal pelik yang kamu hadapi sekarang. Papa kamu yang sudah lama menghilang, kamu yang selama ini kerja part time untuk membiayai keluarga kamu. Kenapa kamu nggak pernah bilang semuanya ke aku ? Aku berhak tahu ini Yoga ! “ bentakku dengan perasaan yang marah bercampur kecewa, karna tak bisa lagi meredam emosiku.
Yoga hanya diam dan tidak menjawa pertanyaanku. Aku semakin gila dan tidak bisa lagi meredam emosiku. Aku menarik – narik tangannya dan berusaha untuk dapatkan jawaban yang berarti dari mulutnya. Dan Chiko pun langsung menghentikan tingkahku yang semakin brutal karna tak dapat meredam emosi dan kekecewaanku.
“ Udah Debra ! Yoga lagi sakit ! Nggak seharusnya kamu membahas hal yang nggak penting ini sekarang ! Jaga emosi kamu !” bentak Chiko yang marah dengan perbuatanku.
“ Tapi aku hanya ingin tahu jawabannya. Aku hanya ingin Yoga bersikap jujur dan terbuka padaku. Aku kecewa........... aku merasa nggak dianggap. Masalah sepenting ini saja tentang diri Yoga aku nggak tahu. Kekasih macam apa aku kak ???!!” tanyaku dengan perasaan geram dihatiku.
“ Aku minta maaf Debra ! Aku tahu aku salah. Aku melakukan semua ini, karna aku nggak ingin nambah beban buat kamunya. Aku nggak mau kalo kamu sampe ikut pusing dengan masalah aku. Aku....”
“ Itu jawaban yang bodoh Yoga ! Aku kekasih kamu ! Aku berhak tahu tentang masalah ini. Seberat apapun itu.. mau itu akan jadi beban dipikiran aku, kamu harus tetap ngasi tau aku. Pahit dan senengnya kita jalanin bersama. Kita hadapi semua masalah yang ada berdua. Kamu sendiri kan yang bilang ke aku, kalau kita harus terbuka satu sama lain. Nggak ada yang boleh ditutupin dari kita. Tapi ini apa ? kamu sendiri yang nggak bisa ngelakuin apa yang kamu ucapkan. “ kataku yang langsung memotong pembicaraan Yoga tadi.
“ Aku minta maaf. Tolong jangan salahin aku lagi. Ini bikin aku tersiksa dengan perasaan bersalah yang terus menghantui aku. Aku mohon maafkan aku.” Jawab Yoga sambil terbata – bata dan berusaha berbicara dengan menahan rasa sakit didadanya.
Yoga semakin menggeram karena menahan rasa sakit didadanya. Yoga memegangi dadanya yang sudah membengkak itu. Bibirnya semakin pucat. Seluruh badannya bergerak berusaha mengendalikan dirinya untuk bisa menahan rasa sakit itu. Yoga berteriak dengan suara yang kencang dan lantang.
“ Aduuuuh sakiiiit !!! “ teriaknya sambil menggigit kerah baju yang dikenakannya.
Entah apa yang terjadi pada Yoga. Aku bingung. Aku panik melihat dia yang terus – terusan berteriak menahan rasa sakitnya itu. Aku nggak tahu mesti berbuat apa. Ini semua pasti salahku. Yoga kembali meraung kesakitan karna pertanyaan bodohku tadi.
“Ya Tuhan maafkan aku. Tolong tenangkan Yoga.” gumamku dalam hati yang semakin panik melihat keadaannya.
Kakakku Chiko tampak berusaha untuk menenangkan Yoga. Dia juga ikutan panik sama seperti aku. Tapi dia lebih baik, karna dia masih bertindak sesuatu. Dia masih tahu apa yang seharusnya dia lakukan. Berbeda dengan aku.
“ Ngapain kamu masih diam seperti ini ? Tolong aku ! Panggilin Dokter !!!” bentak Chiko memarahiku yang hanya diam dan kepanikan daritadi.
Aku segera berlari keluar dengan tergopoh – gopoh. Ketakutanku semakin memuncak mendengar teriakan Yoga yang terdengar sampai keluar kamar.
“Ya Tuhan ini semua salahku. Aku sungguh menyesal telah melakukan semua ini pada Yoga. Kenapa aku masih bertindak bodoh dengan pertanyaan yang nggak seharusnya aku bahas dalam keadaan Yoga seperti ini. Kenapa aku tetap tidak bisa mengontrol emosiku dalam keadaan begini?? Aku kesini untuk membuat Yoga tenang dan untuk kesembuhan dia. Bukan untuk membuat dia bertambah sakit lagi. Aku sungguh bodoh. Kekasih macam apa aku ? Dalam keadaan seperti ini aku tidak bisa membuat Yoga lebih baik ? Jelas – jelas aku sudah tidak ada selama ini untuknya. Apalagi setelah aku mengetahui dia menderita penyakit itu. Aku tidak pernah ada disampingnya untuk merawat keadaannya. Tapi sekarang ketika aku berada disini, apa yang aku lakukan ?? Dasar gadis bodoh ! Aku benci dengan diriku !” gumamku dalam hati.
Sepanjang jalan aku terus mengutuk diriku sendiri. Aku menyesal atas semua kejadian ini. Aku memang pantas disalahkan atas semua yang terjadi.
“ Sus.. tolong secepatnya antarkan dokter kekamar 307. Pasien disana meradang kesakitan suster. Ayo cepat ! Keadaannya sangat parah !” pintaku
“ Ya mbak, kami akan segera kesana. Tunggu didalam saja. Tenangkan dia dulu. “ jawab suster yang juga ikutan panik dan segera menelfon dokter yang menangani penyakit Yoga.
Aku balik lagi berjalan menuju kamar Yoga. Rasanya tidak sanggup lagi untuk masuk kedalam kamarnya. Aku hanya berdiri diluar. Aku benar – benar takut untuk masuk. Aku tahu perbuatanku salah dengan berdiam diri diluar. Tapi aku tidak tahu lagi apa yang bisa aku lakukan dalam keadaan seperti ini. Suara teriakan Yoga semakin kencang dan masih terdengar jelas ditelingaku. Aku nggak kuasa lagi untuk membendung air mataku. Aku memeluk tubuhku seerat – eratnya. Kulipatkan kedua tangan ditubuhku. Dan aku menangis sekencang – kencangnya. Meski tanpa suara. Hanya gulimangan air mata yang terus membasahi pipiku.
“ Kak Debra ? Kakak kenapa ? Kok malah nangis diluar ? “ tanya Yoesi adek kandung Yoga yang baru pulang dari sekolahnya. Adik yoga masih duduk dibangku kelas satu SMA.
“ Emm.. Kak Yoga ..” belum sempat aku melajutkan ucapanku, teriakan Yoga semakin kencang dan membuat Yoesi juga ikutan khawatir mendengarnya.
“ Kak Yoga kenapa kak ? “ tanya Yoesi dengan mimik wajah yang begitu takut dan cemas.
Aku terdiam. Aku nggak tahu harus menjawab apa terhadap pertanyaan Yoesi. Yoesi semakin geram dengan sikapku yang hanya bisa diam. Tanpa harus terlalu lama lagi menunggu jawaban dariku, Yoesi langsung membuka pintu kamar dan masuk melihat keadaan Yoga. Diiringi dengan Dokter dan suster yang baru datang dan langsung masuk kedalam.
Entah apa yang terjadi didalam. Aku masih tidak sanggup untuk masuk. Aku masih berdiri diluar. Dan nggak lama kemudian terdengar suara orang membuka pintu kamarnya. Chiko dan Yoesi keluar. Mereka berdiri disampingku. Wajahnya juga sama denganku. Wajah yang penuh dengan ketakutan dan khawatir terhadap kondisi Yoga. Mereka berdiri disampingku tapi sama sekali tidak mempedulikanku. Aku nggak tahu apa ini pertanda kalau mereka marah atas prbuatanku atau memang dalam kondisi panik terhadap Yoga, sehingga tidak mempedulikan aku.
“ Yoga sudah mulai tenang. Kami tadi telah memberikan suntikan penenang padanya. Dan kini dia sedang tertidur. Kalian nggak usah khawatir. Itu hal yang lazim kok dialami penderita penyakit leukimia. “ tutur Dokter yang baru keluar dari kamar Yoga.
“ Ya dok.. makasi. “ jawab Yoesi yang langsung masuk kedalam kamar Yoga.
Dokter pun langsung pergi berlalu meninggalkan kami semua. Aku masih saja tetap tidak tenang dengan apa yang terjadi. Meski dokter bilang kami nggak usah khawatir dengan keadaan Yoga.
“ Ayo masuk kedalam ! Kita pamit sama Yoesi. Kita langsung pulang saja. Biarkan Yoga istirahat dulu. “ kata Chiko menarik tanganku untuk masuk kedalam.
“ Dek kita pamit pulang dulu ya. Yoga juga harus istirahat. Hmm.. kakak juga mau nenangin Debra dulu. Dia nggak tenang banget kayaknya. Dia khawatir dan takut banget sama kondisi Yoga. “
“ Iya kak nggak pa –pa. Makasi ya udah nungguin kak Yoga daritadi. Sekarang biar dek jaga sendiri. Kak Debra jangan khawatir lagi ya. Kak denger sendiri kan apa yang dibilang Dokter tadi ? Jadi jangan terlalu panik lagi ya kak. Jangan nangis lagi. “ tutur Yoesi dengan senyuman manisnya sambil merangkulku.
Yoesi adalah adik Yoga satu – satunya. Dia juga gadis yang sangat ramah. Wajah manisnya juga memperlihatkan kalau dia bukanlah gadis yang nakal. Dia juga sangat dekat denganku. Boleh dibilang kami seperti saudara kandung. Yoesi juga biasanya selalu curhat denganku tentang masalah yang dihadapinya. Bukan hanya Yoesi, kedua oarangtuanya juga dekat denganku. Mereka semua ramah dan baik denganku. Makanya aku begitu senang dengan Yoga dan keluarganya. Bahkan dulu aku berharap hubunganku dengan Yoga tidak akan pernah berakhir. Aku ingin selamanya bisa disampingnya. Aku juga sempat berharap bahwa dialah yang akan mendampingiku dipelaminan nanti. Tapi kini.... semua harapan itu musnah. Sekarang aku nggak ingin lagi terlalu berharap tentang itu. Harapan yang sia – sia.
                                                ******
“ Jangan sampe karna kejadian tadi kamu nggak mau lagi buat ngejenguk dan ngejagain Yoga disana. Itu Cuma reaksi dari penyakit dia “ kata Chiko menenangkanku.
Kami berdua telah sampai dirumah. Sebelum aku masuk kekamar, Chiko menasihatiku dan menenangkanku dari kejadian tadi.
“ Tapi.. itu semua ada hubungannya dengan pertanyaan gue tadi ke Yoga kan ? “ tanyaku
“ Nggak ada kok, nggak ada hubungannya dengan itu. Loe denger sendiri apa yang dibilang dokter ke kita, ini cuma reaksi dia doang “
“ Loe ngomong gini cuma mau nenangin gue doang kan ? Semua yang terjadi pasti ada kan hubungannya dengan pertanyaan gue tadi ?”
“ Udah deh dek ! Loe nggak perlu bahas tentang ini lagi. Yang penting sekarang, loe harus tetap selalu jenguk dan jaga Yoga. Buat dia benar – benar merasa tenang. Dan manfaatkan waktu yang masih ada untuk loe berdua dengannya. Loe lihat sendiri kan, gimana senangnya Yoga tadi waktu loe dateng ? Dan gimana senangnya Yoesi begitu melihat loe ada dirumah sakit. Walaupun belum ada perubahan dengan Yoga setelah kedatangan loe, tapi adiknya tetap bahagia loe bisa dateng kesana. Mereka semua nungguin kedatengan loe. Jadi loe nggak boleh berhenti buat jagain Yoga “ tutur Chiko dengan panjang lebar.
“ Iyaiya... gue bakal jagain Yoga terus kok. Gue masuk dulu. Capek mau istirahat “ jawabku singkat.
                                                ***
Aku menepati janjiku pada Chiko. Setiap hari aku selalu datang untuk menjenguk Yoga. Aku selalu menjaganya, bahkan sampe malam. Chiko dan keluargaku juga tidak pernah mempermasalahkan aku yang selalu pulang malam karnanya. Bahkan Chiko selalu dengan setia mengantar jemputku ke rumah sakit. Tentu saja, karna ini juga hal yang sangat diinginkannya.
Aku juga lebih kuat melihat Yoga yang terkadang sering meraung kesakitan. Memang benar apa yang dibilang dokter, itu hal yang lazim terjadi. Jadi sekarang itu sudah menjadi pemandangan yang biasa bagiku. Terkadang bila Yoga dalam keadaan baik, aku seperti merasakan hal yang sama. Hal yang sama seperti dulu. Disaat aku belum mengetahui penyakit tentang Yoga. Disaat yang dulu, disaat Yoga yang masih dalam keadaan biasa – biasa saja, dan sering membuatku tertawa dan nyaman disampingnya. Yoga yang selalu memberikan ketenangan dan kehangatan padaku.
Kami juga sering tertawa bersama lagi. Bahkan aku juga sering membawa Yoga keluar dari kamarnya dan jalan – jalan di halaman rumah sakit. Semuanya benar – benar baik saja. Aku berharap, aku masih bisa merasakan hal seperti ini dalam waktu yang cukup lama. Dan tentunya bukan dirumah sakit. Aku ingin membawa Yoga keluar lagi. Keluar bebas menghadapi indahnya dunia tanpa herus memikirkan tentang penyakitnya. Semoga saja ini bukan harapan yang semata. Semoga Yoga benar – benar bisa sembuh dari penyakitnya, walau kemungkinan itu kecil.
“ Ra.... jika aku udah nggak ada nanti, kamu cepat – cepat cari cowok baru ya. Biar kamu bisa tenang dan bisa lepas dari bayang – bayang aku. “ kata Yoga yang membuat ku kaget dengan ucapannya.
“ Kamu ngomong apa sih ? Penyakit kamu itu masih bisa disembuhkan tau nggak ! Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Aku nggak suka ! “
“ Kamu ngomong apa sih Ra ? Penyakit aku itu udah parah banget. Cuma tinggal 2 bulan lagi. Itupun juga udah hitungan dari mulai dokter ngomong kemarin. Sekarang udah berjalan satu bulan sejak pembicaraan itu. Cuma nunggu waktu satu bulan lagi.”
“ Yoga, please ! Aku mohon jangan pernah ngomong tentang itu lagi. Aku nggak peduli mau itu tinggal berapa bulan, minggu atau beberapa hari lagi, aku bisa bersama kamu. Tolong jangan pernah bahas itu lagi disaat kita berdua seperti ini. Biarkan kita melewati hari – hari ini dulu. Hari – hari dimana kita masih tetap bersama.”
“ Ya... saat – saat terakhirku “
“ Yogaaaa...... ! Jangan pernah bilang seperti itu lagi “
“ Yaya.. Maaf. Tapi kamu janji ya, kamu harus tetap semangat dan jadi diri kamu yang selalu ceria walau tanpa aku disisimu.”
“ Aku bilang aku nggak mau lagi bahas tentang itu. Aku nggak akan jawab permintaan kamu “
“ Yaudah... aku cuma ingin yang terbaik buat kamu. Aku nggak ingin kamu kenapa – napa. Yang terpenting dalam hidupku, adalah kebahagiaan kamu. Bukan hanya dalam hidupku saja, tapi juga matiku “
“ Yogaaaa... udah deh ! Berhenti aku bilang ! “
“ Hmm.. iyaiya. Itu omonganku yang terakhir. Aku nggak akan bahas itu lagi “
Aku nggak sanggup saja membayangkan waktu itu akan terjadi. Waktu dimana Yoga benar – benar diambil dari kehidupanku. Aku bener – bener nggak mau mendengar Yoga membahas tentang ini lagi. Aku tau waktu akan terus berlalu dan semakin mendekati hari itu. Tapi aku yakin, dan percaya dengan keajaiban. Dokter boleh memvonis dia dalam kurun waktu yang sedikit lagi. Tapi semuanya tergantung pada Tuhan. Jika Tuhan mengijinkan aku untuk tetap terus bisa bersama Yoga, hari itu takkan pernah terjadi. Takkan pernah terjadi untuk selamanya. Karna aku berharap, nggak akan ada yang bisa memisahkan aku dengan Yoga.
                                               

















And The Time Has Came............

Udara yang begitu segar, dan daun – daun yang menari begitu indah. Bunga mawar putih dan taburan bunga yang lainnya yang semakin mempesona, diatas hamparan rumput hijau yang luas. Benar – benar pemandangan yang menyejukkan mata.
Aku memang sengaja ingin memanjakan diriku hari ini. Melepaskan dari segala penat yang ada. Aku juga nggak tau dengan pasti dimana tepatnya aku berada sekarang. Yang jelas suasana dan tempat ini begitu berbeda dari tempat – tempat yang pernah aku kunjungi lainnya. Nyaman dan begitu indah.
Aku sengaja membaringkan tubuhku diatas rerumputan yang bersih ini. Kupejamkan mataku dan membiarkanku menghirup udara yang begitu segar ini sepuas – puasnya. Hmm.... hatiku benar – benar merasa tenang. Seakan semua masalah yang ada terbang bersama tiupan angin yang sejuk ini. Ku rentangkan tanganku agar tak ada yang lagi menyesak didadaku. Aku tak tau untuk berapa lama aku akan terus berbaring disini. Rasanya ingin selamanya aku bisa berada disini, tempat yang memberi ku ketenangan. Layaknya seperti di surga.
“ Aku juga sangat menyukai tempat yang indah ini. Seperti surga yang selama ini ingin kutuju “ tutur seseorang yang ikut berbaring disampingku.
“ Yoga ? Kenapa kamu bisa sampai disini ? Bukannya seharusnya kamu dirumah sakit ? “ Tanyaku heran melihat kedatangannya.
“ Aku sudah keluar dari rumah sakit. Aku sudah sembuh dan sekarang aku mulai tenang. Karna aku tak perlu lagi memikirkan tentang penyakitku. Aku tak perlu lagi harus berteriak menghabiskan suaraku untuk mengaduh kesakitan. Aku juga tidak perlu lagi memegang dadaku untuk menahan rasa sakit yang bergejolak selama ini. “
“ Benarkah ? Aku benar – benar bahagia mendengar berita itu. Aku senang bisa bersama kamu lagi. Dan terus bersama selamanya. “ jawabku dengan hati yang begitu senang dan lega. Dan dengan reflek aku langsung memeluk tubuh Yoga yang berbaring disampingku.
Ya Yoga benar. Tidak ada lagi sesuatu yang membengkak didadanya. Dia benar – benar kembali seperti diri Yoga yang dulu. Yoga yang sehat dan begitu sempurna dengan tubuh atletisnya yang tidak perlu diragukan lagi. Aku bahagia menerima kenyataan bahwa Yoga telah sembuh dari penyakitnya.
“ Ya Tuhan..... terima kasih telah mengabulkan doaku selama ini. Terima kasih Engkau  telah menyembuhkan Yoga dari penyakitnya. Aku benar – benar sangat bersyukur. Terima kasih karna tidak mengambil orang yang aku cintai lagi. Terima kasih karna telah membiarkan aku tetap bisa bersamanya. Aku nggak akan pernah lepaskan dia. Aku akan menjaganya sampai waktu akan memanggilku. Karna aku ingin selamanya untuk mencintai dirinya, Yoga. “ batinku.
“ Aku punya sesuatu untukmu “ Kata Yoga sambil menatapku dengan sebuah kotak kecil ditangannya.
Kami berdua pun langsung duduk dan memfokuskan diri pada sebuah kotak kecil yang ada ditangan Yoga.
“ Apa ini ?” tanyaku penasaran pada Yoga.
“ Buka aja “ jawabnya
Aku pun langsung mengikuti perintahnya. Aku juga sangat penasaran dengan isi kotak kecil yang dibawanya. Aku mulai membuka kotak itu dengan kunci yang dikasihkan Yoga padaku. Dan aku tersenyum begitu mengetahui apa isi didalamnya. Boneka dolphin yang kecil, gantungan kunci, kalung berlambang G ungu, dan sebuah surat. Ketiga benda yang begitu bersejarah pada kisah cinta kami berdua. Gantungan kunci, boneka dolphin yang kecil dan kalung berlambangkan ungu. Aku sangat mengenal ketiga benda ini. Tapi tidak untuk yang satu itu. Sepucuk surat berwarna ungu yang aku belum tau apa isinya.
“ Untuk yang pertama, ambil gantungan kuncinya dulu ! “ suruh Yoga padaku. Aku pun langsung mengambilnya.
“ Kamu masih inget cerita kita tentang gantungan kunci itu ? “
“ Ya... tentu. Aku tidak akan pernah melupakannya.”

4 Tahun Yang lalu.................
          Aku terdiam menatapi besi yang menutupi lubang tempat pengaliran air kotor dibawahnya. Hujan yang deras terus membasahi tubuhku. Aku berusaha memasukkan tenganku disela – sela besi tersebut. Aku ingin mengambil gantungan kunciku yang terjatuh kedalamnya. Tapi untunglah belum sampai digenangan airnya. Kalau sudah sampai, bisa – bisa aku tak akan pernah lagi bertemu dengan gantungan kunci itu karna telah hanyut bersamanya. Tali dari gantungan kunci itu masih tersangkut pada sesuatu yang runcing pada besi tersebut. Jadi aku masih ada harapan untuk mendapatkannya kembali. Tapi tanganku tetap tidak bisa masuk kedalamnya. Aku berusaha terus mencoba untuk mendapatkannya. Tapi tetap saja tidak bisa.
          “ Hei... Kamu kenapa ? Ada yang bisa aku bantu ? Hujan – hujan gini kok malah berdiri disini sih ? Dekat got lagi... bau tau ! “ sapa seorang lelaki berparas tampan padaku.
          “ Gantungan kunciku tersangkut didalamnya. Aku ingin mengambilnya. “ jawabku
          “ Ya elah... Cuma gantungan kunci. Bisa dibeli lagi kok. Biarin aja ! Ayo ikut aku ke halte sana, jangan hujan – hujanan disini. “ katanya.
          Aku hanya diam. Aku tidak mempedulikannya. Aku juga tidak mengenal dia. Buat apa aku ikuti perkataannya. Bagiku benda ini lebih berharga daripada apapun.
          “ Kok masih diam disini sih ? Mang berarti banget ya ? “ tanyanya lagi padaku. Tapi aku hanya mengangguk saja padanya. Tidak menjawabnya dengan suaraku.
          Lalu laki – laki itu pergi entah kemana. Hmm... masa bodoh ! Biarin aja. Toh aku juga nggak mengenalnya. Tapi ada sedikit rasa kesal dihatiku. Aku pikir dia datang kesini ingin menolongku mengambil gantungan itu. Tapi ternyata tidak. Dia malah pergi entah kemana. Aku menyesal telah berharap sesuatu yang tidak pasti darinya.
          “ Minggir bentar yaa. Aku mau coba mengambilnya. “ suara itu tiba – tiba muncul lagi dengan kayu runcing ditangannya.
          Sontak aku langsung bergeser dari tempat itu. Dia langsung menunduk dan mencoba mengail – ngail dan berusaha untuk dapatkan kunci itu. Dia tidak mempedulikan hujan deras yang seperti batu jatuh pada tubuh dan mukanya. Aku saja sudah merasa kesakitan karena tetesan hujan yang jatuh begitu keras rasanya. Seragam sekolah yang dikenakannya juga ikut kotor karena usahanya itu. Tapi beruntung usahanya tidak sia – sia. Dia berhasil mendapatkan gantungan itu kembali.
          “ Nih gantungannya. Sayang udah kotor. Tapi bisa dicuci lagi kok.” Katanya sambil memberikan gantungan kunci itu padaku. Dia tersenyum padaku. Senyum yang begitu indah. Aku merasa bersalah karena telah berburuk sangka padanya tadi sewaktu dia pergi meninggalkanku. Ternyata dia pergi untuk mencari kayu runcing itu.
          “ Makasih banyak ya.. maaf udah ngeropotin” kataku dengan singkat. Aku bingung harus berkata apa lagi padanya. Aku terdiam karna kagum dengan perbuatannya padaku. Dia lelaki yang baik. Tapi... aku juga cukup terpesona dengan ketampanannya.
          “ Iya sama – sama. Lain kali hati – hati ya. Jangan sampe jatuh lagi “ katanya membalas ucapanku.
          Lalu dia pergi berlalu meninggalkanku. Tanpa harus berkenalan denganku. Dia hanya benar – benar berniat untuk menolongku saja. Aku pikir sehabis dia menolongku, dia akan menanya namaku dan kita berkenalan. Tapi ini ternyata tidak. Aku tidak mengetahui namanya dan juga sekolahnya dimana. Kalau begitu gimana caranya aku bisa bertemu dengan dia lagi ? Arrghh.... bodoh. Kenapa tidak langsung saja tanyakan namanya tadi. Walau sedikit malu karna perempuan yang bertanya dulu. Tapi nggak apa – apa daripada seperti ini. Dan ini.... untuk pertama kalinya aku merasakan deg – degan dan salah tingkah didepan cowok dalam usiaku yang baru beranjak 13 tahun, tepatnya aku yang masih menduduki bangku pertama di sekolah menengah pertama. Mungkin ini yang bisa dibilang cinta monyet. Tapi bagiku tidak... ini mungkin yang dinamakan cinta pertama.
          “ Pertemuan pertama kita yang nggak akan pernah aku lupakan. Dimana aku dengan polosnya berpikir tujuan kamu waktu itu untuk berkenalan denganku. Tapi ternyata tidak... malu dan kecewa. Itu yang aku rasakan. “ tuturku dengan tersenyum mengingat kejadian itu.
          “ Aku menolong kamu, karna aku pernah liat foto kamu di dompet Chiko, sahabatku. Jadi sewaktu liat kamu aku tahu, kalau kamu adek Chiko. Jadi aku langsung bantu. Nggak ada niat sama sekali buat kenalan. Karna aku sudah kenal kamu. “ jawabnya yang juga ikutan tersenyum karna mengingat pertemuan kita waktu itu.
          “ Tapi pertemuan itu yang bikin aku jatuh cinta sama kamu. Walaupun usia ku masih kecil, dan masih terbilang cinta monyet, tapi tidak bagiku. Bagiku pertemuan pertama itu adalah pertemuan dimana aku bisa merasakan yang namanya cinta pertama. “
          “ Ya... bukan hanya kamu. Tapi aku juga. Makanya sejak pertemuan kita itu, aku jadi sering main kerumah kamu. Dengan alasan ingin pergi main kerumah Chiko. Padahal sebenarnya ingin ketemu kamu. Aku sudah berulang kali menyatakan kepada Chiko bahawa aku suka padamu. Tapi Chiko belum mengijinkan aku. Dia melarang keras aku untuk mendekati kamu. Dan aku bersabar menunggu kamu sampe lulus dari bangku SMP. Dan disaat itulah, penantianku selama ini tidak sia – sia. Dan usahaku yang selalu terus – terusan meminta izin pada Chiko untuk memacari kamu membuahkan hasil. Chiko merestui aku dan kamu, dengan menyerahkan semua jawabannya padamu.”
          “ Dan penembakan itupun terjadi dengan dua pilhan. Mawar putih sebagai tanda kalau aku ingin dan menerima kamu jadi pacar aku. Sedangkan kalung berlambang ungu, yang artinya aku hanya menganggap kamu sebagai kakakku sendiri. Dan itu tandanya, aku menolak kamu.” Sahutku memotong ucapannya.
          “ Dan kamu mengambil kalung berlambangkan ungu. Yang membuatku benar – benar kecewa waktu itu. Aku sedih karna penantianku selama ini sungguh sia – sia. “ jawabnya lagi.
          “ Aku masih ingat dengan dialog kita waktu itu, aku pilih ini. Kalung berlambangkan ungu. Maaf...... dan aku diam untuk sejenak. Lalu melanjutkan ucapanku Tapi bukan berarti aku menolak kakak. Kata siapa aku nggak ingin jadi pacar kakak. Ini juga hal yang sudah lama aku tunggu – tunggu sejak aku masih duduk dibangku SMP. Trus kamu nanya, Trus kenapa kamu malah ngambil kalung itu ? Bukannya kalau terima aku, harus pilih bunga. Dan jawabanku....”
          “ Udah basi, nerima penembakan cowok dengan bunga. Lagian aku juga nggak suka bunga. Aku suka ungu.... band yang dari dulu sampe sekarang dan mungkin untuk selamanya akan selalu jadi idolaku. Kalung ini sudah lama aku cari – cari. Tapi susah banget ngedapetinnya, aku juga udah muter – muter carinya, bolak – balik kantor trinity tapi jawabannya selalu habis. Makanya aku nggak mau nolak yang ini, jelas – jelas ada didepan mata kenapa malah pilih yang lain ? rugi banget..... apalagi aku ngedapetinnya gratis, nggak bayar. Hehehe.... itu kan kan jawaban kamu ? “ jawab Yoga yang dengan fasihnya hafal dengan kata – kataku.
          “ hahaha... bener banget ! nggak ada satu kata pun yang tertinggal . “ jawabku sambil tertawa bersamanya. Seneng banget bisa berada dalam suasana seperti ini lagi. Dimana aku bisa tertawa lepas lagi dengannya.
          “ Dan yang ketiga, boneka dolphin. Kejadian yang paling indah yang pernah aku alami bersama kamu. Liburan kita ke pulau yang indah waktu itu. Di perjalanan, disaat kita berdua memandangi laut yang luas, kita melihat lumba – lumba dari kejauhan. Entah itu tahayul darimana, kamu tiba – tiba nyuruh aku buat make a wish. Dan dengan begonya aku malah ngikutin kamu. Berharap kita akan bisa selamanya. Selamanya dan tak kan pernah terpisahkan. “
          “ Dan setelah itu aku merengek minta dibelikan boneka dolphin yang besar padamu. “ lanjutku
          “Dolphin yang besar terlalu mahal, uangku nggak cukup buat beliinnya. Dan akhirnya, aku beliin yang kecil ini aja. Dengan alasan..... bonekanya boleh kecil, tapi cinta aku ke kamu jauh lebih besar dari apapun itu.” Tuturnya.
          “ Kata – kata yang gombal yang membuatku juga langsung terenyuh dan menerima semuanya dengan senang hati. “ balasku
          “ Mungkin kedengarannya memang gomabal, tapi itu yang sebenarnya kok. Dari lubuk hatiku yang paling dalam. “ jawab Yoga.
          “ Okey.. dan yang sekarang terakhir. Surat berwarna ungu. Apa ini ? “ tanyaku padanya.
          “ Hmmm........ “
“ Kriiiiiiingg.....kriiiiiiingg...krriiiiiingg “ alarmku berbunyi begitu keras.
Sepertinya ini sudah terlalu lama aku tertidur. Tertidur ?? berarti apa yang semua aku alami tadi hanyalah mimpi ? Arrghh... kenapa tidak jadi kenyataan saja ? Yoga yang benar – benar sembuh. Tapi tunggu ! Mimpi aku yang dulu. Mimpi aku tentang Yoga akan meninggalkanku. Suatu pertanda buruk dan ya hal itu memang terjadi. Yoga benar – benar menderita sebuah penyakit yang mematikan. Itu artinya mimpi aku itu benar. Dan bukan merupakan kebalikannya. Malah kenyataan. Dan berarti mimpi aku sekarang juga akan jadi kenyataan dong ?? mimpi dimana Yoga sembuh. Itu artinya Yoga benar – benar akan sembuh.
                                                ****
Yoga melihat keadaan sekelilingnya. Sepi dan tak berpenghuni. Hanya ada dia dengan bunyi tetesan infus yang memecahkan keheningan diruangan itu. Jam dinding dikamar Yoga terus berdetak kian kencang. Detak jam, menit dan detiknya terus bergerak dan menunjuk pada pukul sembilan malam. Memang masih senja, tapi rasanya sudah sangat larut malam begitu melihat ruangan yang ditempati Yoga. Karna begitu sepi dan sangat hampa.
Yoga melirik sebuah buku kosong yang bersampulkan putih polos dimeja samping dekat tempat tidurnya. Yoga mencoba memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidurnya. Dia merobek bagian tengah buku itu, dan mengambil satu lembar kertas kosong. Dibukanya laci satu per satu untuk temukan pena atau pensil. Yoga menemukannya.
Jari jemarinya bergerak dengan sangat cepat merangkai kata demi kata menjadi sebuah kalimat yang berarti. Entah apa yang ditulis Yoga dan untuk siapa dia membuatnya. Yoga memang ingin membuat sebuah surat untuk seseorang yang butuh penjelasan darinya. Air mata Yoga tampak menetes satu persatu membasahi kertas yang sedang ditulisnya. Keliatan sangat sulit dan begitu perih ketika Yoga harus menulis sebuah surat yang isinya tertuju pada sebuah cinta yang selalu ada dihatinya.
Surat itu kemudian dilipat dan dimasukkan kedalam sebuah amplop putih yang ada diatas meja Yoga. Sebelum dia menutup surat itu, Yoga membuka dompetnya yang merupakan pemberian dari Debra, sebagai hadiah ulang tahunnya tiga bulan yang lalu. Dikeluarkannya sebuah foto dari dompet itu. Yoga tertegun memandangi foto tersebut. Bibir tipisnya yang lembut menyunggingkan senyum kebahagiaan ketika melihat foto itu. Jari Yoga bergerak mengusap foto itu dengan lembut. Membelai rambut wanita yang ada didalamnya. Dan untuk kemudian air mata Yoga kembali menetes membasahinya. Yoga mengangkat foto itu dan menciuminya dengan perasaan sayang dan sedih yang begitu dalam. Air matanya mulai bercucuran tak menentu.
Nafas Yoga mulai sesak. Dia memegangi dadanya yang mulai bergerak turun naik dengan nafas yang tak stabil lagi. Cepat – cepat dimasukkannya foto itu dalam sebuah amplop tadi. Yoga mulai membuak kotak yang sedari tadi sudah ada dimeja sampingnya itu. Dengan berusaha menahan sakit yang bergejolak didadanya, Yoga mulai meraba – raba meraih telepon genggamnya yang terletak lumayan jauh dari tempat tidurnya. Dengan tertatih – tatih Yoga mencoba berdiri dan meraih ponselnya tersebut. ketika Yoga berhasil mendapatkannya, dia langsung mencari-cari nama Niko dikontaknya. Dan Yoga langsung memencet tombol hijau ketika mendapati nomor Niko.
“ Hallo Yoga ? “ terdengar suara orang dari seberang telepon yang sudah tahu dengan jelas siapa yang yang meneleponnya.
“ Niko.. gue butuh lo. Please sekarang datang juga kerumah sakit” pinta Yoga dengan suara yang serak dan sangat sesak.
Yoga tidak bisa melanjutkan kata – katanya lagi. Yoga mulai tak kuasa menahan rasa sakit yang terus bergejolak didadanya. Yoga kembali memegang erat dadanya, berusaha untuk tenangkan dirinya. Dan....... Bruuuk !! ponsel itu terjatuh.
“Yoga..... lo gak pa – pa kan ? “ suara orang diponsel itu masih terdengar sangat jelas dan tampak sangat khawatir.
Yoga tak bisa meraih ponselnya kembali. Kepalanya mulai pusing dan badannya sangat lemah. Dan untuk kemudian dia mulai tidak berdaya lagi.
“ BRRUUUUUK !!! “
Yoga terjatuh dan tak sadarkan diri lagi.
                                                ***
Hiruk pikuk suasana Jakarta dipagi hari begitu terasa. Murid – murid sekolah yang ramai dan berkejar – kejaran untuk menaiki bus yang akan mengantarkan mereka ke sekolah. Orang – orang kantoran yang bergegas ingin segera sampai kekantor mereka. Halte tempat menunggu pemberhentian bus sangat bising dengan suara orang yang tak sabar menunggu busnya datang.
Hmmm.... ini pertama kalinya aku merasakan kembali suasana dalam menunggu bus untuk pergi ke sekolah. Setelah sekian lama aku selalu pergi dengan mobil bersama Chiko. Atau dijemput langsung oleh Yoga.
Hari ini aku memang ingin pergi kesekolah sendirian naik bus yang biasanya mengantarkan aku sampai di sekolah. Entah mengapa rasanya aku ingin sekali pergi naik bus hari ini. Mungkin salah satu tujuan aku mengapa ingin sekali naik bus, adalah karna ingin berada lagi di halte ini. Halte tempat pertemuan ku untuk yang pertama kalinya dengan Yoga. Tempat yang sangat bersejarah bagiku. Mungkin suasana yang begitu ramai membuat orang tak betah lama – lama ingin disini. Tapi sangat berbeda denganku, rasanya aku ingin sekali berlama – lama berada ditempat ini. Mengingat semua kenangan manis itu terjadi disini. Tapi tentu saja tidak mungkin berlama – lama, karna bisa – bisa aku telat sampai disekolah. Da akhirnya bus yang ku tunggu – tunggu datang juga. Aku mulai menaiki bus dan segera menuju kesekolah.
Hati ku merasa tenang sekali hari ini. Mengingat semua kejadian di mimpi tadi yang membuat ku kembali bersemangat dengan harapan Yoga benar – benar akan sembuh. Uuppzz... ! aku lupa memberitahukan Chiko perihal mimpi itu. Tapi ntar juga ketemu dia disekolah.
Hari ini karna tidak berangkat dengannya, makanya aku tak melihat dia dari pagi. Aku memang bangun terlalu pagi dan cepat – cepat berangkat ke sekolah, karna jarak halte dari rumahku cukup jauh, bila harus ditempuh dengan jalan kaki. Makanya aku harus berangkat lebih pagi, agar tidak telat sampai disekolahnya. Aku sudah berangkat, tapi Chiko belum juga bangun. Jadi aku tak bertemu dia sedari tadi.
Kakiku mulai menginjaki gerbang sekolah. Suasana sekolah yang masih sepi. Dedaunan berwana coklat kering yang sudah jatuh dari pohonnya bertebaran dihalaman sekolah. Tampak Mas Nanok, penjaga sekolah yang sedang sibuk membersihkannya. Kuhirup udara yang masih segar ini, hmmm.... semakin membuat hatiku begitu tenang. Ternyata datang pagi – pagi kesekolah sangat menyenangkan.
Aku berjalan menuju kelasku. Sepanjang jalan ku lihat pintu – pintu kelas lain masih terkunci. Mungkin karna sibuk membersihkan halaman, Mas Nanok jadi lupa untuk membukakan kunci pintu kelas. Tapi....... aneh ! Begitu ku dorong pintu kelasku, dia langsung terbuka. Tak ada satu orangpun didalamnya. Hmmm... ini sedikit aneh, karna disaat semua kelas yang lainnya tertutup, hanya ada kelas aku yang terbuka dan tak terkunci. Sebuah kebetulan yang menjadi tanda tanya bagiku.
Ku berjalan menghampiri bangkuku. Tampak sebuah kotak kecil yang berada diatas mejaku. Kotak apa ini ? Mengapa tiba – tiba berada dimejaku ? Ku pandangi setiap sudut kotak ini. Sepertinya kotak ini sudah pernah kulihat. Tapi dimana ya ? Aku masih bingung, dan melihat lebih teliti lagi. Kupandangi setiap celah yang ada dikotak tersebut. Ya !! tidak salah lagi ! Ini kotak yang berada dimimpiku semalam.
Aku langsung kegirangan ketika mendapati kotak ini ada dihadapanku. Dengan semangat yang menggebu – gebu, aku langsung membukanya, melihat apa isi didalam kotak ini. Sambil berharap didalam hati, isinya sama dengan yang ada didalam mimpiku. Agar aku semakin yakin, mimpiku akan jadi sebuah kenyataan. Termasuk Yoga yang sudah sembuh.
Boneka dolphin, gantungan kunci, kalung berlambang ungu dan sebuah amplop yang pasti sudah jelas berisikan surat. Ya.. persis sama dengan apa yang ada didalam mimpiku tadi malam. Mataku langsung tertuju pada sebuah amplop putih yang berada didalamnya. Karna ketiga benda lain sudah pasti kukenal dan aku tau apa arti dari semuanya. Cuma hanya sebuah amplop ini yang masih membuatku penasaran dengan isinya dimimpiku semalam.
Aku sudah yakin ini pasti pemberian dari Yoga. Cepat – cepat aku membuka amplop ini. Ada sebuah surat dan foto. Ya... foto kami berdua. Aku dengan memakai pakaian putih yang bertuliskan “mate” dengan tulisan yang berwarnakan ungu. Dan Yoga yang sama denganku. Pakaian putih yang juga ada tulisannya. Tapi tulisannya berbeda denganku. Pakaian Yoga bertuliskan “ soul “. Yang jika kita berdua berdekatan, maka akan tergabung menjadi “ SOULMATE “. Ya... ini adalah baju couple kami berdua. Yoga memang sengaja membuatkannya untukku. Dengan tulisan dibelakangnya, “ I Love Debra “ untuk pakaian Yoga, dan “ I love Yoga” untuk pakaianku.
Suasana diatas kapal dengan rambutku yang terkibas angin. Yoga merangkulku dengan meletakkan tangannya dibahuku. Kepalanya menyentuh kepalaku, yang membuat pipi kita dengan sengaja bersentuhan. Senyum manis Yoga terlihat di foto itu sungguh mempesona. Matanya yang penuh damai, dan bibir tipisnya dengan sedikit jenggot kecil dibawah bibirnya. Aku masih ingat, itu adalah permintaanku. Permintaanku pada Yoga untuk menumbuhkan jenggot kecil dibawah bibirnya. Aku memang sengaja meminta itu padanya. Tentu saja, karna alasan aku ingin dia tampak seperti Pasha Ungu yang semakin mempesona dengan jenggot kecilnya itu.
Mungkin kalau boleh mengajukan sebuah permintaan, aku ingin dikirimkan seorang lelaki yang sangat mirip dengan Pasha Ungu untuk menjadi kekasihku. Atau kalau boleh, permak saja wajah Yoga dan jadikannya mirip dengan Pasha Ungu. Tapi jelas saja itu semua tak mingkin, jadi aku sedikit meminta hal – hal kecil seperti itu saja pada Yoga.
Dan Yoga menuruti permintaanku. Bukan dia yang dengan sengaja membuat jenggotnya itu tumbuh dibawah bibirnya. Tapi memang selama ini, jenggot kecil itu selalu tumbuh dibawah bibir Yoga. Tapi Yoga selalu mencukurnya. Tapi karna kali ini permintaanku agar ia tidak mencukurnya, dia pun mengikutinya. Dan ya, memang dia tampak ganteng sekali dengan jenggot kecilnya itu.
“ Wew... Debra yang dulu kembali lagi ni. Debra yang selalu datang pagi – pagi dan selalu tersenyum. “ sapa Shiren yang tiba – tiba sudah ada didalam kelas. Ternyata sekolah sudah mulai ramai. Aku sama sekali tidak menyadarinya.
“ Senyum – senyum ngeliatin apa sih Ra ? “ tanya Chika.
“ Apaan sih ?? Gue liat doooonggg !” rengek Echa yang langsung menarik foto itu yang sedang ku genggam erat dengan tanganku. Dan.........
“ Kkrreeek “ foto itu sobek dan terbelah dua.
“ Echa !!! “ bentakku padanya.
“ Maaf.. aku nggak sengaja ! “ jawab Echa yang penuh dengan perasaan bersalah.
“ Minta baik – baik kenapa sih ? Toh gue juga bakal liatin ke kalian semua. Gak usah rebut – rebut gitu. Jadi robek gini kan fotonya ! “ kataku dengan nada suara yang kesal.
“ Tau nih Cha. Kebiasaan deh.... “ sahut shiren.
“ Tapi tunggu... aneh ya ! Coba lihat deh... kok bisa robeknya pas banget ditengah – tengah gini “ tutur Chika.
“ Maksud loe ? “ tanyaku yang tak mengerti dengan ucapan Chika.
“ Iya aneh banget. Biasanya kalaupun foto itu robek, gak mungkin banget kan robeknya tepat ditengah – tengah gini dan membuat dua orang ada difoto ini terpisah dengan sangat rapi dan jelas, gak ada satupun anggota tubuh mereka masing – masing yang tersisa di foto sebelahnya. Ya kecuali tangan Chiko yang memang berada dibahunya Debra. “ jelas Chika.
“ Iya ya ?? kok bisa ? aneh banget ! “ kata Shiren meng-iyakan apa yang dibilang Chika.
Hatiku mulai tak enak mendengar apa yang diucapkan Chika. Perasaan ku yang sedari tadi begitu tenang, kini tiba – tiba saja berubah menjadi sangat galau, cemas dan takut. Batinku seperti membenarkan apa yang dibilang Chika. Mengapa semuanya bisa begini ? Mengapa fotonya harus terbelah dengan rapi memisahkan kami berdua antara aku dan Yoga. Mengapa semuanya bisa kebetulan seperti ini ? Sungguh sebuah kejadian yang sangat aneh !
Raut mukaku langsung berubah seketika. Aku begitu takut, kalau – kalau ini menjadi sebuah pertanda kalau aku memang akan dipisahkan dari Yoga. Oh... tidak ! Sebuah kenyataan yang tak pernah aku inginkan dan membuatku takut setiap kali mengingatnya. Shiren dan Echa menyadari perubahan pada mukaku. Mereka pun ikut merasakan kegetiran hatiku saat ini.
“ Mana ? biasa aja kok Ka.. gue juga sering ngeliat seperti ini “ tutur Echa dengan suara lantang dan penuh yakin untuk menenangkanku. Agar aku tak terpengaruh dengan ucapan Chika tadi. Shiren pun langsung mengerti dengan maksud dibalik ucapan Echa.
“ Ehm.. iya- iya ! gue baru inget dulu kakak gue juga pernah ngalamin seperti ini. Tapi nggak ada apa – apa kok. Semuanya baik – baik aja. “ balas Shiren dengan terbata – bata berusaha berbohong menutupi kagalauanku.
“ Nggak... Chika bener. Kalian berdua Cuma mau nenangin gue kan ?” kataku dengan suara serak.
Aku baru inget, kalau aku belum memberitahukan kepada Chiko tentang mimpiku semalam. Dengan adanya kotak ini, aku yakin Chiko pasti akan mempercayai aku. Dan nggak berpikir yang tidak – tidak seperti yang diucapkan mereka. Walau Shiren dan Echa sengaja tidak meng-iya-kan, padahal aku tahu dengan pasti kalau mereka semua berbohong menutupi kegalauanku. Aku langsung berlari keluar kelas dengan sebuah kotak kecil, untuk menemui Chiko sebelum bel masuk berbunyi, meninggalkan mereka semua yang sedang terpaku menatapku. Aku yakin Chiko juga pasti sudah mengetahui sesuatu tentang keadaan Yoga. Keadaan dimana Yoga sudah kembali pulih dan sehat.
Dua lelaki berlari dengan sangat terburu – buru menuju meja piket. Langkah mereka yang sangat tergesa – gesa diikuti dengan wajah mereka yang tampak begitu cemas dan khawatir. Chiko dan Niko ! Ya mereka berdua, tampak berlari terengah – engah menuju keluar sekolah. Ada apa dengan mereka ? Bukannya sebentar lagi bel masuk berbunyi ? Mengapa mereka malah pergi keluar ? Untuk apa dan dengan tujuan apa ? Mengapa wajah mereka tampak begitu cemas ? Apa yang sebenarnya terjadi ?
Mataku mulai tertuju pada kelas tiga yang berada dilantai atas. Semuanya tampak panik, dan khawatir. Ada juga diantara mereka yang mengeluarkan air mata. Kejadian apa lagi ini ? Mengapa semuanya juga ikutan panik ? Apa ini ada hubungannya dengan Yoga ? Ahh.... pikiranku mulai bergelut dengan pertanyaan yang tak menentu. Hatiku semakin galau. Pikiranku semakin kacau. Pertanyaan – pertanyaan bodoh dan mengerikan sontak hinggap dipikiranku.
Dan kalau memang ini ada hubungannya dengan Yoga, mengapa Chiko tidak memberitahuku ? Mengapa dia malah pergi sendiri dengan tidak mempedulikan aku yang sebagai kekasih Yoga ? Ahh...  mungkin memang tidak ada hubungannya dengan Yoga. Lalu kalau memang tidak ada, apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa bayangan wajah Yoga selalu hinggap dipikiranku ? Mengapa hanya ada dia yang terbayang olehku ? Mungkinkah itu benar – benar menyangkut dia ? Pikiranku semakin kacau tak menentu.
Kuambil ponsel dari saku bajuku. Kucoba otak – atik dan mencari nama Chiko dikontakku. Aku langsung memencet tombol hijau agar secepatnya tersambung padanya. Beberapa kali aku mencoba, selalu saja gagal. Dan AAKKHHH !! Tidak ada jaringan !! Kenyataan tolol apalagi ini ???!! Kenapa tiba – tiba saja tak ada jaringan ?? Kenapa hilang tiba – tiba ? Sungguh sesuatu yang menyebalkan ditengah – ditengah keadaan seperti ini.
Kumencoba dan terus mencoba agar bisa tersambung padanya. Tapi tetap saja tidak bisa. Sungguh ini benar – benar membuatku jengkel dan marah. Dan..... “ Tiiit...Tiiit..Tiiit “ ponselku berbunyi tiga kali dengan nada sebagai tanda bahwa ponselku akan segera mati. Dan ya... ponselku sekarang benar – benar mati. Aku lupa mencasnya semalam, sepulang dari rumah sakit ponselku sudah mulai lowbat. Tapi sesampai dirumah aku langsung tidur dan lupa mencasnya. Dan kini, dia benar – benar mati total disaat aku sangat membutuhkannya.
Aku langsung berbalik menuju kelasku dengan kotak kecil yang masih berada digenggaman tanganku. Aku ingin meminjam handphone Shiren untuuntukimenelepon Chiko. Agar aku bisa dapat jawaban yang pasti darinya. Kuberlari dengan nafas yang terengah – engah. Aku semakin kacau dan galau. Takut dengan semua bayangan – bayangan bodoh yang hinggap dipikiranku. Aku semakin geram ketika harus berhadapan lagi dengan wajahnya. Mengapa harus dia lagi yang terbayang olehku ? Kenapa firasatku selalu mengatakan kalau ini ada hubungannya dengan dia ? Apa yang terjadi pada Yoga ? Kenapa orang tampak begitu cemas ? Ya Tuhan... bantu aku keluar dari teka – teki busuk ini.
“ Shiren.. aku pinjam handphone kamu ya, aku mau menelepon Chiko. Tadi aku liat dia lari dengan tergesa – gesa sama Niko. Aku takut ini ada hubungannya dengan Yoga “ tuturku pada Shiren.
Mereka bertiga saling melirik satu sama lain. Dan untuk kemudian menatapku dengan wajah yang iba. Ada apa lagi ini ?
“ Kalian semua pada kenapa sih ? Kok malah ikut – ikutan panik gini ? “ tanyaku yang semakin tak mengerti dengan semua yang terjadi.
“ Emm... kita ki--ta denger ka-kalau... “ jawab Echa dengan terbata – bata
“ Dengar apa ? Ngomong yang jelas dong ! “ pintaku
Hentakan kaki yang sedang berjalan dengan tergesa – gesa terdengar dari lantai atas. Tepatnya dari kelas tiga. Tampak mereka semua menyandang tas dan bersama – sama berjalan menuju keluar sekolah. Ada yang mengusap air matanya. Ada yang berusaha tampak dengan jelas mengendalikan dirinya.
“Ya Tuhan... jangan bilang ini menyangkut dengan Yoga !” pintaku sambil merintih berharap didalam hati.
“ Kita langsung kerumah duka atau kerumah sakit aja dulu ?” terdengar suara seorang siswi kelas tiga yang bertanya pada temannya.
“ Emang ada yang tahu rumah Yoga dimana ? “ tanya teman disebelahnya
“ Gue tahu kok, kemarin ini gue sempat lewat didepan rumahnya “ sahut seseorang lagi.
Rumah duka ? Rumah Yoga ? Apa maksud mereka bilang seperti itu ? mengapa mereka bilang rumah Yoga adalah rumah duka???? Pikiranku semakin kalut dan batinku semakin tak enak mendengar perkataan itu.
“ Hey... apa maksud kalian ngomong rumah Yoga rumah duka ??! Kalian semua mau doain Yoga cepat meninggal hah ??!!!” tanyaku geram pada mereka, sehingga aku sendiri lupa akan mereka kakak kelasku, yang seharusnya aku bicara lebih sopan padanya.
Lagi – lagi semuanya hanya diam, dan tak mau berbicara yang jujur padaku. Mereka semua malah menatapku dengan hiba. Aku benci dengan keadaan yang seperti ini ! Aku nggak ingin diberlakukan seperti ini ! Emosiku semakin menyulut dan tak teredam lagi.
“ Kenapa kalian semua malah menatapku dengan tatapan bodoh seperti itu ? Kalian pikir aku butuh dikasihani ? Aku butuh jawaban dari kalian ! Apa maksud kalian berbicara seperti itu hah ? Yoga itu belum meninggal ! Dia masih hidup ! Aku punya buktinya ! Jadi jangan bicara sembarangan seperti itu !!” bentakku pada mereka.
“ Debra... jaga emosi kamu ! Mereka itu kakak kelas kita !” tutur Shiren menenangkanku.
“ Gue nggak peduli ! Mereka ngedoain Yoga meninggal Ren... gue nggak terima !” sergahku
Mereka semua tidak mempedulikan omonganku. Mereka juga keliatannya sama sekali tidak marah dengan aku yang telah membentak – bentak mereka. Malah mereka menatapku dengan tatapan yang ku benci itu. Lalu mereka semua berlalu pergi meninggalkanku. Diikuti dengan anak – anak kelas tiga lainnya yang beramai – ramai pergi menuju gerbang sekolah.
Pengeras suara sekolah mulai mengeluarkan bunyi – bunyi gesekan mic yang kedengarannya sedang dipegang oleh seseorang, seperti ada sebuah pengumuman yang akan segera disampaikan kepada siswa – siswinya. Jantungku semakin berdetak kencang, rasa kekhawatiranku semakin memuncak dan tak menentu lagi.
“ Innalillahiwainnailaihirojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah salah seorang siswa dari kelas tiga, bernama Ariyoga Beraldi jam lima pagi dini hari karna penyakit yang telah dideritanya Leukimia Mielositik Kronis atau LMK “ kata seorang guru mengumumkan berita pahit itu.
“ Nggak.... nggak mungkin ! Pasti itu bukan Yoga ! pengumuman itu salah menyebutkan namanya “ kataku tak percaya dengan semuanya.
“ Debra sabar sayang.. itu memang Yoga. Pengumuman itu memang benar ! “ sahut mereka sahabat – sahabatku yang berusaha menenangkanku.
“ TIDAAAAAK !!!!!!!” teriakku yang langsung berlari ketempat sumber suara pengumuman itu.
Ini pasti nggak mungkin. Guru itu pasti salah menyebutkannya. Dia keliru memakai nama Yoga dalam beritanya itu. Ak harus segera kesana. Menuntut guru itu agar meralat kembali beritanya. Yoga nggak mungkin meninggal dalam waktu yang secepat ini. dia masih mempunyai waktu satu bulan untuk bertahan hidup. Dan mimpiku... dia tidak akan meninggal secepat ini. mimpiku mengatakan kalau Yoga sembuh. Aku sama sekali tidak percaya dengan semua berita yang ada. Aku yakin ini hanyalah kabar burung yang sama sekali tak ada kebenarannya.
“ Buk... ralat berita itu lagi. Yoga belum meninggal ! Yoga masih hidup ! “ kataku sewaktu tiba diruang pengeras suara, tempat pengumuman disampaikan
“ Ibuk tidak mungkin salah Debra. Tadi pihak sekolah mendapat telepon dari rumah sakit, tepatnya dari keluarga Yoga. Yoga telah meninggal jam lima tadi pagi, setelah mengalami koma dari jam setengah sepuluh malam “ tutur Guru itu dengan yakinnya.
“ Koma ? Nggak mungkin buk... ! Yoga masih baik – baik aja. Kemaren sore saya masih disana. Dan keadaan dia sangat baik, jadi Yoga nggak mungkin koma, saya yakin itu buk. “
“ Nggak ada yang pernah tahu kapan ajal itu akan menjemput Debra. Yoga benar –benar udah meninggal, kamu harus percaya itu !”
“ Cukup buk ! Jangan pernah bilang kata itu lagi didepan saya ! Yoga itu masih hidup !!!! “ bentakku yang semakin tak bisa meredam emosiku
“ Kamu lihat keluar, semua siswa kelas tiga sudah pergi bersiap – siap menuju rumah Yoga. Kami semua mau melayat dan mengantarkan Yoga ke tempat istirahat terakhirnya. Dan bukan siswa kelas tiga saja, yang lainnya juga pada banyak yang ikut pergi “
Aku langsung mengalihkan pandanganku keluar kendela. Kuliat semakin banyak murid – murid yang berhamburan keluar sekolah. Ya Tuhan... semuanya semakin menguatkan kenyataan kalau Yoga benar –benar telah pergi. Apa yang masih bisa kulakukan ? Apa aku harus mempercayai kenyataan ini ? Tidak ! Sama sekali tidak boleh ! Aku punya bukti ini. Kotak kecil pemberian Yoga dimimpiku sebagai tanda kalau dia telah sehat kembali.
Kukejar mereka yang mulai mengerubungi pintu keluar sekolah, untuk segera pergi kerumah Yoga. Aku ingin mencegah mereka. Agar mereka tak secepatnya percaya dengan berita busuk ini. Kurentangkan tanganku ketika mereka akan segera melintasiku. Kucegat mereka agar tak pergi kerumah Yoga.
“ Kalian mau kemana ? Nggak boleh ! Kalian nggak boleh ke rumah Yoga ! Dia belum meninggal !!! “ pintaku pada mereka.
“ Debra.. kasih mereka jalan. Tujuan mereka baik untuk mendoakan kepergian Yoga ! “ kata Chika yang juga ikut berdiri disebelah orang banyak itu
“ Siapa yang bilang Yoga pergi ? Yoga masih hidup Chika ! Kak Viola... kakak yang dekat dengan Yoga, kakak pasti tau. Yoga belum meninggal kan kak ? Yoga masih hidup kan ? “ pintaku pada seorang siswi kelas tiga, sahabat cewek Yoga yang sedang berada didalam kerumunan orang banyak itu.
Kakak itu langsung memeluk ku dengan diikuti tangisan yang terhisak hisak darinya. Dia mengusap rambutku dengan lembut, dan mengusap – usap punggungku. Dan untuk kemudian dia berkata, “ Sabar ya dek ! Kamu harus kuat ! “ katanya yang langung melepaskan pelukannya dan berlalau meninggalkanku yang terdiam mendengar kata – katanya
Aku nggak bisa berbuat apa – apa lagi. Kak Viola... orang yang sangat kupercaya. Dia tidak mungkin berbohong padaku. Lalu benarkah Yoga telah pergi meninggalkanku untuk selamanya ? Mengapa harus secepat ini Ya Allah....? Rasanya baru kemarin aku bertemu dengan dia. Disebuah halte yang memberikan kenangan terindah bagiku. Lalu kenapa dia harus diambil secepat ini ?
Mengapa harus ada pertemuan bila akhirnya aku harus dipisahkan dari dia ? Mengapa kita harus ditakdirkan bersama sejak empat tahun yang lalu, kalau itu takkan berujung selamanya ? Mengapa waktu berjalan begitu cepat, meninggalkan semua cerita tentang aku dan dia. Kita yang dulu tertawa bersama, menyanyi bersama, dan segala aktifitas yang selalu kulakukan dengannya, dan dia yang menghiburku dalam tangisan kepergian Ayahku. Dan sekarang dia pergi meninggalkanku ? Lalu siapa yang akan mengiburku dalam tangisan kepergiannya ? Ya Tuhan.... bantu aku mengendalikan diriku. Bantu aku yakin dengan semua yang terjadi. Tunjukan aku suatu kebenaran yang masih bisa membuatku tersenyum dengan harapan bahwa Yoga masih hidup.
Langkahku mengalun dengan cepat. Aku berlari sekencang – kencangnya menuju rumah sakit yang cukup jauh dari sekolahku. Aku tak tau lagi harus berbuat apa dalam keadaan seperti ini. Aku langsung mengambil langkah cepat dengan berlari menuju rumah sakit, sambil membawa kotak kecil yang sedari tadi terus berada ditanganku.
Air mata yang selalu bercucuran dipipiku, membuatku semakin kacau. Aku terus berlari dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuhku. Dan tak ada barang apapun lagi, kecuali kotak itu. Sambil terus mengusap air mata yang semakin banyak menetes, aku mempercepat langkahku sambil terus berteriak layaknya seperti orang gila, menyuarakan kalau Yoga masih hidup.
Semua orang memandangku dengan tatapan yang aneh, dan ada juga dengan tatapan ngeri menyangka aku adalah orang gila yang sedang kehilangan kekasihnya. Ya.. mungkin aku memang telah gila. Gila karena kekasih yang tak mungkin secepat itu pegi meninggalkanku. Dia yang dulu pernah berjanji bahwa dia takkan pernah meninggalkanku untuk selamanya. Dan apa kenyataan yang telah ada sekarang ?? Ini adalah kenyataan bodoh yang sama sekali tak harus kupercaya.
Kakiku mulai goyah. Aku mulai lemah dan tak kuat lagi. Kuarahkan pandanganku pada jalan yang ada dihadapanku. Ini masih cukup jauh. Rumah sakit Yoga belum terlihat sama sekali. Rasanya kaki ini tak kuat lagi untuk melangkah. Aku benar – benar lelah, setelah tadi disekolah aku terus berlari untuk temukan jawaban dari semua ini.
Kuperiksa kantongku, berharap ada uang ribuan yang masih bisa kupergunakan untuk naik angkutan umum menuju rumah sakit Yoga. Kosong ! sama sekali tidak ada. Semua uangku ada didompet yang berada ditas sekolahku. Tasku masih berada didalam kelas. Aku tidak mungkin balik kesana mengambilnya. Kakiku benar – benar nggak kuat lagi.
Tapi aku tidak boleh menyerah. Ini semua buat Yoga. Yoga pasti membutuhkan aku berada disampingnya saat ini. Aku tidak boleh lemah. Aku harus kuat !
Kugerakkan kakiku lagi, kupaksakan dia terus melangkah, walau dengan tertatih – tatih. Jalanan ibukota yang penuh dengan debu semakin membuat nafasku sesak setelah tadi tidak stabil lagi karna berlari terengah – engah. Asap kendaraan bermotor yang semakin menyulut. Ahh.... berapa lama lagi aku bisa sampai dirumah sakit Yoga ? Berapa lama lagi aku harus bisa bertahan dengan keadaan jalanan seperti ini.
Aku terus memaksakan kakiku berlari sekencang – kencangnya. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa sampai secepat mungkin disana. Kutempuh jalan alternatif yang bisa membuatku secepatnya sampai. Dan... ya sedikit lagi. Aku telah melihat gedung RS itu, walau dari jauh. Aku semakin bersemangat untuk bisa secepatnya masuk dan bertemu Yoga.
Dan usahaku tidak sia – sia. Kini aku telah berada di halaman rumah sakitnya. Sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Tapi demi Yoga, aku rela menempuh semua itu. Aku langsung berjalan dengan tergesa – gesa menuju kamar Yoga. Ingin rasanya berlari, tapi kakiku sudah tidak kuat lagi.
Tapi belum sampai aku dikamar Yoga, aku melihat Chiko dan keluarga Yoga lainnya berjalan kearahku dengan mengiringi suster – suster yang tampak sedang membawa seseorang yang tertidur diranjang itu dengan wajah yang telah ditutupi dengan kain putih.
Ya benar.. Chiko bukan bermaksud berjalan menuju kearahku. tapi dia berjalan menuju pintu keluar rumah sakit dengan mengiringi pasien yang telah terbaring lemah itu. Mungkinkah itu Yoga ?? Ya Tuhan... perasaanku semakin campur aduk dan tak menentu lagi. Kuhentikan mereka semua ketika mereka berpapasan denganku. Mataku langsung tertuju pada pasien yang telah tertutupi dengan kain putih yang panjang itu. Kubuka kain yang sejak tadi menutupi wajahnya. YOGA !!!! Laki – laki ini benar – benar Yoga ! Bibir kecilnya yang lembut kini tampak begitu pucat. Matanya yang telah tertutup, tangannya yang sangat dingin, tergulai lemah dan sama sekali tidak bergerak. Benarkah Yoga sudah meninggal ???!!!! Tubuhku semakin lemah, rasanya mau ambruk dan jatuh pingsan mengahadapi kenyataan ini.
“ Debra... biarin suster itu mengantarkan Yoga ke ambulans dulu. Kita langsung saja kerumah Yoga yuk sayang “ tutur Chiko memegangi tubuhku yang gemetaran ketika melihat keadaan Yoga seperti ini. Aku tidak bisa menjawab perkataan Chiko. Mataku hanya tertuju pada Yoga. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya.
“ Yoga... kamu bisa dengar aku kan ? Kamu mau pulang ya sayang ? Kamu pasti sudah sembuh kan ? “ kataku dengan suara yang serak dan terbata – bata. Begitu sulit rasanya mengucapkan sepatah kata saja
Tapi tubuh yang terbaring dihadapanku hanya diam. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia juga tidak bergerak sama sekali menyahuti ucapanku. Aku ingin berbicara dengannya. Aku ingin mendengar suaranya lagi. Walau itu untuk yang terakhir kalinya. Ini tidak adil rasanya, dia pergi tanpa meninggalkan pesan terakhirnya dengan berbicara padaku. Ya Tuhan... berikan nyawa buat dia lagi. Buat dia bisa berbicara denganku kembali, izinkan aku untuk memeluknya, berada didalam dekapan hangatnya, mendengar suara lembutnya berbisik ditelingaku. Izinkan aku merasakan semua itu kembali.
“ Dek... udahlah sayang. Yoga nggak akan bisa menjawab pertanyaan kamu. Ayo kita pergi sekarang dek ! “ ajak Chiko dengan mata merah setelah habis mengeluarkan air mata. Dia mengajakku dengan suara hiba melihat keadaanku seperti ini.
“ Nggak kak, aku yakin Yoga pasti akan menjawab pertanyaanku. Yoga.. yoga kamu lihat ini. Ini kotak kecil yang kamu berikan pada aku kan sayang ?? Tadi malam ini juga ada dimimpiku. Kamu memberikan ini dengan badan yang tampak begitu sehat. Kamu udah sembuh Yoga disana. Kamu jangan becandain aku lagi dong disini, ayo bangun sekarang ! “
“ Debra... udah dek ! Please berhenti berbicara seperti itu ! “
“ Yoga lihat... barang – barang yang ada didalam ini, semuanya persis sama dengan yang ada dimimpiku tadi. Dan ini.. ada foto kita berdua. Tapi...... tapi........ fotonya tadi sobek gara – gara Echa. Tapi nggak apa – apa, kita bisa menyambungnya lagi. Kita kasih lem sayang “ tuturku yang tak memedulikan Chiko dan yang lainnya yang terus berusaha untuk menenangkanku.
“ Debra berhenti gue bilang ! Loe jangan bikin gue tambah sedih dengan liat keadaan loe kayak gini dek ! Gue nggak kuat ngeliat keadaan loe Ra !! “ suara Chiko semakin mengeras diikuti dengan Niko, Yoesi, Mama dan beberapa orang lainnya yang terus mencegatku melanjutkan kata – kata bodohku.
“ Yoga... aku baca suratnya ya, ini ada dua Yoga. Aku buka yang pertama aja ya. “ kataku sambil membuka surat pertama yang diberikan Yoga. Sebuah syair lagu, tentang keabadian cinta. Ini adalah lagu favorite kita berdua. Kita sering menyanyikannya bersama. Lagu dari Ungu, Ku Ingin Selamanya.
Cinta adalah misteri dalam hidupku
Yang tak pernah ku tau akhirnya
Namun tak seperti cintaku pada dirimu
Yang harus tergenapi dalam kisah hidupku
Ku ingin selamanya mencintai dirimu
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku
Ku ingin selamanya ada disampingmu
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku
Kuberharap abadi dalam hidupku
Mencintaimu bahagia untukku
Karna kasihku hanya untuk dirimu
Selamanya kan tetap milikmu
Direlung sukmamu ku melabuhkan seluruh cintaku
Dihembus nafasku kuabadikan seluruh kasih dan sayangku

By : Kekasihmu “ Yoga”
Aku menyanyikan lagu itu padanya dengan berbisik ditelinganya. Air mataku tak pernah berhenti mengalir dipipiku. Berat bagiku untuk terima kenyataan yang pahit ini. Aku juga tidak temukan tanda – tanda bahwa Yoga masih hidup. Dia benar – benar keliatan tenang. Dia benar –benar telah pergi dan takkan mungkin kembali lagi. Aku memeluk erat tubuhnya, ku letakkan kepalaku didadanya. Sama sekali tak ada degupan jantung yang bergetak. Hatiku semakin pilu dan aku menagis sekencang – kencangnya. Semua orang berusaha menahanku, agar air mataku tak sampai jatuh ditubuhnya. Tapi aku masih ingin memeluknya, menciuminya untuk yang terakhir kalinya.
Aku berusaha untuk lepaskan pegangan orang padaku. Kuusap air mataku agar tak ada tersisa lagi. Dan ku langsung mengecup keningnya. Cukup lama. Dalam cium dan dekapanku padanya, ku mencoba untuk ikhlas. Mengikhlaskan kepergiannya, mungkin itu salah satu hal yang diinginkan oleh semua orang terhadapku. Membiarkannya tenang dialam sana.
                                                ***
Di Pemakaman...............
          Hamapran bunga bertabur merata diatas tanah kuburannya. Siraman air terus dilakukan oleh orang yang melayat mengantarkan Yoga ke tempat peristirahatannya terakhir. Tangisan dari beberapa orang masih terdengar jelas ditelingaku. Aku hanya terdiam dan terpaku menatap kuburannya. Suasana haru masih terasa dipemakaman ini. Air mataku terus menetes tanpa ada suara lagi dari mulutku. Aku mencoba bersikap tenang walau itu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada dihatiku sekarang. Hatiku yang berkecamuk, hatiku yang sangat pilu mendapati Yoga yang telah terkubur didalam sana.
          Kini tiada lagi Yoga kekasih yang sangat aku cintai. Tiada lagi suara merdunya yang senantiasa membangunkanku dipagi hari. Tiada lagi nyanyian yang indah terdengar dari mulutnya. Senyum manis dari bibir kecilnya yang selalu memberikanku ketenangan kini telah hilang. Tatapan matanya yang begitu teduh kini telah sirna. Dekapan hangatnya takkan mungkin kudapat lagi.
          Dia telah pergi..... pergi untuk selamanya. Dan takkan mungkin kembali lagi. Kekasih yang begitu sabar akan sikapku yang begitu kekanak – kanakan padanya. Yoga yang selalu memberikanku nasehat yang sangat berarti. Sungguh sangat memilukan, untuk melepas semua kenanganku bersamanya.
          “ Kotak itu, aku yang meletakkannya dikelasmu. Pagi – pagi sekali aku sudah sampai disekolah, melakukan permintaan Yoga. Dia meneleponku sekitar jam sembilanan malam tadi. Dia menyuruhku untuk segera kerumah sakit, dia mau minta tolong sesuatu. Dan ketika dia meneleponku, dia langsung ambruk dan jatuh koma. dia memintaku untuk mengantarkan kotak ini padamu. Setelah mengalami koma, pukul lima pagi tadi, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia menuliskan surat terakhir itu untukmu, didetik – detik terakhirnya akan dijemput Sang Maha Kuasa. Aku yakin, dibalik surat itu ada sebuah pesan terakhirnya untukmu. “ Tutur Niko menjelaskan semua kejadiannya dari awal disaat pemakaman sudah mulai sepi. Aku hanya terdiam dan tak menjawab perkataan Niko sedikitpun.
          “ Dek.. kita pulang yuk sayang, udah sore banget. Kamu pasti lelah “ ajak Chiko
          “ Duluan aja, gue masih pengen disini “ jawabku dengan nada datar dan pandangan kosong
          “ Gue tunggu dimobil aja ya. “ sahut Chiko. Aku mengangguk iya.
          Chiko dan Niko kemudian berjalan meninggalkanku sendiri dipemakaman Yoga. Mereka sangat mengerti dengan permintaanku yang masih ingin berada disini. Aku mulai mencerna semua ucapan Niko tadi. Ada pesan terakhir untukku didalam suratnya. Ya.. mungkin suratnya yang kedua. Kotak itu masih kubawa sampai ke pemakaman ini. Aku buka benda kecil ini, dan mengambil surat yang kedua yang diberikan Yoga padaku. Sebuah pesan terakhirnya untukku.

Jakarta, 4 Maret 2010
Dear Mylovely......
          Debra..............mungkin kamu membaca surat ini disaat aku telah tiada lagi disampingmu. Disaat aku telah pergi meninggalkan dunia ini dan dirimu untuk selamanya. Tapi yang pergi adalah ragaku, bukan jiwaku. Jiwaku akan selalu tetap ada untukmu. Jiwaku akan selalu menyertaimu. Dan cintaku akan selalu ada untukmu. Cintaku takkan hilang ditelan waktu, meski ragaku telah tiada lagi bersamamu.
          Maafkan aku harus pergi secepat ini meninggalkanmu. Bukannya aku tak menepati janjiku padamu. Janjiku yang akan selamanya selalu bersamamu. Tapi ini adalah takdir. Takdir yang harus kita lalui. Mungkin kalau aku boleh mengajukan suatu permintaan pada Tuhan, permintaan pertamaku adalah jangan ambil nyawaku. Biarkan aku terus bisa bersamamu untuk selamanya. Tapi itu tak mungkin lagi, penyakitku sudah benar – benar akut. Dan jujur aku sendiri tidak kuasa lagi untuk menahan rasa sakit ini.
          Kata maaf selalu terucap dari mulutku untuk dirimu yang telah terluka olehku. Maafkan aku yang tak memberitahukanmu tentang penyakit yang selama ini kuderita. Berat bagiku unutk menyatakan ini semua padamu. Karna aku masih ber-angan penyakitku masih bisa sembuh, sehingga aku tak perlu melihat air matamu jatuh ketika kamu nanti mengetahui penyakitku. Aku tidak pernah membayangkan, bila aku harus berhadapan dengan penyakit yang mematikan ini. Sehingga aku sendiri terkadang sangat sulit untuk menerimanya. Bagiku saja sudah sangat sulit, apalagi dirimu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keadaanmu bila aku memberitahukan hal ini padamu. Aku benar – benar nggak sanggup melihat air matamu jatuh dihadapanku. Asal kamu tahu, tujuan dalam hidupku hanyalah satu. Yaitu ingin membuat wanita – wanita yang sangat aku cintai, melihatnya tersenyum bahagia, dan bukannya bersedih. Dan wanita aku cintai itu adalah mamaku, Yoesi, dan kamu, kekasihku. Jadi maafkan aku, bila selama ini aku harus menyembunyikannya darimu. Itu semua kulakukan karna aku tak ingin melihatmu bersedih. Aku tak ingin melihat air matamu. Aku hanya ingin kau selalu bahagia disampingku.
          Dan pertanyaanmu tentang Ayahku dan kerja part time yang selama ini aku lakukan, aku akan menjawabnya sekarang. Ayahku memang telah lama menghilang, dan aku memang tak pernah memberitahukannya padamu. Kejadian itu tak lama setelah Ayahmu meninggal karena kebakaran itu. Aku nggak mungkin memberitahukannya padamu disaat kamu juga mengalami hal yang sama. Yaitu sama – sama kehilangan seorang Ayah. Aku melihat kamu jauh lebih terpukul dari aku. Jika aku kasi tahu kamu, sama aja aku nggak ngerti dengan keadaan kamunya. Jelas – jelas kamu juga lagi bersedih, malah aku buat kamu jadi tambah sedih lagi dengan masalah aku. Jujur, ini juga sangat buat aku terpukul. Aku nggak mau lihat kesedihan aku ke-kamu, karna aku nggak mau jadi beban buat kamu. Karna sekali lagi, disisa – sisa hidupku yang terakhir, aku hanya ingin melihat kamu bahagia, bukannya bersedih.
          Soal kerja part-time, aku memang sengaja nggak kasih tahu kamu, karna alasan yang sama. Aku ingin membahagiakan kalian semua disisa – sisa hidupku. Mungkin aku memang egois, aku hanya menuruti keinginanku. Dan kesannya tidak mengahrgai kamu sebagai kekasihku. Tapi aku nggak punya permintaan lain diakhir hidupku selain membahagiakan kalian semua.
 Maafkan aku sayang.... maaf banget ! Aku tau cara aku salah, tapi aku nggak punya pilihan lain. Dan terakhir....... kamu tahu kan, semua tujuanku tiada lain hanyalah ingin kamu bahagia. Aku mohon....selepas aku pergi, tolonglah jadi diri kamu yang dulu. Jadi diri Debra yang selalu ceria. Aku minta kamu kuat menghadapi semuanya, dan jangan terlalu bersedih akan kepergianku, karna hal itu akan jauh membuatku lebih sedih di alam sana. Dan....... bukalah hati kamu buat orang lain. Jangan pernah tutup hatimu, untuk menerima kehadiran cinta yang baru yang bisa buat kamu bahagia. Cintailah dia nanti dengan sepernuh hatimu. Bahagiakan dirimu untuk aku. Aku yang telah berada dialam yang berbeda.......
I will always love you, kekasihku
Dalam hidupku hanya dirimu satu
I will always need you, cintaku
Selamanya takkan pernah terganti

From :
Someone loving You >> Ariyoga Beraldi


Template by:

Free Blog Templates