Nightmare
Langkah
gontai yang tak terarah yang terus berjalan menapaki satu demi persatu jejak
yang ada. Hanya dengan berlampiaskan piama yang menutupi tubuh melindungi dari
hawa dingin yang kian menusuk jantungku. Awan gelap yang serasa akan siap
menerkamku kapan saja dengan suara gemuruh yang kian memekakkan telingaku.
Seperti tak memedulikan keadaan yang ada, aku terus berjalan tanpa tujuan.
Kaki ini terus dan terus melangkah
dengan pasti mengikuti kata hati yang berbisik untuk mengajakku ke suatu tempat
yang aku tak tau tepatnya dimana. Langkahku terhenti ketika aku mendapati
diriku berada ditengah padang yang luas dan tak berpenghuni. Dimana aku ?
mengapa aku bisa berada disini ? Hanya pemandangan kosong dan hampa yang
terlihat dimataku.
Aku berusaha mencari tahu dimana
keberadaanku. Bola mataku tak pernah berhenti berputar melihat keadaan
disekelilingku. Dengan lihai dan penuh dengan tanda tanya berputar untuk
menemui sesuatu yang berarti disini. Dan aku lelah untuk berusaha temukan sisa
– sisa kehidupan disini. Daerah kosong yang tak berpenghuni layaknya seperti
kota mati.
Ketakutanku kian memuncak mendapati
diriku yang sendiri. Mungkinkah aku tersesat ? Lalu dimana jalan keluar dari
tempat ini ? Aku merasa takut, sepi dan kesendirian yang terus menyelimuti
diriku yang tak berdaya telah tertunduk lemah diatas rerumputan ini. Arrghh...
aku lelah, aku penat untuk bangkit lagi. Aku ingin keluar dari ketidakpastian
ini.
“ Bangun Debra ! “ Suara itu seperti
sudah tak asing lagi bagiku. Suara lembut yang membuat kedamaian dihatiku. Tapi
mungkinkah itu dia ? Ahh.. tidak mungkin dia ada disini. Aku sendiri.... dan
tiada satupun orang yang ada selain aku. Aku terlalu lelah untuk bangkit.
“ Debra.. Ayo ! “ suara itu makin
terdengar jelas dan semakin dekat denganku. Aku belum yakin akan hal ini. Terlalu
lelah untuk mencerna semua yang ada dihadapanku. Yang aku inginkan sekarang
hanyalah keluar dari tempat yang mengerikan ini.
“ Debra... Ayo bangun ! “ dan sekarang
bukan hanya suara yang begitu dekat denganku. Karna suara itu datang bersamaan
dengan uluran tangannya yang mengajakku untuk bangun dan berdiri. Dan mungkin
ini sudah saatnya aku mengikuti ajakannya. Aku mencoba menengadahkan kepalaku
keatas untuk memastikan bahwa seseorang yang ada dihadapanku adalah benar dia.
Dan untuk kemudian aku mendapati sebuah wajah yang begitu kukenal.
Wajah yang begitu berseri dengan senyum
tipis yang penuh kehangatan darinya. Dengan pakaian putih dan bersih membaluti
dirinya yang berdiri tegak dihadapanku. Seperti mendapati seseorang yang begitu
putih dan suci layaknya seperti mereka berada dikehidupan yang berbeda
denganku. Mereka yang berada bukan dikehidupan yang nyata.
“ Yoga ?? “ nama itu keluar dari
mulutku memastikan bahwa memang dia yang sedang berdiri dihadapanku.
“ Ya.. aku ! Ayo bangkitlah sayang,
aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
Suatu tempat ? Tempat apalagi yang
bisa ditemui disini ? Bagiku tempat ini begitu kosong dan tak kan ada lagi
sesuatu yang berarti disini. Lalu apa yang dimaksud Yoga ? Mungkin sebaiknya
aku memang harus mengikuti dia yang jauh lebih tau tempat ini daripadaku. Aku bangkit
dan berdiri disampingnya, untuk kemudian berjalan mengikutinya.
“ Lihat rumah itu ! “ suara Yoga
menyuruhku untuk mengarahkan pandanganku ke rumah kecil nan indah yang berada
didepanku.
“ Aku ingin kesana, aku ingin menyusul
lelaki tua yang sudah lama menetap dirumah kecil itu. Aku ingin menemaninya
yang sudah setahun lebih hidup sendiri disana “ tutur Yoga sambil menunjuki
lelaki yang sedang duduk santai sambil membaca koran dengan secangkir kopi yang
berada dimeja sampingnya.
Aku mengenal rumah kecil ini, tapi ini
tak mungkin. Rumah ini masih berdiri dengan kokoh dan indah. Tak ada tampak
hitam didindingnya atau bekas – bekas tanda kebakaran yang telah menghanguskannya.
Bagaimana mungkin ini bisa terjadi ? Ini adalah rumahku. Rumah yang sedari
kecil sudah kutempati bersama keluarga kecilku, Ayah, Bunda dan Chiko kakakku
satu – satunya. Ini sudah setahun lebih dari kejadian itu. Kejadian yang telah
merenggut nyawa Ayahku. Kejadian yang telah membuat semua hidupku kacau dan
berubah menjadi sangat buruk.
Dan siapa laki – laki yang duduk
disana ? Dan mengapa Yoga ingin menemani laki – laki itu ?
Aku
berjalan menghampiri laki –laki tua yang sedang duduk dengan koran dikedua
tangannya. Ku ambil korannya yang sedari tadi menutupi wajahnya. Ku mencoba
mencari tahu siapa laki – laki yang dimaksud Yoga.
“ AYAH......???!!!”
Laki – laki itu hanya tersenyum simpul
lalu berdiri menciumi keningku. Terasa dengan jelas kehangatan yang
diberikannya. Aku masih terdiam tak mengerti dengan semua yang terjadi ini. Ini
seperti suatu hal yang tak mungkin terjadi. Aku merasakan kembali kehangatan
Ayahku yang sudah meninggal setahun lebih yang lalu karena peristiwa kebakaran
itu. Aku mengalihkan pandanganku ke Yoga, berharap dia akan memberikan
penjelasan kepadaku tentang arti dari semua ini. Dan seketika aku menatap Yoga
dengan penuh tanda tanya, dia tersenyum dan mengatakan....
“ Aku ingin menyusul Ayahmu dan hidup
tenang bersamanya “
***
Aku ingin engkau slalu...
Hadir dan temani aku..
Disetiap langkah yang
meyakiniku
Kau tercipta untukku..
Sepanjang hidupku
Aku tersentak dari tidurku mendengar
nyanyian lagu dari band kesayanganku-Ungu. Nada dering ini kupasang khusus menandakan
panggilan dari Yoga, kekasihku. Ku ambil ponselku yang terletak di meja yang
tak jauh dari tempat tidurku. Dengan kepala yang masih terasa berat karena tak
sepenuhnya sadar dari tidur panjangku tadi.
Kuperbaiki
suaraku terlebih dahulu sebelum aku menjawabnya, sebab aku tak ingin suaraku
terdengar hancur dari seberang karna pita suaraku masih belum bekerja dengan
sempurna setelah tertidur cukup lama. Sebelumnya aku juga ingin,
memperbaiki wajahku terlebih dahulu, karna aku tau pasti sungguh sangat berantakan
setelah bangun tidur ini. Tapi kuurungkan niatku, karna toh gag ada gunanya,
dia juga tidak bisa melihat apa yang terjadi pada diriku sekarang ini. Dia
hanya bisa mendengar suaraku, bukan melihatku.
Okey..! mungkin ini terlalu lama aku
berdiam diri memikirkan hal seperti itu. Diseberang sana, pasti juga sudah
lelah menunggu jawab dari ku. Tanpa harus memikir terlalu lama lagi, ku angkat
ponselku tanpa harus mengecek kembali siapa yang meneleponku.
“ Hallo..” suaraku masih terdengar
sangat kacau, walau aku sudah mencoba untuk memperbaikinya tadi.
“ Pagi sayang... Masih tidur ya ? Bangun
gi.. siap - siap buat sekolah. Aku yang jemput kamu ya sekarang, gak usah pergi
ma Chiko dulu hari ini. Okey ? “ jelas Yoga yang langsung menyampaikan tujuannya
meneleponku di pagi buta ini
“Hmm...
yia, aku mau siap – siap dulu “ jawabku dengan singkat.
“ Okey... See u baby ! Love you...”
kata – kata yang selalu menjadi penutup setiap Yoga meneleponku.
Kututup ponselku tanpa membalas ucapan
dari Yoga. Kepalaku masih terasa sangat berat. Dan rasanya malas untuk bangkit
dari tempat tidurku. Dan untuk sejenak aku terdiam, mengingat kejadian di
mimpiku tadi. Entah itu mimpi buruk atau sebaliknya. Mimpi dimana aku merasakan
kembali kehangatan Ayahku yang hingga detik ini aku masih sangat merindukannya.
Aku merasa senang bisa bertemu kembali dengannya di mimpiku tadi. Tapi katakutan
itu pun sontak hinggap di pikiranku, menyangkut tentang ucapan Yoga dimimpiku.
Apa maksudnya mengatakan semua itu ?
Apa benar dia akan menyusul Ayahku ? Yang berarti pertanda bahwa dia juga akan
meninggalkanku untuk selamanya. Oh.. Tuhan ! Jangan sampai itu terjadi lagi
untuk waktu yang begitu cepat. Aku belum terlalu pulih dari kesedihanku untuk
menerima kenyataan bahwa Ayah yang sangat kucintai telah pergi meninggalkanku
untuk selamanya. Dan jangan biarkan aku merasakan kembali kehilangan seseorang
yang begitu sangat kucintai untuk kedua kalinya. Kehilangan kekasihku, Yoga.
Entah apa jadinya aku nanti, bila sesuatu yang buruk itu benar – benar terjadi.
“ Debra, kamu sudah bangun sayang ? “
sapa Bundaku yang setiap pagi selalu membuka pintu kamarku untuk
membangunkanku.
“ Ya Bunda, aku sudah bangun “
“ Kalau gitu, ayo cepat mandi, siap –
siap untuk sekolah. Jangan sampai kamu bikin kakakmu marah lagi karena selalu
terlambat bangun dan membuat dia juga ikutan terlambat ke sekolah “ tutur Bunda
dengan panjang lebar menasihatiku supaya terbebas dari amarahnya kakakku yang
satu itu.
“ Hmm.. hari ini aku pergi sekolah
dengan Yoga, Bun. Jadi bilang aja ke Chiko kalau dia boleh duluan berangkat “
“ Ya sudah bunda akan bilang. Kamunya
mandi gi, bunda tunggu sarapan dibawah “
“ Ya bun... “ sahutku.
Aku masih berdiam diri duduk di tempat
tidurku yang empuk, jauh berbeda dibandingkan dengan tempat tidur dirumahku
yang dulu. Aku menatap semua yang ada dikamarku. Benda – benda mewah dan
beharga tinggi dengan kualitas yang tidak perlu diragukan lagi. Fasilitas yang
lengkap dan tertata rapi dikamarku.
Keadaan
yang sangat jauh berbeda dibandingkan kamarku yang dulu. Mungkin hanya ada satu
persamaan diantaranya, poster Ungu band yang masih terpajang didinding dan
photo – photo ku bersama personil Ungu.
Dan kini,
keadaan semuanya telah berubah. Aku di kehidupanku yang baru. Kehidupan yang
mungkin didambakan setiap orang. Hidup yang serba berkecukupan. Yang bisa mendapati semua yang kau inginkan.
Kehidupan yang membuat semua orang betah didalamnya. Tapi tidak bagiku. Aku
tidak menyukai dan menginginkan kehidupan sekarang. Aku lebih menyukai hidup yang
sederhana walau hanya dirumah yang begitu kecil. Karena disanalah aku menemukan
kebahagiaan yang takkan pernah bisa tergantikan oleh apapun.
***
“ Weew... Si
pesek udah siap aja ni. Biasanya masih ngolor jam segini “ sapa Chiko, kakakku
satu – satunya yang tak pernah absen untuk menjahiliku.
“ Bisa gak sih sehariii aja berhenti
panggil gue pesek ??!! Hidung gue juga gak pesek – pesek amat. Yiaa standart
lah, hidung orang Indonesia. Jadi nggak perlu sampai segitunya ngeledek
gue “ balasku dengan ketus, terhadap
panggilan yang katanya panggilan sayang dia untukku. Hmm.. bagiku itu bukan
panggilan sayang. Aku tetap saja kesal bila mendengar kata – kata itu disebut.
“ Nggak bisa.. !! lagian kata siapa
hidung lo standart orang Indonesia, yang standart tu kayak gue ni, kalo lo mah
namanya pesek “
“ Standart aja bangga...” celetukku
“ Biarin daripada lo..! “
“ Bodo ! Pesek – pesek gini gue juga
punya cowok. Daripada lo, mpe sekarang gak laku - laku. Yieee...!!” jawab ku
sambil ngeledek balik dia.
“ Diiiih... lo gak tau aja, sebenarnya
banyak yang mau jadi cewek gue, tapi gue tolak. Karena gue mang lagi malas
pacaran “
“ Ooow yiaa ?? masa ??! yia jelas lah
lo tolak, orang yang naksir lo pada gak bener semua. Hancuuurr !! sama kayak lo
! “
“ Enak aja lo..!!” balas Chiko yang
langsung menimpuk ku dengan bantal yang ada di sofa. Dan tentu aku pun membalas
perbuatannya itu. Dan aksi saling lempar bantal pun terjadi diantara aku dan
dia. Suasana pagi itu pun menjadi gaduh, karena ulah kami berdua. Yia memang
begitulah kalau aku dan Chiko telah bersama. Kami bisa melakukan aksi yang gila
sekalipun. Dan tentunya itu, hanyalah pertengkaran kakak-adik yang rukun dan
saling menyayangi. Karna ada pada saatnya kami begitu akur dan kompak. Hmm..
nanti kamu juga tau, pada saat apa hal itu terjadi.
“ Udah – udah ! Berantem mulu tiap
pagi. Ayo dimakan ni sarapannya ! “ seru Bunda yang mengakhiri pergelutan ku
dengan kakak yang resek satu itu.
“ Yia bun.. ini ni. Resek banget jadi
orang !”
“ Sama.. lo juga !” balas Chiko sambil
memencet hidung ku. Membuatku semakin kesal karna perbuatannya daritadi.
“ Aww... sakit bodoh !” jawab ku
dengan nada suara kesal.
“ Pagi anak –
anak ! “ sapa seorang laki – laki separuh baya yang menghampiri meja makan,
dengan pakaian rapi layaknya seperti Bapak – bapak yang mau pergi kerja
kantoran.
“ Pagi !” jawab kami kompak dengan
raut wajah yang langsung berubah semeraut. Jelas memperlihatkan ketidaksukaan
kami pada lelaki yang satu itu.
“ Gimana ? Ada cerita yang menarik
dari sekolah kalian ? “ tanya lelaki itu sambil memberikan senyuman yang
manisnya pada kami berdua.
“ Belum juga berangkat, apanya yang
menarik ? “ tutur Chiko dengan nada yang sinis.
“ Tiiit...Tiiiit....” suara klakson
mobil berbunyi dari luar rumahku. Dan ini kesempatan yang baik bagiku, untuk
bisa mengakhiri makan pagi yang garing ini karena harus satu meja dengan laki –
laki tua ini.
“ Aku berangkat duluan yia.. Yoga udah
dateng jemput. Daah.... “ tuturku
sembari langsung keluar dari rumah tanpa harus pamit dulu kepada lelaki itu.
“ Loh.. trus gue ma siapa ? Kok main
dulu –duluan aja sih sek ? “ tanya Chiko ketika aku langsung meluncur keluar
rumah.
“ Bodoo... ! Pergi aja ndiri ! Makanya
punya pacaaar! “ seruku dari luar rumah menyahuti omongannya.
“ Sialan lo ! “ terdengar suara Chiko
dari dalam rumah yang kesel dengan ucapanku.
Aku memang sengaja ingin cepat – cepat
keluar dari rumah yang besar dan mewah itu. Bila didalamnya aku harus bersama
dengan lelaki separuh baya itu, Dirwanto. Seorang Direktur di sebuah perusahaan
terkenal di Jakarta. Yang kini menjadi ayah tiri kami berdua. Setelah kejadian
yang merenggut nyawa Ayah kandungku itu, tidak lama lagi Ibu menikah dengan
laki – laki ini. Mungkin hanya selang waktu 3 bulan dari kejadian yang
menggenaskan itu. Ibu langsung meminta persetujuan kami agar ia bisa menikah
dengan seorang Direktur ini. Dengan alasan bahwa dia adalah laki – laki yang
baik yang bisa menjadi Ayah bagi kami berdua.
Harta,
ya aku bisa mengerti. Inilah tujuan Ibu sebenarnya disamping memberikan kami
alasan yang bodoh itu. Dirwanto yang mempunyai segalanya bisa menggantikan
semua harta kami yang telah hangus terbakar atau jelas saja bisa memberikan
yang lebih daripada itu. Aku tau tujuan Ibu dibalik semua ini hanyalah ingin
membahagiakan kami anaknya. Ibu memang hanya seorang Ibu rumah tangga, yang
selama ini hanya menunggu nafkah dari suaminya. Jadi mana mungkin Ibu bisa
memberikan kehidupan yang baik pada kami setelah kejadian itu. Makanya ibu
memohon kepada kami agar menyetujui lamaran dari sang direktur itu.
Kami
berdua sangat dekat dengan Ayah. Kami sangat menyayangi Ayah, hingga sampai
sekarang aku dan Chiko belum bisa menerima kehadiran siapapun didalam
keluargaku yang hendak menggantikan posisi Ayah. Tapi demi Ibu, kami mau menerima
lelaki itu, walau tidak sepenuhnya.
Kehidupan aku dan keluargaku dulu memang
tidak sebaik sekarang. Kami adalah keluarga yang sederhana, tetapi sangat rukun
dan harmonis. Karena kami punya jalinan cinta yang kuat. Setelah kematin ayah,
kehidupan kami berubah.Karena semenjak Bunda menikah dengan lelaki kaya itu
setahun yang lalu, membawa pengaruh besar dalam kehidupanku terutama di bidang
materi. Aku jadi punya segalanya, rumah yang mewah, dan hal – hal lainnya yang
belum pernah ku miliki sebelumnya. Tapi hal itu lantas tidak membuat aku dan
Chiko menyukai kehidupan kami yang sekarang. Kami lebih memilih hidup dalam
kesederhanaan seperti dahulu, daripada hidup dengan bergelimangan materi
seperti ini.
Dirwanto juga selalu bersikap baik
pada kami berdua. Dia menyayangi kami layaknya seperti anak kandungnya sendiri.
Tapi entah mengapa, aku dan Chiko tetap saja tidak menyukai laki – laki ini.
Entah karena kami yang belum siap dengan kehadiran Ayah baru, atau memang karna
ada suatu kejanggalan yang kami rasakan. Entahlah.. mungkin hanya waktu yang
bisa menjawabnya.
Something Hard To
Tell
“
Chiko gak marah kan kalo hari ini kamu pergi sama aku ? “ tanya Yoga membuka
pembicaraan ketika aku baru masuk menaiki mobilnya.
“ Nggak kok, lagian bodo amat. Mau dia
marah kek, mau nggak, aku nggak peduli sama cowok resek itu “
“ Resek – resek kan juga kakak kamu,
kamu juga sayang kan sama dia ? “ balas Yoga sambil terus menyetir mobilnya
melaju meninggalkan rumahku.
“ Ya iya lah sayang, namanya juga
kakak satu – satunya “ tuturku
“ Ya makanya, jangan berantem mulu
dong “ kata Yoga yang sering memberikan nasehat dan masukan padaku.
“ Berantem itu bumbu manisnya, sama
kayak pacaran. Pacaran kalau nggak ada berantemnya kan kurang seru. Bagaikan
sayur tanpa garam... hehe” balasku sambil nyengir memandangi wajah lembutnya
yang sangat kusuka.
“ Hehe.. ketawa lagi . Nggak ada yang
lucu juga “ balas Yoga sambil memencet hidungku yang sedari tadi nyengir sambil
memandang wajahnya.
“ Aduuh... kenapa sih ? Pada seneng banget
deh mencet hidungku. Nggak ngerasain sakitnya apa...? “ tuturku kesal, tapi
seneng juga sih kalau yang mencet Yoga.
Kalau Chiko mah, mendingan nggak.
“ Ya habis pesek sih... coba kalau
mancung, nggak akan digituin. Kan tujuan kita mencet kan baik, biar hidungnya
mancung. Hehehe “ jawab Yoga sambil ketawa memandangiku yang merengek kesakitan
karnanya.
“ hehe.. ketawa lagi. Nggak lucu “
balasku membalikkan kata – katanya tadi.
“ Diih... malah balikin kata – kata
orang. Hmmm.... ngambeeek.. Susah ya pacaran ma anak kecil. Tiada hari tanpa
ngambek “ tutur Yoga sambil berusaha membujukku yang cemberut padanya.
Sebenarnya aku nggak ngambek sih ma dia. Tapi pura – pura aja, akting gitu biar
digodain dan dibujuk terus sama dia. Hahaha.. salah satu taktik cewek buat cari
perhatian. :p
Sepanjang perjalanan Yoga terus
merayuku, membujuk ku supaya nggak marah lagi sama dia. Aku senang dengan
suasana seperti ini. Karna moment inilah aku slalu mendapat perhatian dan kasih
sayang yang ditunjukan Yoga padaku.Perhatian dari seseorang kekasih yang
setahun diatasku. Yoga menduduki bangku kelas tiga, sama seperti Chiko. Sebelum
menjalin hubungan denganku, Yoga berteman baik dengan Chiko, bahkan boleh
dibilang mereka bersahabat. Tapi bukan berarti sekarang setelah aku berpacaran
dengan Yoga, mereka berdua tidak bersahabat lagi. Mereka tetap dekat, bahkan
sangat dekat. Layaknya seperti sahabat yang takkan pernah terpisahkan.
Perhatian Yoga yang membuatku tidak
ingin jauh darinya. Dia yang selalu memberikanku semangat. Tutur katanya yang
halus dan lembut, membuatku selalu nyaman dan betah disampingnya. Dia selalu
menjadi sandaran bagiku, apapun masalah yang aku hadapi, aku selalu cerita
padanya. Dan dia pun juga senantiasa memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat
dan menjadi jalan keluar bagi setiap masalah yang kuhadapi. Tidak ada yang
pernah aku tutupi dari dirinya. Begitu juga dengan dia. Makanya tadi aku
bilang, apa jadinya aku nanti kalau tanpa dia disisiku.
Eiiitzz... Tunggu ! Mimpiku tadi....
Aku masih bertanya – tanya dengan kata Yoga di mimpi itu. Aku takut bila
membayangkan hal itu benar – benar terjadi. Kata – kata itu masih terniang
ditelingaku. Seakan itu akan benar – benar terjadi. Hati ku selalu gelisah
mengingat kata itu. Seakan berbisik kalau memang ada suatu hal yang membuat
kata – kata itu akan terwujud nantinya.
“ Aku mimpi buruk semalem “ aku mulai
membuka suaraku sampai – sampai aku lupa, kalau aku pura – pura marah padanya
tadi.
Kami berdua baru sampai disekolah, dan
berjalan menyusuri koridor sekolah yang masih sepi di pagi hari ini. Suasana
semakin mencengkram saja karna dibayangi dengan rasa ketakutanku untuk
mengucapkan kata itu kembali.
“ Mimpi apa ? “ Yoga menyahuti
ucapanku dan melupakan hal yang sebelumnya terjadi.
“ Mimpi aku bertemu dengan Ayahku lagi
“
“ Bagus dong, seenggak – enggaknya
bisa melepas kerinduanmu pada Ayah “
“ Iya.. tapi ini beda. Aku bertemu
Ayah di rumah ku yang dulu “
“ Ya wajar, rumah itu yang banyak
kenangan antara kamu dan Ayah kamu, makanya kejadian mimpinya disana “
“ Bukan itu masalahnya, tapi.......
“Nafasku tercekat di tengah kata. Rasanya tak sanggup melanjutkan kalimat yang
selanjutnya.
“ Tapi apa ? “ tanya Yoga dengan nada
yang cemas melihat ketakutan diwajahku.
“ Dimimpiku itu ada kamu dan disana
kamu bilang kalau kamu akan... “
“ Akan apa ? Jangan setengah –
setengah gini dong sayang. Jangan bikin aku cemas juga. Ceritain ke aku
semuanya dengan tenang “ pinta Yoga padaku
“ Kamu bilang kalau kamu akan menyusul
Ayahku, kamu akan pergi meninggalkan aku selamanya sama seperti Ayahku. “
kalimat itu berhasil kuucapkan dengan sempurna walau awalnya tersekat di tengah
kata, karna aku takut saja untuk mengucapkannya. Aku memang terlalu sensitif
untuk hal ini.
Kupandangi wajah Yoga, dia terdiam
sejenak. Tampak wajah sedih dari mukanya. Sepertinya dia juga merasakan hal
yang sama denganku. Ketakutan akan hal itu benar – benar terjadi. Tapi
bagaimana mungkin Yoga juga mengkhawatirkan akan mimpiku itu ? Yoga tidak
pernah memusingkan tentang apa yang terjadi di mimpi. Baginya mimpi adalah
bunga tidur yang tidak perlu diambil pusing akan arti dari sebuah mimpi itu.
Tapi kenapa sekarang Yoga tampak seperti memusingkannya ? Apa ada sesuatu hal
yang membuat Yoga percaya dengan mimpiku itu ?
“ Kurasa itu benar... “ tutur Yoga
dengan suara pelan dan pandangan kosong.
“ Apa??? Maksud kamu mimpi aku ? “ aku
semakin khawatir bila itu benar – benar terjadi.
“ Yia mimpi itu benar..... “ Yoga
membenarkan kembali perkataanku dengan mimik wajah yang tampak seperti orang
yang nggak sadar dengan ucapannya.
“ Yoga.. Maksud kamu ? “
“ Eh eh... Yia maksud aku mimpi itu
kan benar. Setiap orang juga pasti akan meninggalkan dunia ini kan ? Jadi ya
nggak salah dong dengan mimpi kamu atau ucapanku. “ tutur Yoga dengan terbata –
taba menenangkan diriku yang cemas karena ucapannya.
“ Iya aku tau, tapi... “
“ Ya sudahlah, nggak usah terlalu
dipikirin. Itu Cuma mimpi kok “ kata Yoga yang langsung memotong pembicaraanku.
Yoga menarik tanganku untuk berjalan
mengantarkanku sampai dikelas. Sepanjang perjalanan dia hanya diam. Aku bingung
dengan sikap Yoga. Mengapa dia tampak begitu mengkhawatirkan mimpiku ? Walau
dia tampak dengan sengaja menutupi wajahnya yang juga cemas akan hal ini.
Wajahnya tampak seperti orang ketakutan, seperti ada sesuatu yang dia
sembunyikan dari diriku. Kalau memang dia tidak memedulikan mimpiku, mengapa
dia harus seperti ini. Aku mengenal Yoga sudah lama. Dan aku tau, dia
menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi itu apa ? Apa ini ada hubungannya dengan
mimpiku ? Oh Tuhan, aku semakin tidak mengerti dengan semua ini. Hal ini
semakin membuatku larut dalam tanda tanya yang besar.
***
“ Tumben ni si Miss Happy kita diem
dan murung gini “ sapa Chika sahabatku.
“ Sebutan apalagi tu ? Nggak bagus
banget kedengarannya. Garing tau nggak ? “ kataku
“ Bodo ah garing atau nggak nya,
kenapa sih ? Murung gitu ? Lagi ada masalah ? Cerita dong ke gue, jangan diem –
diem aja “ tutur Chika
“ Gue ngerasa ada yang aneh aja dari
Yoga “
“ Yoga atau lo nya yang aneh ? “ celetuk
Cika
“ Gue lagi nggak becanda Ka , serius
dikit bisa nggak sih ? “ balasku
“ Okey okey... Mang ada apa ma Yoga ?
Keliatannya dia baik – baik aja “ jawab Cika dengan serius menyahuti ucapanku
“ Nggak, gue rasa dia ada nyembunyiin
sesuatu dari gue. Menyangkut suatu masalah yang besar tentang dirinya. Tapi gue
sama sekali nggak tau.”
“ Lo yakin kalau Yoga bener- bener
nyembunyiin sesuatu ? Lo bisa buktiin darimana ? “
“ Gue mang nggak punya bukti apa –
apa, tapi feeling gue bilang gitu “
“ Yaudah mending lo tanya langsung ma
dia, ada apa sebenarnya. “ saran Chika.
“ Gue nggak yakin Yoga bakal jujur ke
gue “ kataku
“ Yaudah sabar aja nungguin waktu
kapan dia bisa jujur ke lo “ balas Chika
“ Bener – bener nggak ngasih solusi
yang baik lo ya... percuma aja gue ngomong ke lo “
“ Hehehe.. salah sendiri ngapain mau
cerita ke gue “
“ Kan lo sendiri yang minta tadi, aneh
banget sih jadi orang “ balasku dengan ketus.
“ Woo... lagi kesel banget ni kayaknya
Ra, kenapa sih ? “ tanya Shiren yang baru datang bersama Echa.
“ Nggak usah ditanya, ntar emosinya
meledak lagi loh “ sahut Chika pada Shiren.
“ Tanya aja ma temen lo yang nyebelin
ini “ jawabku yang memang benar – benar tidak mood untuk bercanda dengan
sahabatku itu.
“ Chika.. Chika, udah tau mood Debra
lagi nggak baik, malah dipancing emosinya, kena semprot deh lo “ sahut Echa.
“ Hehehe biarin.. kan buat ngibur dia
juga “ jawab Cihka dengan santai
“ Apanya yang kehibur ? bikin kesel
iya!! “ jawabku dengan nada kesal dan langsung beranjak keluar meninggalkan
mereka.
“ Mau kemana Ra ? “ Tanya Shiren
“ Keluar bentar nenangin diri “
Hmm... aku memang lebih suka
menenangkan diriku sendiri dengan pergi menjauh dari keramaian agar aku bisa
berpikir tenang untuk sementara waktu. Aku hanya tidak ingin orang lain ikut
kesal karena nantinya hanya akan dapat semprotan dari kata – kataku yang sedang
kesal dan lagi nggak mood ini. Aku memang orangnya moodyan. Kadang ada saatnya
aku bisa gila dan heboh bareng mereka. Tapi jika ada suatu masalah yang hinggap
dipikiranku, semua keadaan itu akan berubah dalam waktu yang sekejap saja.
Aku berjalan terus menyusuri koridor
sekolah menuju suatu tempat yang sudah menjadi kebiasaanku untuk berdiam diri
disana. Kelas kosong yang berada disudut kiri atas lantai tiga, lantai terakhir
sekolahku. Banyak orang yang bilang kelas ini angker. Bahkan tidak ada satupun
yang berani masuk kedalamnya. Katanya mereka sering mendengarkan suara – suara
makhlus halus didalam ini. Memang keliatannya kelas ini sangat mengerikan dari
luar, tapi bukan dari luar saja, kalau kau masuk kedalamnya pun juga mungkin
merasakan hal yang sama. Kelas ini memang sudah tidak dipakai semenjak 5 tahun
yang lalu. Yang alasannya sampai sekarang tidak pernah diberitahukan oleh pihak
sekolah. Walau tidak ada alasan yang jelas, tapi semua murid sudah bisa
menyimpulkan kalau kelas itu tidak dipakai karena ada penghuninya yang tidak
ingin diganggu, karena dia juga lagi asyik belajar. Heh ? alasan yang tidak
masuk akal yang sering diucapkan para siswa, entah alasan bodoh apa itu.
Entah
mengapa aku tidak pernah prcaya dengan hal seperti itu. Bagiku semuanya
hanyalah halusinasi setiap orang yang percaya akan itu sehingga selalu dibayang
– bayangi rasa takut. Jadi begitu melihat dan mendengar ini, mereka langsung
berpendapat demikian. Aku berani berbicara seperti itu, karena aku telah
mengalami dan merasakannya. Kelas yang dibilang angker dan berpenghuni serta
sangat menyeramkan. Tapi tidak bagiku, sudah dua tahun yang lalu, tepat disaat
aku mulai menginjakkan kakiku untuk pertama kalinya disekolah ini. Aku
merasakan suatu hal yang bisa membuatku teduh didalamnya. Aku begitu merasakan
perasaan yang nyaman saat berada disini. Disini aku bebas untuk berekspresi
apapun. Aku bebas meluapkan isi hatiku tanpa ada orang lain yang tau. Ya tentu
saja, karna tak ada satu orang pun yang berani memasuki kelas ini. Jangankan
untuk masuk, mengintip dari luar saja mereka tidak berani. Jadi aku benar –
benar merasa tenang bila berada didalamnya.
Aku
juga tidak menemukan tanda – tanda yang berbahaya dari kelas ini. Selama aku
berada didalamnya, tak ada satupun hal gaib yang menggangguku. Banyak orang
yang melarang keras aku untuk masuk dalam dan menyuruhku berhenti untuk terus
mengunjunginya. Mas Nanok penjaga sekolah, juga awalnya melarang keras aku
untuk masuk. Tapi karena permohonan ku yang terus – terusan pada Mas Nanok,
akhirnya ia memberikan ku kunci duplikat kelas ini. Agar dia tidak perlu capek
– capek mengantarkanku atau mengunci balik pintunya. Jadi aku bebas masuk kapan
saja sesuai dengan waktu yang aku inginkan. Mungkin banyak orang yang
mengatakan aku orang aneh, atau beranggapan kalau aku punya kemampuan gaib yang
membuat ku betah berada didalamnya. Karena tak pernah sedikitpun takut terhadap
hal yang seperti itu. Aku tidak peduli terhadap apapun perkataan orang
tentangku. Yang jelas, aku merasa nyaman disini, aku merasakan ketenangan batin
yang tidak bisa aku temui ditempat lain.
Aku
memandangi benda – benda yang ada sekilingku. Kursi – kursi siswa yang begitu
berantakan. Begitu juga dengan mejanya yang penuh dengan debu. Papan tulis yang
penuh dengan tulisan acak – acakan yang tidak enak sekali dipandang mata.
Lantai yang hitam yang sangat kotor. Besi – besi jendela yang sudah berkarat.
Lemari yang tebuka dengan buku – buku berjatuhan yang saling berhimpit satu
sama lain. Fiuuh... sungguh sangat mengerikan memandang ruangan yang sangat kelam
ini. Layaknya seperti shooting film horor saja. Tapi aku tak pernah peduli
dengan apapun itu.
Aku
langsung duduk dibangku yang sudah menjadi bangku tetapku setiap kali aku pergi
kesini. Bangku berwarna coklat yang dipenuhi dengan coret – coretan siswa yang
dulu pernah menduduki bangku ini. Bangku kecil yang menghadap kejendela yang
otomatis secara langsung kamu bisa melihat pemandangan indah sekolah diluar
sana. Walaupun tidak begitu jelas karena kacanya yang sudah sangat hitam dan
berlumut.
Aku
menghela nafas dalam – dalam untuk melepaskan semua beban yang terasa didadaku.
Kupejamkan mata dan mulai menenangkan diriku. Aku tau udara disini sangat tidak
baik untuk dihirup. Tentu saja, karena penuh dengan debu yang sangat kotor. Dan
aku juga mengetahui kalau ini bukan waktu yang tepat untuk aku berada disini.
Karena jam pelajaran sudah dimulai setengah jam yang lalu.
Aku
tidak memedulikan hal itu, karena aku tidak akan bisa berkonsentrasi pada pelajaran
jika perasaanku tidak enak seperti ini. Sahabatku lainnya juga tidak ada yang
berusaha melarangku untuk keluar kelas jam segini. Karna memang mereka tahu,
kalau aku tidak akan bisa dilarang kalau aku bertujuan kesini. Bisa – bisa
mereka akan mendapatkan amarah dariku, dengan alasanku yang mengatakan bahwa
mereka tak mengerti aku sebagai sahabatnya. Tentu mereka tidak ingin dibilang
sebagai sahabat yang tidak mengerti sahabatnya. Jadi mereka lebih memilih diam
dan mengikuti mauku yang mereka juga yakin bisa membuatku tenang dan menjadi
lebih baik.
***
Ponsel
Shiren bergetar, menandakan ada sms yang masuk. Dengan santai Shiren membuka
ponselnya untuk melihat siapa yang mengirim sms padanya di jam pelajaran
seperti ini.
Debra
tidak masuk kelas lagi ?
Sender
Yoga
Dan
untuk seperkian detik jari jemari Shiren langsung bergerak dengan cepat
memencet tombol – tombol yang ada di ponselnya membalas pesan singkat dari
Yoga.
Nggak. Dia bilang dia mau nenangin
dirinya dulu. Katanya dia lagi ada masalah. Kata Chika itu ada hubungannya
dengan kakak juga. Dia tadi bilang ke Chika, kalau ada suatu yang aneh pada kak
Yoga ndiri. Jadi beban pikiran sendiri deh sama Debra.
Kata –
kata itu disampaikan Shiren tanpa ada sesuatu yang ditutupinya. Ya memang
diantara sahabat – sahabat Debra, Shiren lah yang paling dekat dengan Yoga.
Karena Yoga tahu, Shiren lah yang menjadi tempat curhat Debra. Jadi Yoga bisa
mengetahui apapun tentang Debra dari Shiren. Makanya Yoga sering berkomunikasi
juga dengan Shiren. Dan Shiren pun juga tidak canggung lagi untuk berbicara dan
mengungkapkan semua yang benar – benar terjadi dengan Debra pada Yoga.
Yoga
terdiam sejenak membaca sms balasan dari Shiren. Tadi Yoga memang sengaja lewat
didepan kelas Debra, untuk memastikan kalau Debra masih baik – baik saja dan
tidak terpengaruh dengan mimpinya tadi. Tapi ternyata pikiran Yoga salah. Debra
memang tidak baik sesudah itu, apalagi melihat ekspresi Yoga yang penuh
membuatnya menjadi tanya besar tentang apa yang terjadi sebenarnya. Ketika
sampai dikelasnya lagi, Yoga langsung mengetik sms kepada Shiren menanyakan
tentang keadaan Debra. Dan Yoga terdiam karena merasa bersalah tidak
memberitahukan hal yang sebenarnya pada Debra.
“
Kenapa ? “ tanya Niko sahabat Yoga yang duduk bersebelahan dengan Yoga. Sejak
tadi dia memperhatikan Yoga tampak cemas ketika membaca sms yang masuk
diponselnya.
“
Debra tidak masuk kelas lagi “ jawab Yoga singkat.
“ Ada
masalah lagi dengan Bapak tirinya ? “ tanya Niko yang sudah mengetahui dengan
jelas tentang keluarga Debra. Tentu saja, karena Debra adik kandung dari Chiko
yang juga menjadi sahabat dekat Niko.
“
Nggak ada, tapi ini masalahnya dengan gue “ jawab Yoga
“ Apa
? “ tanya Niko singkat
“ Dia
mimpi kalau gue akan meninggalkannya untuk selamanya. “ jawab Yoga dengan nada
suara yang cemas.
“ Lo
udah ngasi tau dia tentang hal itu ? “ tanya Niko semakin penasaran
“
Belum, makanya sekarang gue khawatir. Belum gue kasih tahu hal yang sebenarnya
aja, dia udah kacau gini karena mimpinya. Apalagi kalau gue kasih tau hal yang
sebenarnya ke dia. Gue takut dia kenapa – napa nanti. Padahal tadi tujuan gue
sebenarnya ngajakin dia berangkat sekolah sama gue untuk ceritain tentang ini.
Tapi melihat dia yang sudah ketakutan karena mimpinya itu, gue nggak jadi
bilang apa – apa ke dia. Menurut lo apa gue harus ngasi tau dia juga tentang
hal ini ? “ tanya Yoga dengan penjelasan yang panjang lebar guna mendapat saran
yang baik dari sahabatnya itu.
“
Kalau menurut gue, mendingan lo kasih tau dia yang sebenarnya secepat mungkin.
Karena kalau lo kasih tau dia diawal gini, dia nya jadi lebih siap untuk
ngadepin semuanya bila waktu itu udah dateng. Gue ngeri juga sih ngebayangin
kalau dia tau tentang ini sekarang, tapi ini lebih baik daripada dia tau nanti.
Gue yakin dia akan lebih kacau daripada sekarang kalau dia tahu itu setelah
semuanya terjadi “ tutur Niko memberikan nasehat yang terbaik buat Yoga.
Yoga
terdiam sejenak memikirkan tentang baik buruknya saran dari Niko. Yoga masih mempertimbangkan
penuh apa dia harus melakukan seperti yang dikatakan Niko atau tidak. Karena
Yoga tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kekasih yang sangat
dicintainya itu. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sulit bagi Yoga untuk
menceritakannya pada Debra. Karna hal ini benar – benar masalah berat, yang
Yoga takut akan berdampak buruk pada Debra. Karena Debra sangat mencintai Yoga.
Begitu juga dengan Yoga, makanya Yoga tidak ingin kekasihnya itu kenapa – napa
nantinya.
When I Know........
TEEEETTT.......
Bel tanda pelajaran berakhir pun
berbunyi. Lega banget rasanya, bisa mengakhiri pelajaran matematika yang
membosankan ini. Apalagi dengan kondisiku sekarang yang tidak bisa
berkonsentrasi untuk menerima pelajaran. Kukemaskan buku pelajaran yang berantakan
dimejaku. Buku – buku yang terbuka dengan percuma, karna memang sejak tadi aku
tidak memperhatikan pelajaran sedikitpun. Jadi hanya sekedar simbolis saja pada
guru yang sedang mengajar, kalau aku masih memperhatikan pelajarannya dengan
baik.
“ Debra, kamu jangan pulang dulu ya !
Kamu ikut ibu sebentar ke kantor, ada yang perlu ibu bicarakan dengan kamu “
kata Bu Tati, guru matematika ku, yang merangkap sekaligus menjadi wali
kelasku.
“ Iya buk “. Sahutku singkat.
Hmm... Ntah apa yang terjadi nanti. Aku
sendiri tidak tahu mengapa Bu Tati memanggilku ke kantor. Mungkin karena aku
yang tadi melamun sewaktu pelajaran dia. Tapi aku tadi cukup bisa berakting
meyakinkan bahwa aku masih memperhatikan pelajarannya dengan baik. Tapi mengapa
Bu Tati memanggilku untuk berbicara yang sepertinya ada urusan yang serius.
Entahlah... kita lihat saja nanti. Aku siap bila aku harus diceramahi panjang
lebar oleh Bu guru yang ramah satu ini.
“ Mau
kita tungguin atau gimana ni ? “ tanya Shiren padaku.
“
Hmm...nggak usah deh, duluan aja. Ntar juga pasti lama ceramahnya, daripada
capek nunggu mending duluan aja. “ kataku
“ Tapi
katanya tadi, si Echa minta ditungguin juga. Dia mau pulang bareng katanya. Dia
lagi ada tambahan pelajaran Fisika, untuk persiapan olimpiadenya nanti. “ kata
Chika.
“ Hey.
Pada belum pulang kan semuanya ? “ sapa Echa yang baru datang memasuki kelas
kami.
Echa
memang tidak satu kelas dengan kami. Dia berada dikelas XI IPA 2, kelas unggul
kedua di sekolah ini. Sedangkan kami bertiga memilih jurusan IPS, dengan alasan
yang sama, ingin memperdalam ekonomi akuntansi, karena aku dan Shiren ingin
bekerja di Bank nantinya. Sedangkan Chika ingin menjadi pengusaha sukses.
Makanya kita lebih memilih jurusan ini, karena ini jurusan yang cocok dengan kita.
Berbeda dengan Echa yang ingin menjadi dokter muda.
“
Belum kok, lagian kita mau nungguin Debra juga sekalian .” sahut Chika
“ Loh
? Emang Debra ngapain ?” Tanya Echa.
“ Dia
tadi dipanggil sama Bu Tati diruang guru” tutur Shiren.
“
Yakin mau nungguin gue, ntar lama loh ? “ tanyaku meyakinkan mereka.
“
Yupz.. gak pa – pa kok. Aku bisa kekantin dulu sama Chika nungguin kalian
berdua sampe selesai “ jawab Shiren.
“ Iya,
nggak pa – pa kok. Ya udah kesana gi, ntar Bu Tati kelamaan nunggu loh “ sahut
Chika
“ Ya
udah gue pergi dulu ya “ jawabku yang langsung bergegas meninggalkan mereka.
Aku
berjalan menuju ruang guru. Perasaanku mengatakan kalau hari ini aku akan
mendapat teguran dari guruku yang satu itu. Entah dalam bentuk apa tegurannya
itu, yang jelas aku tau itu juga demi kebaikan aku. Apalagi aku mengerti bahwa
teguran itu memang pantas ku dapatkan sekarang, karena akhir – akhir ini aku
memang sedikit malas untuk belajar.
“
Siang Buk “ sapaku yang langsung menduduki bangku yang ada dihadapan guru
tersebut.
“ Siang
Debra . Ibu rasa kamu sudah tau tujuan Ibu memanggil kamu sekrang untuk apa “
tutur Bu Tati dengan mimik muka yang serius.
“ Ya
buk. Maafkan saya, saya memang tidak berkonsentrasi akhir – akhir ini pada
pelajaran. Tapi saya janji aku tidak akan mengulanginya lagi. Saya akan belajar
lebih giat lagi buk “ kataku dengan merasa bersalah atas sikapku.
Kupandangi
wajah Bu Tati sewaktu aku mengucapkan kata itu. Bu Tati mengerutkan keningnya,
seperti merasa aneh dari omonganku barusan.
“ Ya
kamu memang harus belajar lebih giat lagi, untuk persiapan olimpiade
Ekonomi-Akuntansi nanti “ tutur Bu Tati sambil tersenyum kepadaku.
“ Apa
? Maksudnya Bu ? “ tanyaku yang tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Bu
Tati.
“ Jadi
kamu belum tahu ? Ibu sedikit tidak mengerti dengan apa yang kamu bilang tadi.
Tujuan Ibu memanggil kamu kesini, untuk memastikan bahwa kamu siap dan menerima
keputusan dari sekolah untuk menunjuk kamu sebagai perwakilan perlombaan nanti.
“ jelas Bu Tati.
“ Tapi
mengapa saya Buk ? “ tanyaku masih tidak yakin dengan apa yang dibilang Bu
Tati.
“ Ya
tentu saja kamu yang dipilh. Kamu adalah juara kelas kita. Dari kelas satu juga
seperti itu. Nilai mata pelajaran kamu juga sangat bagus, terutama di mata
pelajaran Ekonomi. Jadi memang sepantasnya kamu yang dikirim untuk perlombaan
ini. “ kata Bu Tati meyakinkan ku atas pemilihan ini.
“ Ya
makasih buk karena udah memilih saya. Saya akan berusaha memberikan yang
terbaik buat sekolah. “
“
Harus ! Ibu dan pihak sekolah juga berharap penuh agar kamu bisa merebut Piala
olimpiade itu kembali “
“
InsyaAllah buk . Ada hal lain lagi buk yang ingin Ibu bicarakan dengan saya ? “
tanyaku memastikan bahwa aku kesini tidak dipanggil karena nilai – nilaiku yang
sudah merosot jauh.
“ Hmm... ya.
Ibu baru inget menyangkut tentang ucapan kamu tadi. Ada beberapa guru yang
melaporkan nilai kamu sudah banyak yang merosot jauh. Dan kamu yang tampak kurang
berkonsentrasi pada saat jam pelajaran berlangsung. Ada apa dengan kamu, Debra
? Kamu lagi dalam masalah ? “ Fiuiuuh... akhirnya pertanyaan yang aku tunggu –
tunggu keluar juga dari mulut Bu Tati.
“
Hmm... tidak ada masalah yang begitu berarti Buk. Saya memang sedikit tidak
berkonsentrasi aja. Tapi saya akan memperbaikinya kok Buk. Ibuk tenang saja,
saya akan mengejar nilai – niliku yang ketinggalan tadi. “ jawabku dengan nada
suara menyesal.
Setelah
selesai pembicaraan lama yang cukup menyita waktuku, aku segera beranjak dari
tempat itu. Aku berjalan menuju kantin sekolah, menghampiri sahabatku yang
sudah menunggu sejak tadi. Ternyata tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk
menunggu Echa selesai dari tambahan pelajaran Fisikanya. Tidak lama kemudian
dia datang menyusul kami semua. Hari itu kami memang tidak seperti biasanya.
Yaitu kebiasaan kami sehabis pulang sekolah yang duduk - duduk dulu di Kafe
langganan kami hanya untuk menghabiskan waktu bercerita dari hal yang penting
sampai pada hal kecil yang tidak perlu dibahas sama sekali. Kami memang cukup
lelah hari itu, jadi kami langsung pulang saja.
Mobil sedan
berwarana kuning melaju dengan kencang, meninggalkan sekolah yang sudah sepi
sejak tadi. Kuning memang warna kesukaan Shiren, jadi tidak heran, semua benda
yang dia punya berwarnakan kuning. Setiap pulang sekolah, kami memang selalu
bareng Shiren. Tentu saja, karna bisa mendapatkan tumpangan yang gratis. Jadi
hitung – hitung hemat ongkos,hehehe. Shiren mengantarkan kami satu per satu
sampai dirumah masing – masing. Shiren juga memang lebih suka menyetir sendiri
ketimbang menyewa seorang sopir yang akan mangantar jemput putri cantik satu
itu.
Rute
pertama dimulai dari Echa, karena memang rumahnya yang paling dekat dengan
sekolah. Selanjutnya Chika yang sebenarnya tidak begitu jauh dari rumahku. Tapi
sebelum sampai dirumahku, kita harus melewati rumah Cika dulu. Baru nantinya
sampai dirumahku. Huuvff... Rumah yang sangat membosankan.
Setiap
kali pulang sekolah, malas saja rasanya untuk cepat – cepat pulang ke rumahku
ini. Rumah besar yang hampa. Seperti lagu Ungu saja, Pernahkah kau merasa ? Hatimu Hampa... Pernahkah kau merasa ? Hatimu
Kosong... Yupz ! mungkin memang itu seuntai lyric yang cocok menggambarkan
perasaanku setiap kali harus menginjakkan kaki dirumah itu.
Kutepaki
satu demi per-satu langkahku. Mencoba untuk betah berada dalam waktu yang lama
dirumah ini. Terdengar suara laki –laki yang sedang asyik bercanda gurau dari
dalam rumahku. Suara yang tentu saja kukenal, Chiko, Niko, dan Yoga. Ketiga
sahabat yang sering menghabiskan waktunya dirumahku. Katanya sih untuk belajar
bersama – sama, persiapan untuk Ujian Nasional mereka. Tapi menurutku lebih
tampak seperti orang yang sedang nongkrong dan menghabiskan waktu mereka dengan
gurauan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan pelajaran.
“
Assalammualaikum “ sapaku singkat ketika masuk kedalam rumah.
“
Waalaikumsalam adek manis... Baru pulang ya ? Kok lama banget sih ? Chiko
khawatir tu daritadi, Kangen katanya ! “ tegur Niko yang sehari – harinya
selalu berseloroh dalam setiap kata yang diucapkannya.
“ Gue
Kangen ?? ! Iiih... gak lah ya ! Rugi banget kangen ma pesek yang satu itu “
sahut Chiko
“ Ooo...
Aku salah ! Yang khawatir itu Yoga rupanya! “ kata Niko sambil menirukan gaya –
gaya banci yang sering diperagakan oleh dua pentolan pelawak OVJ, Aziz dan
Sule.
“ Ya
gue khawatir ! Darimana aja sih Ra ? Lama banget pulangnya “ tutur Yoga
mengiyakan apa yang dibilang Niko dengan nada suara yang serius.
“
Pergi kemana aja... Suka – suka gue ! “ jawabku ketus dan pergi berlalu
meninggalkan mereka yang sedang duduk dengan santai diruang keluarga.
Aku
juga tidak mengerti mengapa aku bisa berlaku seperti ini ke Yoga. Dengan tidak
mempedulikannya, menjawab pertanyaannya dengan nada yang ketus. Tapi aku
melakukan ini agar Yoga merasa bersalah karena menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku hanya ingin Yoga bicara padaku. Bicara tentang masalahnya, karena aku
kekasihnya. Aku juga ingin tahu tentang kehidupannya, walau itu berat untuk di
ungkapkan.
Aku
berjalan menuju kamarku. Aku ingin istirahat dan menyegarkan pikiran ku
kembali. Aku teringat akan janjiku pada Bu Tati, bahwa aku akan lebih serius
belajar. Terutama untuk persiapan aku mengikuti kompetisi yang sudah lama
kutunggu ini.
Sesampainya
dikamar, kuhempaskan tubuhku dalam ranjang empuk yang membuatku nyaman. Rasanya
malas untuk bangkit lagi dan mengganti seragamku dengan pakaian rumah. Ingin
cepat – cepat tidur dan melupakan semua masalah yang ada pada hari ini.
Terutama mimpi buruk itu.
“Tookk...Took.. “ terdengar suara orang yang mengetok pintu
kamarku
“
Siapa ? “ tanyaku singkat
“ Aku
boleh masuk ? “ suara yang sudah pasti kukenal, Yoga.
Aku
hanya diam dan tidak berkata apa – apa. Aku juga sudah yakin kalau dia pasti
akan menyusulku. Dia tidak akan mungkin membiarkanku marah dan diam padanya.
Percaya atau nggak dia itu tidak akan betah bila sehari saja tidak
berkomunikasi denganku. Jadi bisa dipastikan kami jarang bertengkar.
Walau
aku belum meng-iyakan dia untuk masuk kekamarku, Yoga sudah langsung membuka
pintu kamar dan berjalan menghampiriku. Hmm.... perbuatan yang lancang, masuk
kamar orang tanpa seizinnya.Tapi aku tidak bisa marah kalau yang melakukannya
Yoga. Eittzz... jangan ditiru perbuatan ini. Don’t try this at Home !
“
Lainkali tunggu orangnya ngijinin masuk dulu. Jangan masuk seenaknya aja “
tegurku yang tidak melihat sedikitpun kearahnya.
“ Ya
aku minta maaf. Lagian mau ditunggu sampe kapanpun juga kamu gak akan ijinin
aku masuk kalau kamunya lagi ngambek gini “ balas Yoga.
“
Siapa yang ngambek ? “
“ Kamu
kenapa sih ? Kok tiba – tiba marah gak jelas gini ke aku ? Tadi juga gak masuk
kelas, pulang juga telat, ada apa sih ? “
“
Kesambet setan di kelas 3 ipa 7 tadi “ jawabku. Kelas 3 ipa 7, kelas kosong
yang kuceritakan tadi. Dulunya itu kelas 3 Ipa 7, tapi sekarang ditutup dan
sekarang hanya ada sampai kelas Ipa 6.
“
Serius dong ! Jangan becanda gini ! “ pinta Yoga
“
Serius udah bubar ! Yang masih ada sampe sekarang Ungu !” jawabku yang tidak
memedulikan betul kekhawatiran Yoga.
“
Sayang... lihat aku ! Bilang kalau kamu kesel ke aku ! Dan sebutin alasannya
kenapa ? “
“
Karena kamu nyembunyiin sesuatu dari aku “ jawabku yang langsung menatap mata
Yoga. Malas untuk berbasa – basi lagi.
“
Nyembunyiin apa sih ? Aku nggak ngerti maksud kamu “ jawab Yoga pura – pura
tidak tahu dengan apa yang kumaksud
“ udah
deh, jangan boong ! Aku udah kenal kamu sejak lama. Kamu nggak bisa lagi buat
boongin aku ! “ kataku dengan nada suara yang mulai mengeras
“
Boongin apa sih Ra ? Aku nggak ada nyembunyiin sesuatu dari kamu ! “
“ Oh
ya ? kalau gitu sekarang kamu keluar dari kamar aku ! pikirin dulu mateng –
mateng, kamu udah boongin aku tentang apa. Kalau kamu udah nemuin jawabannya,
kamu boleh hubungi aku lagi. Tapi kalau nggak, jangan ngomong sama aku dulu,
sekalian jangan temuin aku dulu. Keluar gi sana ! aku capek, aku mau istirahat
! “
“ Kamu
kenapa sih ? Kok jadi aneh gini ? “
“ Yang aneh itu kamu ! Bukan Aku ! Udah deh aku
bilang keluar ! Aku mau istirahat ! “ bentakku pada Yoga yang membuat Chiko dan
Niko terdiam, padahal sedari tadi mereka sedang asyik tertawa bersama dibawah.
Yoga hanya
terdiam melihatku. Dia pun nggak bisa ngomong apa – apa lagi. Dia langsung
beranjak dari tempat tidurku, dan berjalan menuju pintu keluar meninggalkan ku
sendiri dikamar. Yoga memang tidak bisa berbuat apa – apa kalau aku sedang
marah besar. Menurutnya, aku masih dalam keadaan jiwa yang tidak stabil karena
ditinggal oleh Ayahku. Dia mencoba menegrti aku. Walau kupikir caranya itu
salah, kalau berangapan seperti itu.
***
“ Adik
gue kenapa ? “ tanya Chiko lirih ketika mendapati Yoga dengan wajah yang lesu
sekeluar dari kamarku.
“ Gue
nggak tau . Tiba – tiba dia marah gak jelas aja ke gue “ jawab Yoga sedih.
“
Bukannya marah gak jelas. Gue rasa dia cukup beralasan berlaku seperti ini ke
loe “ sahut Niko dengan yakin
“
Maksud Loe apa Nik ? “ tanya Chiko yang tidak mengerti dengan ucapan Niko.
“ Loe
tanya aja deh ndiri ma dia ! Masa harus gue yang ngejelasin ? “ jawab Niko.
Chiko langsung
mengalihkan pandangannya ke Yoga. Yoga hanya diam dan tidak mengeluarkan
sepersen katapun.
“
Makanya gue bilang apa ! Jujur itu lebih baik, walau itu pahit ! “ kata Niko lagi
menegur Yoga.
“ Aduh
gue nggak ngerti deh ! sebenarnya kenapa sih ? “ tanya Chiko semakin penasaran.
“ Gue
nggak jujur sama Debra, temasuk sama loe “ kata Yoga yang mulai membuka
suaranya.
“
Nggak jujur soal apa ? “
“ Soal
penyakit gue “ Yoga terdiam dan tidak melanjutkan kata – katanya lagi.
“
Penyakit ? Penyakit Apa ? “
“ Lo ndiri tau
kan, akhir – akhir ini gue orangnya cepat lelah, sering tiba – tiba pucat,
nafas gak stabil, kadang ada rasa nyeri sendiri.” Tutur Yoga yang tampak begitu
sulit mengatakannya.
“ Iya
gue tahu, tapi lo bilang kemaren ini, itu cuma penyakit biasa. Bahkan kemarin
ini waktu gue antar loe periksa ke dokter, loe bilang dokter loe nggak ngomong
apa – apa. Dia bilang cuma penyakit biasa. Trus emangnya sekarang loe sakit apa
? Parah ? “ tanya Chiko yang tampak begitu khawatir.
Tentu
saja, disamping Yoga sahabatnya, dia juga kekasih yang begitu sanagt dicintai
adiknya. Jadi sesuatu yang menyangkut tentang Yoga, pasti juga akan berpengaruh
pada adik satu – satunya itu.
“ Leukimia
Mielositik Kronis atau disingkat orang LMK” jawab Yoga dengan pandangan kosong.
“ Hah
? Gak mungkin ! Loe jangan becanda Ga, itu penyakit bukan penyakit biasa ! Loe
jangan main –main “ kata Chiko meyakinkan bahwa apa yang dibilang Yoga Cuma
gurauan semata.
“ Siapa
yang becanda ? Gue serius ! gue juga tau
penyakit itu nggak main – main. Makanya sampe sekarang gue belum siap buat
cerita ke loe dan terutama Debra ! Apalagi kalau Dokter gue bilang gue
terlambat mengetahui penyakit ini dan....
“ Yoga terdiam dan tidak melanjutkan kata – katanya lagi
“ Dan
apa ? “ tanya Chiko yang mulai mempercayai apa yang dibilang Yoga.
“ Dan gue
divonis cuma bisa bertahan paling lama satu tahun lagi “ kata – kata itupun
berhasil diucapkan Yoga dengan sempurna. Semuanya terdiam, tak ada satupun yang
mengeluarkan suara. Suasana jadi begitu dingin, setelah mengetahui kenyataan
yang pahit ini.
“
Kenapa kamu nggak pernah bilang ke aku ? “ nafasku tercekat untuk bisa bersuara
menanggapi omongan mereka yang sedari tadi sudah kudengarkan semuanya.
Aku
terdiam dibalik tangga yang tidak begitu jauh dari sumber suara. Awalnya aku
ingin turun untuk mengambil minuman kebawah. Dan langkahku terhenti mendengar
mereka yang sedang tertangkap dalam pembicaraan yang serius. Aku tidak bisa
membendung air mataku lagi, mendengar hal itu disebut langsung dari mulut Yoga.
Hatiku seakan tercabik – cabik mendengar kenyataan pahit itu disebut.
“
Debra ??!!” Sejak kapan kamu ada disana ? “ tanya Yoga yang tampak takut dan
cemas mengkhawatirkan bila aku mendengar semua tentang percakapan dia tadi.
“ Aku
udah denger semuanya “
Air mataku langsung bercucuran
dan semakin tidak bisa untuk dipendam. Aku langsung berlari menuju kamarku.
Rasanya tidak sanggup untuk melihat wajah Yoga lagi. Apalagi mendapati kenyataan
bahwa hidupnya yang akan bertahan hanya setahun lagi. Apa ini ? mengapa ini
semua harus terjadi padanya ? Kenapa bukan orang lain ?
Aku
langsung menghempaskan tubuhku kembali keranjang yang memberikanku kenyamanan.
Kubiarkan pintu kamarku terbuka. Aku mengambil bantal dan memeluknya erat –
erat didadaku. Aku berusaha untuk mengeluarkan air mata ini sekuat - kuatnya,
agar tak menyesak didadaku. Tapi tetap saja tidak memberikanku sedikit kelegaan
dalam hatiku.
Aku
tidak pernah membayangkan ini terjadi. Kekhawatiranku pada Yoga selama ini
ternyata benar. Mimpi buruk yang aku alami semalam itu terbukti. Aku tidak bisa
mencerna semua yang terjadi saat ini. Bagiku, aku hanya masih terbawa dalam
suasana mimpiku itu tadi. Mimpi yang takkan pernah terjadi untuk siapapun.
It’s
secret.......
Sudah
satu minggu aku tidak melihat Yoga disekolah. Aku juga tidak berkomunikasi lagi
dengannya. Bukannya kami putus, tapi Yoga hanya menuruti perkataan Chiko yang
meminta dirinya untuk tidak menghubungiku dulu, membiarkan aku untuk bisa
tenang dan mengendalikan diriku atas semua ini. Chiko memang benar, aku ingin
sendiri. Walau aku tahu caraku salah.
Aku nggak akan bisa bertemu dengan
Yoga dalam keadaan seperti ini. Aku tidak bisa membayangkan pertemuanku dengan
Yoga nantinya. Karna itu hanya akan membuat airmataku jatuh lagi, melihat wajah
lembutnya yang tidak akan bertahan lama. Membayangkan bila semua itu akan
hilang dalam hitungan bulan lagi. Aahhh... hanya membuat luka dihatiku.
“ Dek.. ntar pulang bareng gue ya. Gak
usah pergi main dulu “ kata Chiko menghampiriku sewaktu istirahat dikantin
sekolah.
“ Ya “ jawabku sambil menganggukkan
kepala.
Chiko langsung berlalu meninggalkanku.
Hanya untaian kata itu saja yang terucap dari mulutnya. Chiko memang berubah
akhir – akhir ini. Dia lebih memperhatikanku. Dia menunjukan kepeduliannya
dengan memberiku perhatian yang lebih. Dia juga tidak pernah menjahiliku lagi.
Tentu saja, karena sekarang aku lebih banyak diam daripada yang dulu.
“ Semua orang juga akan meninggal
lagi, hanya itu tergantung kapan waktunya akan datang “ tutur Echa memecahkan
keheningan yang terjadi dikantin itu. Keheningan antara aku dan mereka.
“ Kita nggak pernah tahu, kapan waktu
itu akan datang. Bisa saja sehabis pulang sekolah nanti kita akan tertabrak
mobil, lalu meninggal, Nggak ada yang pernah tahu kan ? “ tambah Shiren sambil
meneguk minuman dingin yang daritadi sudah ada dimeja.
“ Dokter boleh memvonis umur seseorang
beberapa bulan atau tahun lagi. Tapi tetap saja, yang menentukan itu Tuhan. Bisa
saja kita lebih dulu mati daripada dia, tanpa divonis dokter terlebih dahulu.
Sekali lagi, kita nggak pernah tahu tentang itu. Tentang kejadian yang akan
menimpa kita, termasuk ajal. “ tutur Chika
“ Hmm ya bener ! Inget aja deh Ra,
seperti kata sang idola kita. Andai ku
tahu, kapan tiba ajalku. Kuakan memohon Tuhan tolong panjangkan umurku. Andai ku tahu, malaikatmu kan menjemputku.
Kuakan memohon Tuhan jangan kau ambil nyawaku “ kata Shiren sambil ikut
menyanyikan sebait lagu dari Ungu tadi.
Aku tahu tujuan dari pembicaraan
mereka semua. Ingin menghiburku, dan membuatku tidak terlalu terpuruk akan hal
ini. Apalagi ditambah dengan nyanyian Shiren dengan lagu Ungu. Dengan sengaja
memakai label sang idola. Band favoritku, agar aku bisa bangkit lagi.
“ Kalian semua pada ngomong apa sih ?
“ tanyaku mulai membuka suara pada mereka.
“ Ya ngomong tentang loe sekarang.
Kita nggak tega liat loe kayak gini “ jawab Echa sambil merangkulku.
“ Gue nggak kenapa – napa kok, nggak
usah sampe segitunya kali “ sergahku dengan nada suara yang berusaha kubuat
seceria mungkin.
“ Nggak kenapa – napa gimana ? Udah
satu minggu ini kerjaan loe diem aja dikelas. Murung banget tau nggak ! gimana
kita nggak khawatir ma loe “ kata Shiren
“ Ya gue lagi puasa ngomong aja “
“ Ada lagi pake puasa ngomong . Alasan
apaan sih ? Garing banget tau nggak ! “ kata Chika
“ Ya udah kalo garing nggak usah
dipikirin. Santai aja.. kayak lagu Rhoma Irama.. Santai... Youk kita santai agar otot tidak tegang. Hehehe. Gak usah
dipikirin beiiibyyy “ tuturku sambil membalas rangkulan Echa.
Aku ingin mengembalikan senyumanku
didepan mereka. Aku nggak ingin terlihat terlalu kacau didepan mereka yang
menanti keceriaanku. Aku berusaha kembali tampak ceria dengan memberikan
sedikit tawa dan canda padanya. Aku tidak ingin membawa mereka ikut telibat
dalam masalahku.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku
langsung pergi keparkiran supaya Chiko tak perlu menungguku lebih lama.
Kuhampiri Jazz hitam yang berada paling sudut dekat lapangan basket. Ku melihat
kedalamnya, memastikan ada Chiko atau nggak. Ternyata dia belum sampai.
Kuberdiri bersandar pada mobil Chiko.
Kupandangi keadaan disekitarku. Siswa – siswa yang begitu ramai menuju gerbang
sekolah untuk segera pulang kerumah mereka. Ada yang pulang dengan jalan kaki.
Ada yang menunggu dihalte bus yang tak jauh berada dari sekolah kami. Ada yang
pulang bersama pacarnya. Dan banyak yang membawa kendaraan sendiri.
Mereka semua sibuk dengan pembicaraan
yang sedang mereka bahas. Cewek – cewek update yang selalu mengikuti
perkembangan selebritis, sedang asyik membicarakan tentang kedekatan artis yang
heboh. Ada siswi yang sedang asyik becerita tentang fashion dan blablabla.
Cowok – cowok yang sibuk membicarakan tentang pertandingan sepak bola.
Dan siswa – siswi kelas tiga, yang
sibuk membicarakan tentang persiapan ujian nasional mereka yang tinggal
beberapa bulan lagi. Juga acara perpisahan sekolah dan tempat homestay yang
bagus untuk dikunjungi yang selalu diadakan setiap tahunnya.
Hmm... nggak kerasa, waktu berjalan
begitu cepat. Sebentar lagi aku akan menduduki bangku kelas tiga. Menggantikan
kedudukan mereka sekarang. Termasuk kakakku, Chiko. Yang sebentar lagi dia dan
teman - temannya juga akan meninggalkanku disekolah ini. Dia dan teman –
temannya. Ya temannya Yoga. Mungkin dulu aku sangat bersedih membayangkan waktu
ini akan tiba. Waktu dimana mereka mendapatkan kelulusan dan meninggalkanku
dibangku sekolah menengah atas ini. Tapi sekarang, kesedihanku yang dalam tergantikan
dengan mengingat keadaannya saat ini.
Dia tidak hanya meninggalkanku disekolah ini saja, tapi mungkin dia juga
akan meninggalkanku untuk selamanya.
“ Udah lama nunggu ya dek ? Maaf ya..
Gue tadi sedikit ada urusan ma anak – anak. Ngomongin tentang rencana kita mau
jenguk Yoga” sapa Chiko sambil berjalan membuka pintu mobilnya.
“ Jenguk Yoga ? Jenguk dimana ?
Mangnya Yoga kenapa ? “ tanyaku khawatir mendengar perkataan Chiko.
“ Masuk mobil dulu deh, ntar baru gue
ceritain didalem “ suruh Chiko
Chiko mulai menghidupkan mesin mobilnya.
Dia mulai menyetir dan meninggalkan lingkungan sekolah. Sepanjang jalan Chiko
hanya diam dan tidak berbicara sepatah katapun padaku. Aku menunggu dia membuka
suaranya, mengatakan padaku tentang apa yang terjadi dengan Yoga saat ini. Tapi
sudah lama ku menunggu, Chiko tetap saja diam. Wajahnya tampak serius
memperhatikan jalanan yang ada didepannya.
Dia berusaha bersikap tenang dalam
menyetir mobilnya. Walau tersirat ada tanda kegelisahan dimatanya. Aku tidak
tahan untuk berlama – lama lagi menunggu dia mulai berbicara padaku. Dengan
perasaan yang cemas aku mulai bersuara dan menanyakan keadaan Yoga padanya.
“ Yoga kenapa ? Kenapa kalian ingin
jenguk dia ? Dia baik – baik aja kan ? “ tanyaku dengan nada khawatir.
“ Keadaannya tambah parah. Ini diluar
prakiraan sebelumnya. Yoga mulai mengalami pembengkakan didadanya. Dokter
bilang itu salah satu ciri dari penyakitnya, yaitu pembengkakan dikelenjar
lympanya. Dan sekarang dia sedang dirawat di RS, Mangun Jati. Besok anak – anak
mau rencanain kesana, untuk melihat keadaan dia langsung “
Aku terdiam dan tidak bisa berkata apa
– apa lagi tehadap apa yang diucapkan Chiko. Bagiku ini semua masih terasa
mimpi. Yoga seseorang yang sangat kucintai menderita penyakit Leukimia yang
mematikan. Aku nggak kuasa lagi buat bendung air mataku. Aku pun menangis
dihadapan Chiko. Ingin rasanya untuk menjenguk dan melihat keadaan Yoga, tapi
aku nggak kuat. Badanku serasa lemah dan tidak dapat bergerak bila membayangkan
bagaimana kondisinya sekarang.
Chiko membiarkanku menangis. Dia juga
tidak berusaha untuk menenangkanku dengan cara berbicara padaku. Dia hanya diam
dan terus melajukan mobilnya. Baginya, menenangkanku dengan tidak mengusikku
yang sedang mengeluarkan airmata itu lebih baik. Daripada harus menambahkan
kata – kata yang hanya akan membuat diriku bertambah sedih.
Chiko menghentikan mobilnya. Aku tidak
tahu entah ini sudah sampai dirumah atau dimana. Daritadi aku menutup mataku,
memejamkannya dan membiarkan airmataku tetap mengalir.
Aku mulai membuka mataku, melihat
dimana keberadaanku sekarang. Karna aku merasa ini seperti bukanlah tempat
dimana Chiko biasanya menghentikan mobilnya bila ia sudah sampai dirumah.
Kuarahkan pandanganku pada keadaan sekelilingku. Ya aku merasa memang bukan
berada dirumah.
Aku melihat
banyak mobil – mobil yang berjajaran rapi disini. Dan ada seperti perawat yang keluar masuk bergantian
didepanku. Ku melihat pada papan besar yang bertuliskan RS Mangun Jati. Dan
kini aku tahu, kemana Chiko membawaku pergi.
“ Ayo
turun, kita masuk kedalam “ ajak Chiko padaku
“ Tapi
bukannya loe bilang, loe mau kesini besok sama temen – temen loe lainnya ? “
“ Ya
itu kan sama temen – temen gue. Gue bawa loe sekarang kesini “
“
Kenapa sekarang ? Gue belum siap. Loe aja yang turun dulu. Sampein salam gue ke
Yoga. Gue tunggu disini. “ pintaku pada Chiko
“ Ra
lihat gue ! “ suruh Chiko sambil memutar badanku menghadapnya.
“ Mau
sampe kapan loe kayak gini hah ? Loe tega biarin Yoga sendirian ngadepin
penyakitnya ini ? Ntar kalo Yoga mati sekarang gimana ? Loe sendiri juga yang
nyesel kan karna gak dampingin dia disaat dia sakit ? dan semua penyesalan itu
timbul disaat loe udah liat dia terbaring lemah di keranda tempat
pembaringannya terakhir “
“ Loe
ngomong apa sih ? Loe doain Yoga cepet meninggal ? “ tanyaku dengan suara serak
menahan tangisan yang akan keluar nantinya.
“ Gue
nggak doain dia cepet meninggal. Dia juga sahabat gue ! Sahabat gue sejak SMP.
Gue juga nggak ingin kehilangan dia. Tapi sekarang satu – satunya orang yang
dia butuhin ada disamping dia saat ini adalah Loe ! Adik gue sendiri ! Gue
pengen liat dia bahagia disaat hari – hari terakhirnya. Dan orang yang bisa
ngasih itu semua adalah loe. Dia butuh perhatian loe, dia butuh dukungan dari
loe, dia butuh loe untuk jadi semangat hidupnya. Dia akan bisa bertahan melawan
penyakitnya jika loe ada disamping dia. Loe nggak bisa diem kayak gini terus !
“ tutur Chiko meyakinkanku
“ Tapi
gue nggak bisa Kak. Gue nggak bisa liat keadaan dia yang tersiksa karena
sakitnya. Gue nggak bisa lihat wajahnya dia yang berada dalam kesakitan kayak
gini. Gue nggak tega “ kataku sambil menangis dan membuat seluruh tubuhku
bergetar merasakan kepedihan ini
“ Gue
tahu apa yang loe rasain sekarang. Gue tahu berat buat loe dek, gue juga
ngerasain gimana perih yang loe rasain sekarang. Gue ngerti loe ! Tapi loe
lebih tega lagi kalau loe berlaku seperti ini. Bukan hanya loe nyiksa diri
Yoga, tapi loe juga nyiksa diri loe sendiri. Ayolah deek... cobalah berpikir
dewasa. Loe nggak boleh kekanak – kanakan terus kayak gini. Loe jangan pikirin
diri loe sendri ! loe nggak bisa kayak gini terus. Loe harus kuat ngadepin ini
semua. Semua orang akan meninggal dek ! Loe jangan pernah mikir kesananya ! Loe
lakuin yang terbaik sekarang buat Yoga. Buat Yoga kekasih yang sangat loe
cintai. Tunjukin disini dimana peran loe sebagai kekasih yang benar – benar
mencintai dia. “ jelas Chiko sambil mengusap air mataku yang berjatuhan sejak
tadi.
Dan
untuk kesekian kalinya aku nggak bisa berkata apa – apa. Aku hanya bisa
menangis dan terus menangis. Berat rasanya untuk menerima semua ini.
“ Ayo
lah dek... Ayo sayang ! Kita turun, buat Yoga ! “ ajak Chiko sekali lagi sambil
memegang tanganku. Menguatkanku agar aku mau menerima ajakan dia untuk turun
melihat keadaan Yoga.
Dan
akhirnya aku menyerah. Menyerah untuk terus mengikuti kata hatiku, yang tetap
bersikeras untuk tidak menemui Yoga. Aku sadar apa yang dibilang Chiko benar.
Yoga saat ini membutuhkan aku. Tidak seharusnya aku berlaku seperti ini. Aku
harus bisa menerima semua yang terjadi. Ini adalah takdir. Sebuah cerita
tentang percintaanku yang harus aku lalui. Aku harus kuat. Aku tidak boleh
lemah seperti ini. Terutama ketika berhadapan nanti dengan Yoga. Aku harus
melihatkan ketabahanku atas semua ini. Aku harus bisa memberikan semangat
padanya. Agar bisa melawan penyakitnya ini. Aku harus tersenyum didepannya,
memberikan kekuatan padanya, walau didalam hatiku, aku menangis.
***
“ Gue
harap lo bisa tenang disana. Jangan nunjukin kegelisahan lo ke dia. Buat dia
seceria mungkin “ tutur Chiko sambil terus berjalan membawaku menuju kamar
tempat peristirahatan Yoga
Chiko
terus menggenggam tanganku sepanjang jalan melewati lorong dirumah sakit ini.
Bau obat – obatan yang kian terus menyengat terasa disini, membuatku pusing dan
mual. Ya aku memang tidak suka pada suasana dirumah sakit. Terutama dengan
baunya yang khas. Mungkin itu juga salah satu sebab mengapa aku tidak mau jadi
dokter.
Langkah
Chiko terhenti tepat diruangan 307. Mungkin ini ruangan Yoga dirawat. Kucoba
mengintip ke dalam, memastikan bahwa memang ada Yoga didalamnya. Tapi Chiko
mencegatku. Dia memandangiku dengan tatapan yang dalam. Dia mengaruk – ngaruk
saku celana dibelakangnya. Aku sedikit merasa aneh dengan tingkah laku Chiko.
Entah apa yang dia perbuat, dia tampak seperti orang yang sedang mencari – cari
sesuatu didalam sakunya itu.
Dan dia
mengeluarkan benda yang ada didalamnya. Saputangan. Chiko mulai mengusapkan
saputangannnya ke mataku. Dia ingin menghapus sisa – sisa air mata yang masih
terlihat sangat jelas dimataku. Jarang sekali aku berada didalam suasana ini.
Suasana dimana aku mendapatkan kehangatan dan perhatian seorang kakak yang
biasanya selalu menjahiliku. Bahkan mungkin aku dulu sempat berpikir kalau
Chiko tidak menyayangiku sebagai adiknya. Tapi kini semua anggapan itu bisa
kutepis dengan sempurna. Dia menyayangiku. Dia sungguh memperhatikanku. Dia
menumpahkan semua kasih sayangnya. Aku senang melihat perubahan dia yang cukup
dewasa. Memperhatikanku sebagai adik satu – satunya yang dia punya.
“
Sekarang keliatan lebih baik daripada yang tadi. Yuk masuk ! “ kata Chiko
dengan senyum kehangatannya itu
Chiko
mulai membuka pintu kamar Yoga. Aku menghela nafas dalam – dalam mencoba
mengendalikan semua emosi yang bergejolak dihatiku. Aku menggerak – gerakan
bibirku, sambil sesekali menggigitnya menenangkan hatiku yang cemas dan gelisah
ini.
Dan
kini, aku-pun sudah berada didalam ruangannnya. Bunyi infus terdengar
memecahkan keheningan didalam ruangan itu. Kuputarkan bola mataku melihat seisi
ruangan yang ada. Tak ada satupun orang didalamnya. Hanya ada Yoga yang sedang
berbaring lemah dengan kedua matanya yang tertutup. Sepertinya dia sedang
tertidur pulas. Aku tau dia pasti letih menahan kesakitan yang kian menyesak
didadanya.
“
Kemana keluarganya ? Kok Cuma dia sendiri disini ? “ tanyaku berbisik pada
Chiko.
“
Nyokapnya tadi nelfon gue. Katanya tadi ada urusan penting, jadi dia minta gue
jagain sampe malam nanti disaat mamanya balik. Adeknya masih sekolah, blum
pulang. Kalo bokapnya lo tau ndiri, udah lama ngilang ninggalin keluarganya.
Gak ada kabar sama sekali. Sampe keadaan anaknya sakit parah kayak gini aja,
dia tetap gak dateng. Pergi sama keluarga barunya. Dasar laki – laki bejat !”
kata Chiko.
Ayah
Yoga sudah lama menghilang ??!!! Sungguh aku baru mengetahui semua itu setelah
ucapan dari Chiko tadi. Yoga tidak pernah memberitahuku tentang hal ini. Aku
tidak menyangka Yoga bisa menutupi cerita yang pahit ini dengan begitu rapi.
Aku merasa menyesal sebagai kekasihnya yang tidak mengetahui hal pelik didalam
hidupnya.
“ Dia
jadi cepat lelah karna aktifitasnya sehari –hari. Makanya dia terkena anemia
juga. Memang sih itu juga salah satu dari ciri penyakitnya. Tapi itu jadi
bertambah parah karna dia yang terus bekerja sampe larut malam. Sampe – sampe
dia gak peduliin lagi gimana kesehatannya. Dengan
alasan, gue satu – satunya cowok di keluarga ini. Mau cari uang dimana buat
biayain sekolah gue dan adik gue ? loe tau ndiri bapak gue kabur dari rumah.
Nyokap gue hanyalah seorang ibu rumah tangga yang udah mulai sakit – sakitan. Jadi
gue harus kerja banting tulang buat cari uang ko. Haaah... kata – kata dia
yang selalu buat gue kagum sama pribadi dia. Gue bangga punya sahabat kayak dia
“ jelas Chiko melanjuti pembicaraannya tentang kehidupan Yoga akhir –akhir ini.
Kerja
?? Yoga kerja apa ? Pernyataan apalagi ini ? Mengapa aku sama sekali tidak
mengetahuinya sedikitpun. Mengapa Yoga tidak pernah bilang ini sedikitpun ke
aku ??! Ya Tuhan..... sampe persoalan yang jauh lebih dalam seperti ini tentang
Yoga aku sama sekali tidak tahu. Mungkin ada perasaan marah dalam hatiku
padanya. Marah karna dia tidak memberi tahuku sama sekali tentang ini.
Tapi
kuurungkan niatku, melihat keadaanya sekarang. Aku juga berpikir sejenak
tentang apa yang telah terjadi akhir – akhir ini antara aku dan Yoga. Ya aku
akui, semenjak aku kehilangan Ayahku, aku begitu egois padanya. Aku hanya ingin
selalu diperhatikan sama Yoga. Sedikit saja Yoga berbuat salah, aku langsung
marah dan ngambek padanya. Aku tidak pernah memedulikan pribadinya. Tentang
kehidupannya sekarang. Aku seakan – akan hanya ingin Yoga selalu memberikan
perhatiannya yang penuh padaku. Tanpa ada imbangan dari akunya terhadap dia.
Aku
langsung marah padanya bila dia sedikit saja telat menjemputku dari tempat les
malamku. Aku marah bila dia tidak membalas sms dan mengangkat telfonku. Tanpa menanyakan
terlebih dahulu kenapa dia berlaku demikian. Aku marah bila dia tidak bisa
menemaniku jalan dan pergi kesuatu tempat. Aku marah bila dia tidak bisa pergi
kencan denganku. Tapi dia........ Dia tidak sedikitpun marah padaku. Dia tetap
sabar, dan membalas semuanya dengan senyuman. Dan berusaha menenangkanku,
meredam semua amarahku.
“Yoga....
aku kangen kamu !” batinku lirih berbisik dalam hatiku.
Dan kini aku
tau, semua alasan dia mengapa dia sering melakukan kesalahan kecil seperti itu.
Itu semua karna dia kerja, kerja untuk keluarganya. Dan aku sangat – sangat
menyesal atas sikapku selama ini padanya. Aku yang tak mengerti dia.
“
Maafkan aku Yoga “ bisik hatiku sekali lagi sambil membelai wajahnya yang penuh
dengan kedamaian.
Aku
duduk di kursi kosong disebelah tempat tidurnya. Ku pegang tangannya. Dingin.
Ku lihat wajahnya yang begitu pucat, dadanya yang sudah mulai membengkak.
Sungguh memprihatinkan keadaannya. Aku mencoba untuk tenang, dan untuk tidak mengeluarkan
air mata lagi. Aku ingat pesan Chiko, aku tidak boleh keliatan lemah
dihadapannya.
Dan
ternyata aku tak kuasa untuk itu semua, air mataku menetes saat aku mencium
tangannya. Air mataku jatuh mengenai tangannya. Cepat – cepat aku hapus agar
tak terasa olehnya. Supaya dia tidak terbangun karenaku. Kukecup keningnya. Dan
kejadian bodoh itu terulang lagi. Aku kembali meneteskan airmata sehingga
mengenai keningnya. Dan diapun terbangun dari tidurnya.
“
Debra... “ suaranya lirih menyapaku.
“ Ya
aku... Aku datang disini untukmu. Maafin aku, atas sikapku yang salah kemarin
ini. “ jawabku dengan berusaha tampak seperti biasa.
“ Aku
nggak pernah nyalahin kamu. Jadi kamu nggak perlu minta maaf ke aku sayang.
Dengan datangnya kamu disini itu udah cukup bagiku. “ balasnya yang masih
dengan sikap bodohnya, yang tidak pernah menyalahkanku.
“ Aku
salah Yoga. Aku bersalah terhadap kamu. Aku nggak ngerti kenapa kamu nggak
pernah bisa nyalahin aku sedikitpun, walau sudah jelas – jelas aku terbukti
bersalah. Aku benci dengan keadaan seperti ini Ga. Aku nggak suka ! Aku ingin
kamu marah padaku. Karna aku nggak pernah ngertiin kamu sedikitpun. Aku bukan
cewek yang baik buat kamu. Aku selalu nuntut kamu untuk ada disampingku,
sedangkan aku nggak pernah ada disaat kamu butuh aku. Aku salah Yoga. Kenapa
kamu nggak pernah nyalahin aku sedikitpun ? “ tanyaku dengan beruraian airmata.
“
Karna aku cinta kamu “
“
Bodoh ! Bukan itu jawaban yang aku inginkan. Aku benci kamu. Benci karena kamu
nggak pernah bilang ke aku tentang hal pelik yang kamu hadapi sekarang. Papa
kamu yang sudah lama menghilang, kamu yang selama ini kerja part time untuk
membiayai keluarga kamu. Kenapa kamu nggak pernah bilang semuanya ke aku ? Aku
berhak tahu ini Yoga ! “ bentakku dengan perasaan yang marah bercampur kecewa,
karna tak bisa lagi meredam emosiku.
Yoga
hanya diam dan tidak menjawa pertanyaanku. Aku semakin gila dan tidak bisa lagi
meredam emosiku. Aku menarik – narik tangannya dan berusaha untuk dapatkan
jawaban yang berarti dari mulutnya. Dan Chiko pun langsung menghentikan
tingkahku yang semakin brutal karna tak dapat meredam emosi dan kekecewaanku.
“ Udah
Debra ! Yoga lagi sakit ! Nggak seharusnya kamu membahas hal yang nggak penting
ini sekarang ! Jaga emosi kamu !” bentak Chiko yang marah dengan perbuatanku.
“ Tapi
aku hanya ingin tahu jawabannya. Aku hanya ingin Yoga bersikap jujur dan
terbuka padaku. Aku kecewa........... aku merasa nggak dianggap. Masalah
sepenting ini saja tentang diri Yoga aku nggak tahu. Kekasih macam apa aku kak
???!!” tanyaku dengan perasaan geram dihatiku.
“ Aku
minta maaf Debra ! Aku tahu aku salah. Aku melakukan semua ini, karna aku nggak
ingin nambah beban buat kamunya. Aku nggak mau kalo kamu sampe ikut pusing
dengan masalah aku. Aku....”
“ Itu
jawaban yang bodoh Yoga ! Aku kekasih kamu ! Aku berhak tahu tentang masalah
ini. Seberat apapun itu.. mau itu akan jadi beban dipikiran aku, kamu harus
tetap ngasi tau aku. Pahit dan senengnya kita jalanin bersama. Kita hadapi
semua masalah yang ada berdua. Kamu sendiri kan yang bilang ke aku, kalau kita
harus terbuka satu sama lain. Nggak ada yang boleh ditutupin dari kita. Tapi
ini apa ? kamu sendiri yang nggak bisa ngelakuin apa yang kamu ucapkan. “
kataku yang langsung memotong pembicaraan Yoga tadi.
“ Aku
minta maaf. Tolong jangan salahin aku lagi. Ini bikin aku tersiksa dengan
perasaan bersalah yang terus menghantui aku. Aku mohon maafkan aku.” Jawab Yoga
sambil terbata – bata dan berusaha berbicara dengan menahan rasa sakit
didadanya.
Yoga
semakin menggeram karena menahan rasa sakit didadanya. Yoga memegangi dadanya
yang sudah membengkak itu. Bibirnya semakin pucat. Seluruh badannya bergerak
berusaha mengendalikan dirinya untuk bisa menahan rasa sakit itu. Yoga
berteriak dengan suara yang kencang dan lantang.
“
Aduuuuh sakiiiit !!! “ teriaknya sambil menggigit kerah baju yang dikenakannya.
Entah
apa yang terjadi pada Yoga. Aku bingung. Aku panik melihat dia yang terus –
terusan berteriak menahan rasa sakitnya itu. Aku nggak tahu mesti berbuat apa.
Ini semua pasti salahku. Yoga kembali meraung kesakitan karna pertanyaan
bodohku tadi.
“Ya
Tuhan maafkan aku. Tolong tenangkan Yoga.” gumamku dalam hati yang semakin
panik melihat keadaannya.
Kakakku
Chiko tampak berusaha untuk menenangkan Yoga. Dia juga ikutan panik sama seperti
aku. Tapi dia lebih baik, karna dia masih bertindak sesuatu. Dia masih tahu apa
yang seharusnya dia lakukan. Berbeda dengan aku.
“
Ngapain kamu masih diam seperti ini ? Tolong aku ! Panggilin Dokter !!!” bentak
Chiko memarahiku yang hanya diam dan kepanikan daritadi.
Aku
segera berlari keluar dengan tergopoh – gopoh. Ketakutanku semakin memuncak
mendengar teriakan Yoga yang terdengar sampai keluar kamar.
“Ya
Tuhan ini semua salahku. Aku sungguh menyesal telah melakukan semua ini pada
Yoga. Kenapa aku masih bertindak bodoh dengan pertanyaan yang nggak seharusnya
aku bahas dalam keadaan Yoga seperti ini. Kenapa aku tetap tidak bisa
mengontrol emosiku dalam keadaan begini?? Aku kesini untuk membuat Yoga tenang
dan untuk kesembuhan dia. Bukan untuk membuat dia bertambah sakit lagi. Aku
sungguh bodoh. Kekasih macam apa aku ? Dalam keadaan seperti ini aku tidak bisa
membuat Yoga lebih baik ? Jelas – jelas aku sudah tidak ada selama ini
untuknya. Apalagi setelah aku mengetahui dia menderita penyakit itu. Aku tidak
pernah ada disampingnya untuk merawat keadaannya. Tapi sekarang ketika aku
berada disini, apa yang aku lakukan ?? Dasar gadis bodoh ! Aku benci dengan
diriku !” gumamku dalam hati.
Sepanjang
jalan aku terus mengutuk diriku sendiri. Aku menyesal atas semua kejadian ini.
Aku memang pantas disalahkan atas semua yang terjadi.
“
Sus.. tolong secepatnya antarkan dokter kekamar 307. Pasien disana meradang
kesakitan suster. Ayo cepat ! Keadaannya sangat parah !” pintaku
“ Ya
mbak, kami akan segera kesana. Tunggu didalam saja. Tenangkan dia dulu. “ jawab
suster yang juga ikutan panik dan segera menelfon dokter yang menangani
penyakit Yoga.
Aku
balik lagi berjalan menuju kamar Yoga. Rasanya tidak sanggup lagi untuk masuk
kedalam kamarnya. Aku hanya berdiri diluar. Aku benar – benar takut untuk
masuk. Aku tahu perbuatanku salah dengan berdiam diri diluar. Tapi aku tidak
tahu lagi apa yang bisa aku lakukan dalam keadaan seperti ini. Suara teriakan
Yoga semakin kencang dan masih terdengar jelas ditelingaku. Aku nggak kuasa
lagi untuk membendung air mataku. Aku memeluk tubuhku seerat – eratnya.
Kulipatkan kedua tangan ditubuhku. Dan aku menangis sekencang – kencangnya.
Meski tanpa suara. Hanya gulimangan air mata yang terus membasahi pipiku.
“ Kak
Debra ? Kakak kenapa ? Kok malah nangis diluar ? “ tanya Yoesi adek kandung
Yoga yang baru pulang dari sekolahnya. Adik yoga masih duduk dibangku kelas
satu SMA.
“
Emm.. Kak Yoga ..” belum sempat aku melajutkan ucapanku, teriakan Yoga semakin
kencang dan membuat Yoesi juga ikutan khawatir mendengarnya.
“ Kak
Yoga kenapa kak ? “ tanya Yoesi dengan mimik wajah yang begitu takut dan cemas.
Aku
terdiam. Aku nggak tahu harus menjawab apa terhadap pertanyaan Yoesi. Yoesi
semakin geram dengan sikapku yang hanya bisa diam. Tanpa harus terlalu lama
lagi menunggu jawaban dariku, Yoesi langsung membuka pintu kamar dan masuk melihat
keadaan Yoga. Diiringi dengan Dokter dan suster yang baru datang dan langsung
masuk kedalam.
Entah
apa yang terjadi didalam. Aku masih tidak sanggup untuk masuk. Aku masih
berdiri diluar. Dan nggak lama kemudian terdengar suara orang membuka pintu
kamarnya. Chiko dan Yoesi keluar. Mereka berdiri disampingku. Wajahnya juga
sama denganku. Wajah yang penuh dengan ketakutan dan khawatir terhadap kondisi
Yoga. Mereka berdiri disampingku tapi sama sekali tidak mempedulikanku. Aku
nggak tahu apa ini pertanda kalau mereka marah atas prbuatanku atau memang
dalam kondisi panik terhadap Yoga, sehingga tidak mempedulikan aku.
“ Yoga
sudah mulai tenang. Kami tadi telah memberikan suntikan penenang padanya. Dan
kini dia sedang tertidur. Kalian nggak usah khawatir. Itu hal yang lazim kok
dialami penderita penyakit leukimia. “ tutur Dokter yang baru keluar dari kamar
Yoga.
“ Ya
dok.. makasi. “ jawab Yoesi yang langsung masuk kedalam kamar Yoga.
Dokter
pun langsung pergi berlalu meninggalkan kami semua. Aku masih saja tetap tidak
tenang dengan apa yang terjadi. Meski dokter bilang kami nggak usah khawatir
dengan keadaan Yoga.
“ Ayo
masuk kedalam ! Kita pamit sama Yoesi. Kita langsung pulang saja. Biarkan Yoga
istirahat dulu. “ kata Chiko menarik tanganku untuk masuk kedalam.
“ Dek
kita pamit pulang dulu ya. Yoga juga harus istirahat. Hmm.. kakak juga mau nenangin
Debra dulu. Dia nggak tenang banget kayaknya. Dia khawatir dan takut banget
sama kondisi Yoga. “
“ Iya
kak nggak pa –pa. Makasi ya udah nungguin kak Yoga daritadi. Sekarang biar dek
jaga sendiri. Kak Debra jangan khawatir lagi ya. Kak denger sendiri kan apa
yang dibilang Dokter tadi ? Jadi jangan terlalu panik lagi ya kak. Jangan
nangis lagi. “ tutur Yoesi dengan senyuman manisnya sambil merangkulku.
Yoesi
adalah adik Yoga satu – satunya. Dia juga gadis yang sangat ramah. Wajah
manisnya juga memperlihatkan kalau dia bukanlah gadis yang nakal. Dia juga
sangat dekat denganku. Boleh dibilang kami seperti saudara kandung. Yoesi juga
biasanya selalu curhat denganku tentang masalah yang dihadapinya. Bukan hanya
Yoesi, kedua oarangtuanya juga dekat denganku. Mereka semua ramah dan baik
denganku. Makanya aku begitu senang dengan Yoga dan keluarganya. Bahkan dulu
aku berharap hubunganku dengan Yoga tidak akan pernah berakhir. Aku ingin
selamanya bisa disampingnya. Aku juga sempat berharap bahwa dialah yang akan
mendampingiku dipelaminan nanti. Tapi kini.... semua harapan itu musnah. Sekarang
aku nggak ingin lagi terlalu berharap tentang itu. Harapan yang sia – sia.
******
“
Jangan sampe karna kejadian tadi kamu nggak mau lagi buat ngejenguk dan
ngejagain Yoga disana. Itu Cuma reaksi dari penyakit dia “ kata Chiko
menenangkanku.
Kami
berdua telah sampai dirumah. Sebelum aku masuk kekamar, Chiko menasihatiku dan
menenangkanku dari kejadian tadi.
“
Tapi.. itu semua ada hubungannya dengan pertanyaan gue tadi ke Yoga kan ? “
tanyaku
“
Nggak ada kok, nggak ada hubungannya dengan itu. Loe denger sendiri apa yang
dibilang dokter ke kita, ini cuma reaksi dia doang “
“ Loe
ngomong gini cuma mau nenangin gue doang kan ? Semua yang terjadi pasti ada kan
hubungannya dengan pertanyaan gue tadi ?”
“ Udah
deh dek ! Loe nggak perlu bahas tentang ini lagi. Yang penting sekarang, loe
harus tetap selalu jenguk dan jaga Yoga. Buat dia benar – benar merasa tenang.
Dan manfaatkan waktu yang masih ada untuk loe berdua dengannya. Loe lihat
sendiri kan, gimana senangnya Yoga tadi waktu loe dateng ? Dan gimana senangnya
Yoesi begitu melihat loe ada dirumah sakit. Walaupun belum ada perubahan dengan
Yoga setelah kedatangan loe, tapi adiknya tetap bahagia loe bisa dateng kesana.
Mereka semua nungguin kedatengan loe. Jadi loe nggak boleh berhenti buat jagain
Yoga “ tutur Chiko dengan panjang lebar.
“
Iyaiya... gue bakal jagain Yoga terus kok. Gue masuk dulu. Capek mau istirahat
“ jawabku singkat.
***
Aku
menepati janjiku pada Chiko. Setiap hari aku selalu datang untuk menjenguk
Yoga. Aku selalu menjaganya, bahkan sampe malam. Chiko dan keluargaku juga
tidak pernah mempermasalahkan aku yang selalu pulang malam karnanya. Bahkan
Chiko selalu dengan setia mengantar jemputku ke rumah sakit. Tentu saja, karna
ini juga hal yang sangat diinginkannya.
Aku
juga lebih kuat melihat Yoga yang terkadang sering meraung kesakitan. Memang
benar apa yang dibilang dokter, itu hal yang lazim terjadi. Jadi sekarang itu
sudah menjadi pemandangan yang biasa bagiku. Terkadang bila Yoga dalam keadaan
baik, aku seperti merasakan hal yang sama. Hal yang sama seperti dulu. Disaat
aku belum mengetahui penyakit tentang Yoga. Disaat yang dulu, disaat Yoga yang
masih dalam keadaan biasa – biasa saja, dan sering membuatku tertawa dan nyaman
disampingnya. Yoga yang selalu memberikan ketenangan dan kehangatan padaku.
Kami
juga sering tertawa bersama lagi. Bahkan aku juga sering membawa Yoga keluar
dari kamarnya dan jalan – jalan di halaman rumah sakit. Semuanya benar – benar
baik saja. Aku berharap, aku masih bisa merasakan hal seperti ini dalam waktu
yang cukup lama. Dan tentunya bukan dirumah sakit. Aku ingin membawa Yoga
keluar lagi. Keluar bebas menghadapi indahnya dunia tanpa herus memikirkan
tentang penyakitnya. Semoga saja ini bukan harapan yang semata. Semoga Yoga
benar – benar bisa sembuh dari penyakitnya, walau kemungkinan itu kecil.
“
Ra.... jika aku udah nggak ada nanti, kamu cepat – cepat cari cowok baru ya.
Biar kamu bisa tenang dan bisa lepas dari bayang – bayang aku. “ kata Yoga yang
membuat ku kaget dengan ucapannya.
“ Kamu
ngomong apa sih ? Penyakit kamu itu masih bisa disembuhkan tau nggak ! Kamu
nggak boleh ngomong kayak gitu. Aku nggak suka ! “
“ Kamu
ngomong apa sih Ra ? Penyakit aku itu udah parah banget. Cuma tinggal 2 bulan
lagi. Itupun juga udah hitungan dari mulai dokter ngomong kemarin. Sekarang
udah berjalan satu bulan sejak pembicaraan itu. Cuma nunggu waktu satu bulan
lagi.”
“
Yoga, please ! Aku mohon jangan pernah ngomong tentang itu lagi. Aku nggak
peduli mau itu tinggal berapa bulan, minggu atau beberapa hari lagi, aku bisa
bersama kamu. Tolong jangan pernah bahas itu lagi disaat kita berdua seperti
ini. Biarkan kita melewati hari – hari ini dulu. Hari – hari dimana kita masih
tetap bersama.”
“
Ya... saat – saat terakhirku “
“
Yogaaaa...... ! Jangan pernah bilang seperti itu lagi “
“
Yaya.. Maaf. Tapi kamu janji ya, kamu harus tetap semangat dan jadi diri kamu
yang selalu ceria walau tanpa aku disisimu.”
“ Aku
bilang aku nggak mau lagi bahas tentang itu. Aku nggak akan jawab permintaan
kamu “
“
Yaudah... aku cuma ingin yang terbaik buat kamu. Aku nggak ingin kamu kenapa –
napa. Yang terpenting dalam hidupku, adalah kebahagiaan kamu. Bukan hanya dalam
hidupku saja, tapi juga matiku “
“
Yogaaaa... udah deh ! Berhenti aku bilang ! “
“
Hmm.. iyaiya. Itu omonganku yang terakhir. Aku nggak akan bahas itu lagi “
Aku
nggak sanggup saja membayangkan waktu itu akan terjadi. Waktu dimana Yoga benar
– benar diambil dari kehidupanku. Aku bener – bener nggak mau mendengar Yoga
membahas tentang ini lagi. Aku tau waktu akan terus berlalu dan semakin
mendekati hari itu. Tapi aku yakin, dan percaya dengan keajaiban. Dokter boleh
memvonis dia dalam kurun waktu yang sedikit lagi. Tapi semuanya tergantung pada
Tuhan. Jika Tuhan mengijinkan aku untuk tetap terus bisa bersama Yoga, hari itu
takkan pernah terjadi. Takkan pernah terjadi untuk selamanya. Karna aku
berharap, nggak akan ada yang bisa memisahkan aku dengan Yoga.
And The Time Has
Came............
Udara
yang begitu segar, dan daun – daun yang menari begitu indah. Bunga mawar putih
dan taburan bunga yang lainnya yang semakin mempesona, diatas hamparan rumput
hijau yang luas. Benar – benar pemandangan yang menyejukkan mata.
Aku
memang sengaja ingin memanjakan diriku hari ini. Melepaskan dari segala penat
yang ada. Aku juga nggak tau dengan pasti dimana tepatnya aku berada sekarang.
Yang jelas suasana dan tempat ini begitu berbeda dari tempat – tempat yang
pernah aku kunjungi lainnya. Nyaman dan begitu indah.
Aku
sengaja membaringkan tubuhku diatas rerumputan yang bersih ini. Kupejamkan
mataku dan membiarkanku menghirup udara yang begitu segar ini sepuas – puasnya.
Hmm.... hatiku benar – benar merasa tenang. Seakan semua masalah yang ada
terbang bersama tiupan angin yang sejuk ini. Ku rentangkan tanganku agar tak
ada yang lagi menyesak didadaku. Aku tak tau untuk berapa lama aku akan terus
berbaring disini. Rasanya ingin selamanya aku bisa berada disini, tempat yang
memberi ku ketenangan. Layaknya seperti di surga.
“ Aku
juga sangat menyukai tempat yang indah ini. Seperti surga yang selama ini ingin
kutuju “ tutur seseorang yang ikut berbaring disampingku.
“ Yoga
? Kenapa kamu bisa sampai disini ? Bukannya seharusnya kamu dirumah sakit ? “
Tanyaku heran melihat kedatangannya.
“ Aku
sudah keluar dari rumah sakit. Aku sudah sembuh dan sekarang aku mulai tenang.
Karna aku tak perlu lagi memikirkan tentang penyakitku. Aku tak perlu lagi
harus berteriak menghabiskan suaraku untuk mengaduh kesakitan. Aku juga tidak
perlu lagi memegang dadaku untuk menahan rasa sakit yang bergejolak selama ini.
“
“
Benarkah ? Aku benar – benar bahagia mendengar berita itu. Aku senang bisa
bersama kamu lagi. Dan terus bersama selamanya. “ jawabku dengan hati yang
begitu senang dan lega. Dan dengan reflek aku langsung memeluk tubuh Yoga yang
berbaring disampingku.
Ya
Yoga benar. Tidak ada lagi sesuatu yang membengkak didadanya. Dia benar – benar
kembali seperti diri Yoga yang dulu. Yoga yang sehat dan begitu sempurna dengan
tubuh atletisnya yang tidak perlu diragukan lagi. Aku bahagia menerima kenyataan
bahwa Yoga telah sembuh dari penyakitnya.
“ Ya
Tuhan..... terima kasih telah mengabulkan doaku selama ini. Terima kasih Engkau
telah menyembuhkan Yoga dari
penyakitnya. Aku benar – benar sangat bersyukur. Terima kasih karna tidak
mengambil orang yang aku cintai lagi. Terima kasih karna telah membiarkan aku
tetap bisa bersamanya. Aku nggak akan pernah lepaskan dia. Aku akan menjaganya
sampai waktu akan memanggilku. Karna aku ingin selamanya untuk mencintai
dirinya, Yoga. “ batinku.
“ Aku
punya sesuatu untukmu “ Kata Yoga sambil menatapku dengan sebuah kotak kecil
ditangannya.
Kami
berdua pun langsung duduk dan memfokuskan diri pada sebuah kotak kecil yang ada
ditangan Yoga.
“ Apa
ini ?” tanyaku penasaran pada Yoga.
“ Buka
aja “ jawabnya
Aku
pun langsung mengikuti perintahnya. Aku juga sangat penasaran dengan isi kotak
kecil yang dibawanya. Aku mulai membuka kotak itu dengan kunci yang dikasihkan
Yoga padaku. Dan aku tersenyum begitu mengetahui apa isi didalamnya. Boneka
dolphin yang kecil, gantungan kunci, kalung berlambang G ungu, dan sebuah
surat. Ketiga benda yang begitu bersejarah pada kisah cinta kami berdua.
Gantungan kunci, boneka dolphin yang kecil dan kalung berlambangkan ungu. Aku
sangat mengenal ketiga benda ini. Tapi tidak untuk yang satu itu. Sepucuk surat
berwarna ungu yang aku belum tau apa isinya.
“
Untuk yang pertama, ambil gantungan kuncinya dulu ! “ suruh Yoga padaku. Aku
pun langsung mengambilnya.
“ Kamu
masih inget cerita kita tentang gantungan kunci itu ? “
“
Ya... tentu. Aku tidak akan pernah melupakannya.”
4 Tahun Yang
lalu.................
Aku terdiam menatapi besi yang
menutupi lubang tempat pengaliran air kotor dibawahnya. Hujan yang deras terus
membasahi tubuhku. Aku berusaha memasukkan tenganku disela – sela besi
tersebut. Aku ingin mengambil gantungan kunciku yang terjatuh kedalamnya. Tapi
untunglah belum sampai digenangan airnya. Kalau sudah sampai, bisa – bisa aku
tak akan pernah lagi bertemu dengan gantungan kunci itu karna telah hanyut
bersamanya. Tali dari gantungan kunci itu masih tersangkut pada sesuatu yang
runcing pada besi tersebut. Jadi aku masih ada harapan untuk mendapatkannya
kembali. Tapi tanganku tetap tidak bisa masuk kedalamnya. Aku berusaha terus
mencoba untuk mendapatkannya. Tapi tetap saja tidak bisa.
“ Hei... Kamu kenapa ? Ada yang bisa
aku bantu ? Hujan – hujan gini kok malah berdiri disini sih ? Dekat got lagi...
bau tau ! “ sapa seorang lelaki berparas tampan padaku.
“ Gantungan kunciku tersangkut
didalamnya. Aku ingin mengambilnya. “ jawabku
“ Ya elah... Cuma gantungan kunci.
Bisa dibeli lagi kok. Biarin aja ! Ayo ikut aku ke halte sana, jangan hujan –
hujanan disini. “ katanya.
Aku hanya diam. Aku tidak
mempedulikannya. Aku juga tidak mengenal dia. Buat apa aku ikuti perkataannya.
Bagiku benda ini lebih berharga daripada apapun.
“ Kok masih diam disini sih ? Mang
berarti banget ya ? “ tanyanya lagi padaku. Tapi aku hanya mengangguk saja
padanya. Tidak menjawabnya dengan suaraku.
Lalu laki – laki itu pergi entah
kemana. Hmm... masa bodoh ! Biarin aja. Toh aku juga nggak mengenalnya. Tapi
ada sedikit rasa kesal dihatiku. Aku pikir dia datang kesini ingin menolongku
mengambil gantungan itu. Tapi ternyata tidak. Dia malah pergi entah kemana. Aku
menyesal telah berharap sesuatu yang tidak pasti darinya.
“ Minggir bentar yaa. Aku mau coba
mengambilnya. “ suara itu tiba – tiba muncul lagi dengan kayu runcing
ditangannya.
Sontak aku langsung bergeser dari
tempat itu. Dia langsung menunduk dan mencoba mengail – ngail dan berusaha
untuk dapatkan kunci itu. Dia tidak mempedulikan hujan deras yang seperti batu
jatuh pada tubuh dan mukanya. Aku saja sudah merasa kesakitan karena tetesan
hujan yang jatuh begitu keras rasanya. Seragam sekolah yang dikenakannya juga
ikut kotor karena usahanya itu. Tapi beruntung usahanya tidak sia – sia. Dia
berhasil mendapatkan gantungan itu kembali.
“ Nih gantungannya. Sayang udah kotor.
Tapi bisa dicuci lagi kok.” Katanya sambil memberikan gantungan kunci itu
padaku. Dia tersenyum padaku. Senyum yang begitu indah. Aku merasa bersalah
karena telah berburuk sangka padanya tadi sewaktu dia pergi meninggalkanku.
Ternyata dia pergi untuk mencari kayu runcing itu.
“ Makasih banyak ya.. maaf udah
ngeropotin” kataku dengan singkat. Aku bingung harus berkata apa lagi padanya.
Aku terdiam karna kagum dengan perbuatannya padaku. Dia lelaki yang baik.
Tapi... aku juga cukup terpesona dengan ketampanannya.
“ Iya sama – sama. Lain kali hati –
hati ya. Jangan sampe jatuh lagi “ katanya membalas ucapanku.
Lalu dia pergi berlalu meninggalkanku.
Tanpa harus berkenalan denganku. Dia hanya benar – benar berniat untuk
menolongku saja. Aku pikir sehabis dia menolongku, dia akan menanya namaku dan
kita berkenalan. Tapi ini ternyata tidak. Aku tidak mengetahui namanya dan juga
sekolahnya dimana. Kalau begitu gimana caranya aku bisa bertemu dengan dia lagi
? Arrghh.... bodoh. Kenapa tidak langsung saja tanyakan namanya tadi. Walau
sedikit malu karna perempuan yang bertanya dulu. Tapi nggak apa – apa daripada
seperti ini. Dan ini.... untuk pertama kalinya aku merasakan deg – degan dan
salah tingkah didepan cowok dalam usiaku yang baru beranjak 13 tahun, tepatnya
aku yang masih menduduki bangku pertama di sekolah menengah pertama. Mungkin
ini yang bisa dibilang cinta monyet. Tapi bagiku tidak... ini mungkin yang
dinamakan cinta pertama.
“ Pertemuan pertama kita yang nggak
akan pernah aku lupakan. Dimana aku dengan polosnya berpikir tujuan kamu waktu
itu untuk berkenalan denganku. Tapi ternyata tidak... malu dan kecewa. Itu yang
aku rasakan. “ tuturku dengan tersenyum mengingat kejadian itu.
“ Aku menolong kamu, karna aku pernah
liat foto kamu di dompet Chiko, sahabatku. Jadi sewaktu liat kamu aku tahu,
kalau kamu adek Chiko. Jadi aku langsung bantu. Nggak ada niat sama sekali buat
kenalan. Karna aku sudah kenal kamu. “ jawabnya yang juga ikutan tersenyum
karna mengingat pertemuan kita waktu itu.
“ Tapi pertemuan itu yang bikin aku
jatuh cinta sama kamu. Walaupun usia ku masih kecil, dan masih terbilang cinta
monyet, tapi tidak bagiku. Bagiku pertemuan pertama itu adalah pertemuan dimana
aku bisa merasakan yang namanya cinta pertama. “
“ Ya... bukan hanya kamu. Tapi aku
juga. Makanya sejak pertemuan kita itu, aku jadi sering main kerumah kamu.
Dengan alasan ingin pergi main kerumah Chiko. Padahal sebenarnya ingin ketemu
kamu. Aku sudah berulang kali menyatakan kepada Chiko bahawa aku suka padamu.
Tapi Chiko belum mengijinkan aku. Dia melarang keras aku untuk mendekati kamu.
Dan aku bersabar menunggu kamu sampe lulus dari bangku SMP. Dan disaat itulah,
penantianku selama ini tidak sia – sia. Dan usahaku yang selalu terus – terusan
meminta izin pada Chiko untuk memacari kamu membuahkan hasil. Chiko merestui
aku dan kamu, dengan menyerahkan semua jawabannya padamu.”
“ Dan penembakan itupun terjadi dengan
dua pilhan. Mawar putih sebagai tanda kalau aku ingin dan menerima kamu jadi
pacar aku. Sedangkan kalung berlambang ungu, yang artinya aku hanya menganggap
kamu sebagai kakakku sendiri. Dan itu tandanya, aku menolak kamu.” Sahutku
memotong ucapannya.
“ Dan kamu mengambil kalung
berlambangkan ungu. Yang membuatku benar – benar kecewa waktu itu. Aku sedih
karna penantianku selama ini sungguh sia – sia. “ jawabnya lagi.
“ Aku masih ingat dengan dialog kita
waktu itu, aku pilih ini. Kalung
berlambangkan ungu. Maaf...... dan aku diam untuk sejenak. Lalu melanjutkan
ucapanku Tapi bukan berarti aku menolak
kakak. Kata siapa aku nggak ingin jadi pacar kakak. Ini juga hal yang sudah
lama aku tunggu – tunggu sejak aku masih duduk dibangku SMP. Trus kamu
nanya, Trus kenapa kamu malah ngambil
kalung itu ? Bukannya kalau terima aku, harus pilih bunga. Dan
jawabanku....”
“ Udah
basi, nerima penembakan cowok dengan bunga. Lagian aku juga nggak suka bunga.
Aku suka ungu.... band yang dari dulu sampe sekarang dan mungkin untuk
selamanya akan selalu jadi idolaku. Kalung ini sudah lama aku cari – cari. Tapi
susah banget ngedapetinnya, aku juga udah muter – muter carinya, bolak – balik
kantor trinity tapi jawabannya selalu habis. Makanya aku nggak mau nolak yang
ini, jelas – jelas ada didepan mata kenapa malah pilih yang lain ? rugi
banget..... apalagi aku ngedapetinnya gratis, nggak bayar. Hehehe.... itu
kan kan jawaban kamu ? “ jawab Yoga yang dengan fasihnya hafal dengan kata –
kataku.
“ hahaha... bener banget ! nggak ada
satu kata pun yang tertinggal . “ jawabku sambil tertawa bersamanya. Seneng
banget bisa berada dalam suasana seperti ini lagi. Dimana aku bisa tertawa
lepas lagi dengannya.
“ Dan yang ketiga, boneka dolphin.
Kejadian yang paling indah yang pernah aku alami bersama kamu. Liburan kita ke
pulau yang indah waktu itu. Di perjalanan, disaat kita berdua memandangi laut
yang luas, kita melihat lumba – lumba dari kejauhan. Entah itu tahayul
darimana, kamu tiba – tiba nyuruh aku buat make a wish. Dan dengan begonya aku
malah ngikutin kamu. Berharap kita akan bisa selamanya. Selamanya dan tak kan
pernah terpisahkan. “
“ Dan setelah itu aku merengek minta
dibelikan boneka dolphin yang besar padamu. “ lanjutku
“Dolphin yang besar terlalu mahal,
uangku nggak cukup buat beliinnya. Dan akhirnya, aku beliin yang kecil ini aja.
Dengan alasan..... bonekanya boleh kecil, tapi cinta aku ke kamu jauh lebih
besar dari apapun itu.” Tuturnya.
“ Kata – kata yang gombal yang
membuatku juga langsung terenyuh dan menerima semuanya dengan senang hati. “
balasku
“ Mungkin kedengarannya memang
gomabal, tapi itu yang sebenarnya kok. Dari lubuk hatiku yang paling dalam. “
jawab Yoga.
“ Okey.. dan yang sekarang terakhir.
Surat berwarna ungu. Apa ini ? “ tanyaku padanya.
“ Hmmm........ “
“ Kriiiiiiingg.....kriiiiiiingg...krriiiiiingg
“ alarmku berbunyi begitu keras.
Sepertinya
ini sudah terlalu lama aku tertidur. Tertidur ?? berarti apa yang semua aku
alami tadi hanyalah mimpi ? Arrghh... kenapa tidak jadi kenyataan saja ? Yoga
yang benar – benar sembuh. Tapi tunggu ! Mimpi aku yang dulu. Mimpi aku tentang
Yoga akan meninggalkanku. Suatu pertanda buruk dan ya hal itu memang terjadi.
Yoga benar – benar menderita sebuah penyakit yang mematikan. Itu artinya mimpi
aku itu benar. Dan bukan merupakan kebalikannya. Malah kenyataan. Dan berarti
mimpi aku sekarang juga akan jadi kenyataan dong ?? mimpi dimana Yoga sembuh.
Itu artinya Yoga benar – benar akan sembuh.
****
Yoga
melihat keadaan sekelilingnya. Sepi dan tak berpenghuni. Hanya ada dia dengan
bunyi tetesan infus yang memecahkan keheningan diruangan itu. Jam dinding
dikamar Yoga terus berdetak kian kencang. Detak jam, menit dan detiknya terus
bergerak dan menunjuk pada pukul sembilan malam. Memang masih senja, tapi
rasanya sudah sangat larut malam begitu melihat ruangan yang ditempati Yoga.
Karna begitu sepi dan sangat hampa.
Yoga
melirik sebuah buku kosong yang bersampulkan putih polos dimeja samping dekat
tempat tidurnya. Yoga mencoba memaksakan diri untuk bangkit dari tempat
tidurnya. Dia merobek bagian tengah buku itu, dan mengambil satu lembar kertas
kosong. Dibukanya laci satu per satu untuk temukan pena atau pensil. Yoga
menemukannya.
Jari
jemarinya bergerak dengan sangat cepat merangkai kata demi kata menjadi sebuah
kalimat yang berarti. Entah apa yang ditulis Yoga dan untuk siapa dia
membuatnya. Yoga memang ingin membuat sebuah surat untuk seseorang yang butuh
penjelasan darinya. Air mata Yoga tampak menetes satu persatu membasahi kertas
yang sedang ditulisnya. Keliatan sangat sulit dan begitu perih ketika Yoga
harus menulis sebuah surat yang isinya tertuju pada sebuah cinta yang selalu
ada dihatinya.
Surat
itu kemudian dilipat dan dimasukkan kedalam sebuah amplop putih yang ada diatas
meja Yoga. Sebelum dia menutup surat itu, Yoga membuka dompetnya yang merupakan
pemberian dari Debra, sebagai hadiah ulang tahunnya tiga bulan yang lalu.
Dikeluarkannya sebuah foto dari dompet itu. Yoga tertegun memandangi foto
tersebut. Bibir tipisnya yang lembut menyunggingkan senyum kebahagiaan ketika melihat
foto itu. Jari Yoga bergerak mengusap foto itu dengan lembut. Membelai rambut
wanita yang ada didalamnya. Dan untuk kemudian air mata Yoga kembali menetes
membasahinya. Yoga mengangkat foto itu dan menciuminya dengan perasaan sayang
dan sedih yang begitu dalam. Air matanya mulai bercucuran tak menentu.
Nafas
Yoga mulai sesak. Dia memegangi dadanya yang mulai bergerak turun naik dengan
nafas yang tak stabil lagi. Cepat – cepat dimasukkannya foto itu dalam sebuah
amplop tadi. Yoga mulai membuak kotak yang sedari tadi sudah ada dimeja
sampingnya itu. Dengan berusaha menahan sakit yang bergejolak didadanya, Yoga
mulai meraba – raba meraih telepon genggamnya yang terletak lumayan jauh dari
tempat tidurnya. Dengan tertatih – tatih Yoga mencoba berdiri dan meraih
ponselnya tersebut. ketika Yoga berhasil mendapatkannya, dia langsung mencari-cari
nama Niko dikontaknya. Dan Yoga langsung memencet tombol hijau ketika mendapati
nomor Niko.
“
Hallo Yoga ? “ terdengar suara orang dari seberang telepon yang sudah tahu
dengan jelas siapa yang yang meneleponnya.
“
Niko.. gue butuh lo. Please sekarang datang juga kerumah sakit” pinta Yoga
dengan suara yang serak dan sangat sesak.
Yoga
tidak bisa melanjutkan kata – katanya lagi. Yoga mulai tak kuasa menahan rasa
sakit yang terus bergejolak didadanya. Yoga kembali memegang erat dadanya,
berusaha untuk tenangkan dirinya. Dan....... Bruuuk !! ponsel itu terjatuh.
“Yoga.....
lo gak pa – pa kan ? “ suara orang diponsel itu masih terdengar sangat jelas
dan tampak sangat khawatir.
Yoga
tak bisa meraih ponselnya kembali. Kepalanya mulai pusing dan badannya sangat
lemah. Dan untuk kemudian dia mulai tidak berdaya lagi.
“
BRRUUUUUK !!! “
Yoga
terjatuh dan tak sadarkan diri lagi.
***
Hiruk
pikuk suasana Jakarta dipagi hari begitu terasa. Murid – murid sekolah yang
ramai dan berkejar – kejaran untuk menaiki bus yang akan mengantarkan mereka ke
sekolah. Orang – orang kantoran yang bergegas ingin segera sampai kekantor
mereka. Halte tempat menunggu pemberhentian bus sangat bising dengan suara
orang yang tak sabar menunggu busnya datang.
Hmmm....
ini pertama kalinya aku merasakan kembali suasana dalam menunggu bus untuk
pergi ke sekolah. Setelah sekian lama aku selalu pergi dengan mobil bersama
Chiko. Atau dijemput langsung oleh Yoga.
Hari
ini aku memang ingin pergi kesekolah sendirian naik bus yang biasanya
mengantarkan aku sampai di sekolah. Entah mengapa rasanya aku ingin sekali
pergi naik bus hari ini. Mungkin salah satu tujuan aku mengapa ingin sekali
naik bus, adalah karna ingin berada lagi di halte ini. Halte tempat pertemuan
ku untuk yang pertama kalinya dengan Yoga. Tempat yang sangat bersejarah
bagiku. Mungkin suasana yang begitu ramai membuat orang tak betah lama – lama
ingin disini. Tapi sangat berbeda denganku, rasanya aku ingin sekali berlama –
lama berada ditempat ini. Mengingat semua kenangan manis itu terjadi disini.
Tapi tentu saja tidak mungkin berlama – lama, karna bisa – bisa aku telat
sampai disekolah. Da akhirnya bus yang ku tunggu – tunggu datang juga. Aku
mulai menaiki bus dan segera menuju kesekolah.
Hati
ku merasa tenang sekali hari ini. Mengingat semua kejadian di mimpi tadi yang membuat
ku kembali bersemangat dengan harapan Yoga benar – benar akan sembuh. Uuppzz...
! aku lupa memberitahukan Chiko perihal mimpi itu. Tapi ntar juga ketemu dia
disekolah.
Hari
ini karna tidak berangkat dengannya, makanya aku tak melihat dia dari pagi. Aku
memang bangun terlalu pagi dan cepat – cepat berangkat ke sekolah, karna jarak
halte dari rumahku cukup jauh, bila harus ditempuh dengan jalan kaki. Makanya
aku harus berangkat lebih pagi, agar tidak telat sampai disekolahnya. Aku sudah
berangkat, tapi Chiko belum juga bangun. Jadi aku tak bertemu dia sedari tadi.
Kakiku
mulai menginjaki gerbang sekolah. Suasana sekolah yang masih sepi. Dedaunan
berwana coklat kering yang sudah jatuh dari pohonnya bertebaran dihalaman
sekolah. Tampak Mas Nanok, penjaga sekolah yang sedang sibuk membersihkannya.
Kuhirup udara yang masih segar ini, hmmm.... semakin membuat hatiku begitu
tenang. Ternyata datang pagi – pagi kesekolah sangat menyenangkan.
Aku
berjalan menuju kelasku. Sepanjang jalan ku lihat pintu – pintu kelas lain
masih terkunci. Mungkin karna sibuk membersihkan halaman, Mas Nanok jadi lupa
untuk membukakan kunci pintu kelas. Tapi....... aneh ! Begitu ku dorong pintu
kelasku, dia langsung terbuka. Tak ada satu orangpun didalamnya. Hmmm... ini
sedikit aneh, karna disaat semua kelas yang lainnya tertutup, hanya ada kelas
aku yang terbuka dan tak terkunci. Sebuah kebetulan yang menjadi tanda tanya
bagiku.
Ku
berjalan menghampiri bangkuku. Tampak sebuah kotak kecil yang berada diatas
mejaku. Kotak apa ini ? Mengapa tiba – tiba berada dimejaku ? Ku pandangi
setiap sudut kotak ini. Sepertinya kotak ini sudah pernah kulihat. Tapi dimana
ya ? Aku masih bingung, dan melihat lebih teliti lagi. Kupandangi setiap celah
yang ada dikotak tersebut. Ya !! tidak salah lagi ! Ini kotak yang berada
dimimpiku semalam.
Aku
langsung kegirangan ketika mendapati kotak ini ada dihadapanku. Dengan semangat
yang menggebu – gebu, aku langsung membukanya, melihat apa isi didalam kotak
ini. Sambil berharap didalam hati, isinya sama dengan yang ada didalam mimpiku.
Agar aku semakin yakin, mimpiku akan jadi sebuah kenyataan. Termasuk Yoga yang
sudah sembuh.
Boneka
dolphin, gantungan kunci, kalung berlambang ungu dan sebuah amplop yang pasti
sudah jelas berisikan surat. Ya.. persis sama dengan apa yang ada didalam
mimpiku tadi malam. Mataku langsung tertuju pada sebuah amplop putih yang
berada didalamnya. Karna ketiga benda lain sudah pasti kukenal dan aku tau apa
arti dari semuanya. Cuma hanya sebuah amplop ini yang masih membuatku penasaran
dengan isinya dimimpiku semalam.
Aku
sudah yakin ini pasti pemberian dari Yoga. Cepat – cepat aku membuka amplop
ini. Ada sebuah surat dan foto. Ya... foto kami berdua. Aku dengan memakai
pakaian putih yang bertuliskan “mate” dengan tulisan yang berwarnakan ungu. Dan
Yoga yang sama denganku. Pakaian putih yang juga ada tulisannya. Tapi
tulisannya berbeda denganku. Pakaian Yoga bertuliskan “ soul “. Yang jika kita
berdua berdekatan, maka akan tergabung menjadi “ SOULMATE “. Ya... ini adalah
baju couple kami berdua. Yoga memang sengaja membuatkannya untukku. Dengan
tulisan dibelakangnya, “ I Love Debra “ untuk pakaian Yoga, dan “ I love Yoga”
untuk pakaianku.
Suasana
diatas kapal dengan rambutku yang terkibas angin. Yoga merangkulku dengan
meletakkan tangannya dibahuku. Kepalanya menyentuh kepalaku, yang membuat pipi
kita dengan sengaja bersentuhan. Senyum manis Yoga terlihat di foto itu sungguh
mempesona. Matanya yang penuh damai, dan bibir tipisnya dengan sedikit jenggot
kecil dibawah bibirnya. Aku masih ingat, itu adalah permintaanku. Permintaanku
pada Yoga untuk menumbuhkan jenggot kecil dibawah bibirnya. Aku memang sengaja
meminta itu padanya. Tentu saja, karna alasan aku ingin dia tampak seperti
Pasha Ungu yang semakin mempesona dengan jenggot kecilnya itu.
Mungkin
kalau boleh mengajukan sebuah permintaan, aku ingin dikirimkan seorang lelaki
yang sangat mirip dengan Pasha Ungu untuk menjadi kekasihku. Atau kalau boleh,
permak saja wajah Yoga dan jadikannya mirip dengan Pasha Ungu. Tapi jelas saja
itu semua tak mingkin, jadi aku sedikit meminta hal – hal kecil seperti itu
saja pada Yoga.
Dan
Yoga menuruti permintaanku. Bukan dia yang dengan sengaja membuat jenggotnya
itu tumbuh dibawah bibirnya. Tapi memang selama ini, jenggot kecil itu selalu
tumbuh dibawah bibir Yoga. Tapi Yoga selalu mencukurnya. Tapi karna kali ini
permintaanku agar ia tidak mencukurnya, dia pun mengikutinya. Dan ya, memang
dia tampak ganteng sekali dengan jenggot kecilnya itu.
“
Wew... Debra yang dulu kembali lagi ni. Debra yang selalu datang pagi – pagi
dan selalu tersenyum. “ sapa Shiren yang tiba – tiba sudah ada didalam kelas.
Ternyata sekolah sudah mulai ramai. Aku sama sekali tidak menyadarinya.
“
Senyum – senyum ngeliatin apa sih Ra ? “ tanya Chika.
“
Apaan sih ?? Gue liat doooonggg !” rengek Echa yang langsung menarik foto itu
yang sedang ku genggam erat dengan tanganku. Dan.........
“
Kkrreeek “ foto itu sobek dan terbelah dua.
“ Echa
!!! “ bentakku padanya.
“
Maaf.. aku nggak sengaja ! “ jawab Echa yang penuh dengan perasaan bersalah.
“
Minta baik – baik kenapa sih ? Toh gue juga bakal liatin ke kalian semua. Gak
usah rebut – rebut gitu. Jadi robek gini kan fotonya ! “ kataku dengan nada
suara yang kesal.
“ Tau
nih Cha. Kebiasaan deh.... “ sahut shiren.
“ Tapi
tunggu... aneh ya ! Coba lihat deh... kok bisa robeknya pas banget ditengah –
tengah gini “ tutur Chika.
“
Maksud loe ? “ tanyaku yang tak mengerti dengan ucapan Chika.
“ Iya
aneh banget. Biasanya kalaupun foto itu robek, gak mungkin banget kan robeknya
tepat ditengah – tengah gini dan membuat dua orang ada difoto ini terpisah
dengan sangat rapi dan jelas, gak ada satupun anggota tubuh mereka masing – masing
yang tersisa di foto sebelahnya. Ya kecuali tangan Chiko yang memang berada
dibahunya Debra. “ jelas Chika.
“ Iya
ya ?? kok bisa ? aneh banget ! “ kata Shiren meng-iyakan apa yang dibilang
Chika.
Hatiku
mulai tak enak mendengar apa yang diucapkan Chika. Perasaan ku yang sedari tadi
begitu tenang, kini tiba – tiba saja berubah menjadi sangat galau, cemas dan
takut. Batinku seperti membenarkan apa yang dibilang Chika. Mengapa semuanya
bisa begini ? Mengapa fotonya harus terbelah dengan rapi memisahkan kami berdua
antara aku dan Yoga. Mengapa semuanya bisa kebetulan seperti ini ? Sungguh
sebuah kejadian yang sangat aneh !
Raut
mukaku langsung berubah seketika. Aku begitu takut, kalau – kalau ini menjadi
sebuah pertanda kalau aku memang akan dipisahkan dari Yoga. Oh... tidak !
Sebuah kenyataan yang tak pernah aku inginkan dan membuatku takut setiap kali
mengingatnya. Shiren dan Echa menyadari perubahan pada mukaku. Mereka pun ikut
merasakan kegetiran hatiku saat ini.
“ Mana
? biasa aja kok Ka.. gue juga sering ngeliat seperti ini “ tutur Echa dengan
suara lantang dan penuh yakin untuk menenangkanku. Agar aku tak terpengaruh
dengan ucapan Chika tadi. Shiren pun langsung mengerti dengan maksud dibalik
ucapan Echa.
“
Ehm.. iya- iya ! gue baru inget dulu kakak gue juga pernah ngalamin seperti
ini. Tapi nggak ada apa – apa kok. Semuanya baik – baik aja. “ balas Shiren
dengan terbata – bata berusaha berbohong menutupi kagalauanku.
“
Nggak... Chika bener. Kalian berdua Cuma mau nenangin gue kan ?” kataku dengan
suara serak.
Aku
baru inget, kalau aku belum memberitahukan kepada Chiko tentang mimpiku
semalam. Dengan adanya kotak ini, aku yakin Chiko pasti akan mempercayai aku.
Dan nggak berpikir yang tidak – tidak seperti yang diucapkan mereka. Walau
Shiren dan Echa sengaja tidak meng-iya-kan, padahal aku tahu dengan pasti kalau
mereka semua berbohong menutupi kegalauanku. Aku langsung berlari keluar kelas
dengan sebuah kotak kecil, untuk menemui Chiko sebelum bel masuk berbunyi,
meninggalkan mereka semua yang sedang terpaku menatapku. Aku yakin Chiko juga
pasti sudah mengetahui sesuatu tentang keadaan Yoga. Keadaan dimana Yoga sudah
kembali pulih dan sehat.
Dua
lelaki berlari dengan sangat terburu – buru menuju meja piket. Langkah mereka
yang sangat tergesa – gesa diikuti dengan wajah mereka yang tampak begitu cemas
dan khawatir. Chiko dan Niko ! Ya mereka berdua, tampak berlari terengah –
engah menuju keluar sekolah. Ada apa dengan mereka ? Bukannya sebentar lagi bel
masuk berbunyi ? Mengapa mereka malah pergi keluar ? Untuk apa dan dengan
tujuan apa ? Mengapa wajah mereka tampak begitu cemas ? Apa yang sebenarnya
terjadi ?
Mataku
mulai tertuju pada kelas tiga yang berada dilantai atas. Semuanya tampak panik,
dan khawatir. Ada juga diantara mereka yang mengeluarkan air mata. Kejadian apa
lagi ini ? Mengapa semuanya juga ikutan panik ? Apa ini ada hubungannya dengan
Yoga ? Ahh.... pikiranku mulai bergelut dengan pertanyaan yang tak menentu.
Hatiku semakin galau. Pikiranku semakin kacau. Pertanyaan – pertanyaan bodoh
dan mengerikan sontak hinggap dipikiranku.
Dan
kalau memang ini ada hubungannya dengan Yoga, mengapa Chiko tidak memberitahuku
? Mengapa dia malah pergi sendiri dengan tidak mempedulikan aku yang sebagai
kekasih Yoga ? Ahh... mungkin memang
tidak ada hubungannya dengan Yoga. Lalu kalau memang tidak ada, apa yang
sebenarnya terjadi. Mengapa bayangan wajah Yoga selalu hinggap dipikiranku ?
Mengapa hanya ada dia yang terbayang olehku ? Mungkinkah itu benar – benar
menyangkut dia ? Pikiranku semakin kacau tak menentu.
Kuambil
ponsel dari saku bajuku. Kucoba otak – atik dan mencari nama Chiko dikontakku. Aku
langsung memencet tombol hijau agar secepatnya tersambung padanya. Beberapa
kali aku mencoba, selalu saja gagal. Dan AAKKHHH !! Tidak ada jaringan !!
Kenyataan tolol apalagi ini ???!! Kenapa tiba – tiba saja tak ada jaringan ?? Kenapa
hilang tiba – tiba ? Sungguh sesuatu yang menyebalkan ditengah – ditengah keadaan
seperti ini.
Kumencoba
dan terus mencoba agar bisa tersambung padanya. Tapi tetap saja tidak bisa. Sungguh
ini benar – benar membuatku jengkel dan marah. Dan..... “ Tiiit...Tiiit..Tiiit
“ ponselku berbunyi tiga kali dengan nada sebagai tanda bahwa ponselku akan
segera mati. Dan ya... ponselku sekarang benar – benar mati. Aku lupa mencasnya
semalam, sepulang dari rumah sakit ponselku sudah mulai lowbat. Tapi sesampai
dirumah aku langsung tidur dan lupa mencasnya. Dan kini, dia benar – benar mati
total disaat aku sangat membutuhkannya.
Aku
langsung berbalik menuju kelasku dengan kotak kecil yang masih berada
digenggaman tanganku. Aku ingin meminjam handphone Shiren untuuntukimenelepon
Chiko. Agar aku bisa dapat jawaban yang pasti darinya. Kuberlari dengan nafas
yang terengah – engah. Aku semakin kacau dan galau. Takut dengan semua bayangan
– bayangan bodoh yang hinggap dipikiranku. Aku semakin geram ketika harus
berhadapan lagi dengan wajahnya. Mengapa harus dia lagi yang terbayang olehku ?
Kenapa firasatku selalu mengatakan kalau ini ada hubungannya dengan dia ? Apa
yang terjadi pada Yoga ? Kenapa orang tampak begitu cemas ? Ya Tuhan... bantu
aku keluar dari teka – teki busuk ini.
“
Shiren.. aku pinjam handphone kamu ya, aku mau menelepon Chiko. Tadi aku liat
dia lari dengan tergesa – gesa sama Niko. Aku takut ini ada hubungannya dengan
Yoga “ tuturku pada Shiren.
Mereka
bertiga saling melirik satu sama lain. Dan untuk kemudian menatapku dengan
wajah yang iba. Ada apa lagi ini ?
“ Kalian
semua pada kenapa sih ? Kok malah ikut – ikutan panik gini ? “ tanyaku yang
semakin tak mengerti dengan semua yang terjadi.
“ Emm...
kita ki--ta denger ka-kalau... “ jawab Echa dengan terbata – bata
“
Dengar apa ? Ngomong yang jelas dong ! “ pintaku
Hentakan
kaki yang sedang berjalan dengan tergesa – gesa terdengar dari lantai atas.
Tepatnya dari kelas tiga. Tampak mereka semua menyandang tas dan bersama – sama
berjalan menuju keluar sekolah. Ada yang mengusap air matanya. Ada yang
berusaha tampak dengan jelas mengendalikan dirinya.
“Ya Tuhan...
jangan bilang ini menyangkut dengan Yoga !” pintaku sambil merintih berharap
didalam hati.
“ Kita
langsung kerumah duka atau kerumah sakit aja dulu ?” terdengar suara seorang
siswi kelas tiga yang bertanya pada temannya.
“ Emang ada
yang tahu rumah Yoga dimana ? “ tanya teman disebelahnya
“ Gue tahu
kok, kemarin ini gue sempat lewat didepan rumahnya “ sahut seseorang lagi.
Rumah duka ?
Rumah Yoga ? Apa maksud mereka bilang seperti itu ? mengapa mereka bilang rumah
Yoga adalah rumah duka???? Pikiranku semakin kalut dan batinku semakin tak enak
mendengar perkataan itu.
“ Hey... apa
maksud kalian ngomong rumah Yoga rumah duka ??! Kalian semua mau doain Yoga
cepat meninggal hah ??!!!” tanyaku geram pada mereka, sehingga aku sendiri lupa
akan mereka kakak kelasku, yang seharusnya aku bicara lebih sopan padanya.
Lagi –
lagi semuanya hanya diam, dan tak mau berbicara yang jujur padaku. Mereka semua
malah menatapku dengan hiba. Aku benci dengan keadaan yang seperti ini ! Aku
nggak ingin diberlakukan seperti ini ! Emosiku semakin menyulut dan tak teredam
lagi.
“
Kenapa kalian semua malah menatapku dengan tatapan bodoh seperti itu ? Kalian
pikir aku butuh dikasihani ? Aku butuh jawaban dari kalian ! Apa maksud kalian
berbicara seperti itu hah ? Yoga itu belum meninggal ! Dia masih hidup ! Aku
punya buktinya ! Jadi jangan bicara sembarangan seperti itu !!” bentakku pada
mereka.
“
Debra... jaga emosi kamu ! Mereka itu kakak kelas kita !” tutur Shiren
menenangkanku.
“ Gue
nggak peduli ! Mereka ngedoain Yoga meninggal Ren... gue nggak terima !”
sergahku
Mereka
semua tidak mempedulikan omonganku. Mereka juga keliatannya sama sekali tidak
marah dengan aku yang telah membentak – bentak mereka. Malah mereka menatapku
dengan tatapan yang ku benci itu. Lalu mereka semua berlalu pergi
meninggalkanku. Diikuti dengan anak – anak kelas tiga lainnya yang beramai –
ramai pergi menuju gerbang sekolah.
Pengeras suara
sekolah mulai mengeluarkan bunyi – bunyi gesekan mic yang kedengarannya sedang
dipegang oleh seseorang, seperti ada sebuah pengumuman yang akan segera
disampaikan kepada siswa – siswinya. Jantungku semakin berdetak kencang, rasa
kekhawatiranku semakin memuncak dan tak menentu lagi.
“
Innalillahiwainnailaihirojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah salah seorang
siswa dari kelas tiga, bernama Ariyoga Beraldi jam lima pagi dini hari karna
penyakit yang telah dideritanya Leukimia Mielositik Kronis atau LMK “ kata
seorang guru mengumumkan berita pahit itu.
“
Nggak.... nggak mungkin ! Pasti itu bukan Yoga ! pengumuman itu salah
menyebutkan namanya “ kataku tak percaya dengan semuanya.
“
Debra sabar sayang.. itu memang Yoga. Pengumuman itu memang benar ! “ sahut
mereka sahabat – sahabatku yang berusaha menenangkanku.
“
TIDAAAAAK !!!!!!!” teriakku yang langsung berlari ketempat sumber suara
pengumuman itu.
Ini
pasti nggak mungkin. Guru itu pasti salah menyebutkannya. Dia keliru memakai
nama Yoga dalam beritanya itu. Ak harus segera kesana. Menuntut guru itu agar
meralat kembali beritanya. Yoga nggak mungkin meninggal dalam waktu yang
secepat ini. dia masih mempunyai waktu satu bulan untuk bertahan hidup. Dan
mimpiku... dia tidak akan meninggal secepat ini. mimpiku mengatakan kalau Yoga
sembuh. Aku sama sekali tidak percaya dengan semua berita yang ada. Aku yakin
ini hanyalah kabar burung yang sama sekali tak ada kebenarannya.
“
Buk... ralat berita itu lagi. Yoga belum meninggal ! Yoga masih hidup ! “
kataku sewaktu tiba diruang pengeras suara, tempat pengumuman disampaikan
“ Ibuk
tidak mungkin salah Debra. Tadi pihak sekolah mendapat telepon dari rumah
sakit, tepatnya dari keluarga Yoga. Yoga telah meninggal jam lima tadi pagi, setelah
mengalami koma dari jam setengah sepuluh malam “ tutur Guru itu dengan
yakinnya.
“ Koma
? Nggak mungkin buk... ! Yoga masih baik – baik aja. Kemaren sore saya masih
disana. Dan keadaan dia sangat baik, jadi Yoga nggak mungkin koma, saya yakin
itu buk. “
“
Nggak ada yang pernah tahu kapan ajal itu akan menjemput Debra. Yoga benar
–benar udah meninggal, kamu harus percaya itu !”
“
Cukup buk ! Jangan pernah bilang kata itu lagi didepan saya ! Yoga itu masih
hidup !!!! “ bentakku yang semakin tak bisa meredam emosiku
“ Kamu
lihat keluar, semua siswa kelas tiga sudah pergi bersiap – siap menuju rumah
Yoga. Kami semua mau melayat dan mengantarkan Yoga ke tempat istirahat
terakhirnya. Dan bukan siswa kelas tiga saja, yang lainnya juga pada banyak
yang ikut pergi “
Aku
langsung mengalihkan pandanganku keluar kendela. Kuliat semakin banyak murid –
murid yang berhamburan keluar sekolah. Ya Tuhan... semuanya semakin menguatkan
kenyataan kalau Yoga benar –benar telah pergi. Apa yang masih bisa kulakukan ?
Apa aku harus mempercayai kenyataan ini ? Tidak ! Sama sekali tidak boleh ! Aku
punya bukti ini. Kotak kecil pemberian Yoga dimimpiku sebagai tanda kalau dia
telah sehat kembali.
Kukejar
mereka yang mulai mengerubungi pintu keluar sekolah, untuk segera pergi kerumah
Yoga. Aku ingin mencegah mereka. Agar mereka tak secepatnya percaya dengan
berita busuk ini. Kurentangkan tanganku ketika mereka akan segera melintasiku.
Kucegat mereka agar tak pergi kerumah Yoga.
“
Kalian mau kemana ? Nggak boleh ! Kalian nggak boleh ke rumah Yoga ! Dia belum
meninggal !!! “ pintaku pada mereka.
“
Debra.. kasih mereka jalan. Tujuan mereka baik untuk mendoakan kepergian Yoga !
“ kata Chika yang juga ikut berdiri disebelah orang banyak itu
“
Siapa yang bilang Yoga pergi ? Yoga masih hidup Chika ! Kak Viola... kakak yang
dekat dengan Yoga, kakak pasti tau. Yoga belum meninggal kan kak ? Yoga masih
hidup kan ? “ pintaku pada seorang siswi kelas tiga, sahabat cewek Yoga yang
sedang berada didalam kerumunan orang banyak itu.
Kakak
itu langsung memeluk ku dengan diikuti tangisan yang terhisak hisak darinya.
Dia mengusap rambutku dengan lembut, dan mengusap – usap punggungku. Dan untuk
kemudian dia berkata, “ Sabar ya dek ! Kamu harus kuat ! “ katanya yang langung
melepaskan pelukannya dan berlalau meninggalkanku yang terdiam mendengar kata –
katanya
Aku
nggak bisa berbuat apa – apa lagi. Kak Viola... orang yang sangat kupercaya.
Dia tidak mungkin berbohong padaku. Lalu benarkah Yoga telah pergi meninggalkanku
untuk selamanya ? Mengapa harus secepat ini Ya Allah....? Rasanya baru kemarin
aku bertemu dengan dia. Disebuah halte yang memberikan kenangan terindah
bagiku. Lalu kenapa dia harus diambil secepat ini ?
Mengapa
harus ada pertemuan bila akhirnya aku harus dipisahkan dari dia ? Mengapa kita
harus ditakdirkan bersama sejak empat tahun yang lalu, kalau itu takkan
berujung selamanya ? Mengapa waktu berjalan begitu cepat, meninggalkan semua
cerita tentang aku dan dia. Kita yang dulu tertawa bersama, menyanyi bersama,
dan segala aktifitas yang selalu kulakukan dengannya, dan dia yang menghiburku
dalam tangisan kepergian Ayahku. Dan sekarang dia pergi meninggalkanku ? Lalu
siapa yang akan mengiburku dalam tangisan kepergiannya ? Ya Tuhan.... bantu aku
mengendalikan diriku. Bantu aku yakin dengan semua yang terjadi. Tunjukan aku
suatu kebenaran yang masih bisa membuatku tersenyum dengan harapan bahwa Yoga
masih hidup.
Langkahku
mengalun dengan cepat. Aku berlari sekencang – kencangnya menuju rumah sakit
yang cukup jauh dari sekolahku. Aku tak tau lagi harus berbuat apa dalam
keadaan seperti ini. Aku langsung mengambil langkah cepat dengan berlari menuju
rumah sakit, sambil membawa kotak kecil yang sedari tadi terus berada
ditanganku.
Air
mata yang selalu bercucuran dipipiku, membuatku semakin kacau. Aku terus
berlari dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuhku. Dan tak ada barang
apapun lagi, kecuali kotak itu. Sambil terus mengusap air mata yang semakin
banyak menetes, aku mempercepat langkahku sambil terus berteriak layaknya
seperti orang gila, menyuarakan kalau Yoga masih hidup.
Semua orang
memandangku dengan tatapan yang aneh, dan ada juga dengan tatapan ngeri
menyangka aku adalah orang gila yang sedang kehilangan kekasihnya. Ya.. mungkin
aku memang telah gila. Gila karena kekasih yang tak mungkin secepat itu pegi
meninggalkanku. Dia yang dulu pernah berjanji bahwa dia takkan pernah
meninggalkanku untuk selamanya. Dan apa kenyataan yang telah ada sekarang ??
Ini adalah kenyataan bodoh yang sama sekali tak harus kupercaya.
Kakiku
mulai goyah. Aku mulai lemah dan tak kuat lagi. Kuarahkan pandanganku pada
jalan yang ada dihadapanku. Ini masih cukup jauh. Rumah sakit Yoga belum
terlihat sama sekali. Rasanya kaki ini tak kuat lagi untuk melangkah. Aku benar
– benar lelah, setelah tadi disekolah aku terus berlari untuk temukan jawaban
dari semua ini.
Kuperiksa
kantongku, berharap ada uang ribuan yang masih bisa kupergunakan untuk naik
angkutan umum menuju rumah sakit Yoga. Kosong ! sama sekali tidak ada. Semua
uangku ada didompet yang berada ditas sekolahku. Tasku masih berada didalam
kelas. Aku tidak mungkin balik kesana mengambilnya. Kakiku benar – benar nggak
kuat lagi.
Tapi
aku tidak boleh menyerah. Ini semua buat Yoga. Yoga pasti membutuhkan aku
berada disampingnya saat ini. Aku tidak boleh lemah. Aku harus kuat !
Kugerakkan
kakiku lagi, kupaksakan dia terus melangkah, walau dengan tertatih – tatih.
Jalanan ibukota yang penuh dengan debu semakin membuat nafasku sesak setelah
tadi tidak stabil lagi karna berlari terengah – engah. Asap kendaraan bermotor
yang semakin menyulut. Ahh.... berapa lama lagi aku bisa sampai dirumah sakit
Yoga ? Berapa lama lagi aku harus bisa bertahan dengan keadaan jalanan seperti
ini.
Aku
terus memaksakan kakiku berlari sekencang – kencangnya. Bagaimanapun caranya,
aku harus bisa sampai secepat mungkin disana. Kutempuh jalan alternatif yang
bisa membuatku secepatnya sampai. Dan... ya sedikit lagi. Aku telah melihat
gedung RS itu, walau dari jauh. Aku semakin bersemangat untuk bisa secepatnya
masuk dan bertemu Yoga.
Dan usahaku
tidak sia – sia. Kini aku telah berada di halaman rumah sakitnya. Sebuah
perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Tapi demi Yoga, aku rela menempuh
semua itu. Aku langsung berjalan dengan tergesa – gesa menuju kamar Yoga. Ingin
rasanya berlari, tapi kakiku sudah tidak kuat lagi.
Tapi belum
sampai aku dikamar Yoga, aku melihat Chiko dan keluarga Yoga lainnya berjalan
kearahku dengan mengiringi suster – suster yang tampak sedang membawa seseorang
yang tertidur diranjang itu dengan wajah yang telah ditutupi dengan kain putih.
Ya
benar.. Chiko bukan bermaksud berjalan menuju kearahku. tapi dia berjalan
menuju pintu keluar rumah sakit dengan mengiringi pasien yang telah terbaring
lemah itu. Mungkinkah itu Yoga ?? Ya Tuhan... perasaanku semakin campur aduk
dan tak menentu lagi. Kuhentikan mereka semua ketika mereka berpapasan
denganku. Mataku langsung tertuju pada pasien yang telah tertutupi dengan kain
putih yang panjang itu. Kubuka kain yang sejak tadi menutupi wajahnya. YOGA
!!!! Laki – laki ini benar – benar Yoga ! Bibir kecilnya yang lembut kini
tampak begitu pucat. Matanya yang telah tertutup, tangannya yang sangat dingin,
tergulai lemah dan sama sekali tidak bergerak. Benarkah Yoga sudah meninggal
???!!!! Tubuhku semakin lemah, rasanya mau ambruk dan jatuh pingsan mengahadapi
kenyataan ini.
“
Debra... biarin suster itu mengantarkan Yoga ke ambulans dulu. Kita langsung
saja kerumah Yoga yuk sayang “ tutur Chiko memegangi tubuhku yang gemetaran
ketika melihat keadaan Yoga seperti ini. Aku tidak bisa menjawab perkataan
Chiko. Mataku hanya tertuju pada Yoga. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku
darinya.
“
Yoga... kamu bisa dengar aku kan ? Kamu mau pulang ya sayang ? Kamu pasti sudah
sembuh kan ? “ kataku dengan suara yang serak dan terbata – bata. Begitu sulit
rasanya mengucapkan sepatah kata saja
Tapi
tubuh yang terbaring dihadapanku hanya diam. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
Dia juga tidak bergerak sama sekali menyahuti ucapanku. Aku ingin berbicara
dengannya. Aku ingin mendengar suaranya lagi. Walau itu untuk yang terakhir
kalinya. Ini tidak adil rasanya, dia pergi tanpa meninggalkan pesan terakhirnya
dengan berbicara padaku. Ya Tuhan... berikan nyawa buat dia lagi. Buat dia bisa
berbicara denganku kembali, izinkan aku untuk memeluknya, berada didalam dekapan
hangatnya, mendengar suara lembutnya berbisik ditelingaku. Izinkan aku
merasakan semua itu kembali.
“
Dek... udahlah sayang. Yoga nggak akan bisa menjawab pertanyaan kamu. Ayo kita
pergi sekarang dek ! “ ajak Chiko dengan mata merah setelah habis mengeluarkan
air mata. Dia mengajakku dengan suara hiba melihat keadaanku seperti ini.
“
Nggak kak, aku yakin Yoga pasti akan menjawab pertanyaanku. Yoga.. yoga kamu
lihat ini. Ini kotak kecil yang kamu berikan pada aku kan sayang ?? Tadi malam
ini juga ada dimimpiku. Kamu memberikan ini dengan badan yang tampak begitu
sehat. Kamu udah sembuh Yoga disana. Kamu jangan becandain aku lagi dong
disini, ayo bangun sekarang ! “
“
Debra... udah dek ! Please berhenti berbicara seperti itu ! “
“ Yoga
lihat... barang – barang yang ada didalam ini, semuanya persis sama dengan yang
ada dimimpiku tadi. Dan ini.. ada foto kita berdua. Tapi...... tapi........
fotonya tadi sobek gara – gara Echa. Tapi nggak apa – apa, kita bisa
menyambungnya lagi. Kita kasih lem sayang “ tuturku yang tak memedulikan Chiko
dan yang lainnya yang terus berusaha untuk menenangkanku.
“
Debra berhenti gue bilang ! Loe jangan bikin gue tambah sedih dengan liat
keadaan loe kayak gini dek ! Gue nggak kuat ngeliat keadaan loe Ra !! “ suara
Chiko semakin mengeras diikuti dengan Niko, Yoesi, Mama dan beberapa orang
lainnya yang terus mencegatku melanjutkan kata – kata bodohku.
“
Yoga... aku baca suratnya ya, ini ada dua Yoga. Aku buka yang pertama aja ya. “
kataku sambil membuka surat pertama yang diberikan Yoga. Sebuah syair lagu,
tentang keabadian cinta. Ini adalah lagu favorite kita berdua. Kita sering
menyanyikannya bersama. Lagu dari Ungu, Ku Ingin Selamanya.
Cinta adalah misteri dalam hidupku
Yang tak pernah ku tau akhirnya
Namun tak seperti cintaku pada dirimu
Yang harus tergenapi dalam kisah
hidupku
Ku ingin selamanya mencintai dirimu
Sampai saat ku akan menutup mata dan
hidupku
Ku ingin selamanya ada disampingmu
Menyayangi dirimu sampai waktu kan
memanggilku
Kuberharap abadi dalam hidupku
Mencintaimu bahagia untukku
Karna kasihku hanya untuk dirimu
Selamanya kan tetap milikmu
Direlung sukmamu ku melabuhkan seluruh
cintaku
Dihembus nafasku kuabadikan seluruh
kasih dan sayangku
By : Kekasihmu “ Yoga”
Aku
menyanyikan lagu itu padanya dengan berbisik ditelinganya. Air mataku tak
pernah berhenti mengalir dipipiku. Berat bagiku untuk terima kenyataan yang
pahit ini. Aku juga tidak temukan tanda – tanda bahwa Yoga masih hidup. Dia
benar – benar keliatan tenang. Dia benar –benar telah pergi dan takkan mungkin
kembali lagi. Aku memeluk erat tubuhnya, ku letakkan kepalaku didadanya. Sama
sekali tak ada degupan jantung yang bergetak. Hatiku semakin pilu dan aku
menagis sekencang – kencangnya. Semua orang berusaha menahanku, agar air mataku
tak sampai jatuh ditubuhnya. Tapi aku masih ingin memeluknya, menciuminya untuk
yang terakhir kalinya.
Aku
berusaha untuk lepaskan pegangan orang padaku. Kuusap air mataku agar tak ada
tersisa lagi. Dan ku langsung mengecup keningnya. Cukup lama. Dalam cium dan
dekapanku padanya, ku mencoba untuk ikhlas. Mengikhlaskan kepergiannya, mungkin
itu salah satu hal yang diinginkan oleh semua orang terhadapku. Membiarkannya
tenang dialam sana.
***
Di
Pemakaman...............
Hamapran bunga
bertabur merata diatas tanah kuburannya. Siraman air terus dilakukan oleh orang
yang melayat mengantarkan Yoga ke tempat peristirahatannya terakhir. Tangisan
dari beberapa orang masih terdengar jelas ditelingaku. Aku hanya terdiam dan
terpaku menatap kuburannya. Suasana haru masih terasa dipemakaman ini. Air
mataku terus menetes tanpa ada suara lagi dari mulutku. Aku mencoba bersikap
tenang walau itu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada dihatiku sekarang.
Hatiku yang berkecamuk, hatiku yang sangat pilu mendapati Yoga yang telah
terkubur didalam sana.
Kini tiada lagi Yoga kekasih yang
sangat aku cintai. Tiada lagi suara merdunya yang senantiasa membangunkanku
dipagi hari. Tiada lagi nyanyian yang indah terdengar dari mulutnya. Senyum
manis dari bibir kecilnya yang selalu memberikanku ketenangan kini telah
hilang. Tatapan matanya yang begitu teduh kini telah sirna. Dekapan hangatnya
takkan mungkin kudapat lagi.
Dia telah pergi..... pergi untuk
selamanya. Dan takkan mungkin kembali lagi. Kekasih yang begitu sabar akan
sikapku yang begitu kekanak – kanakan padanya. Yoga yang selalu memberikanku
nasehat yang sangat berarti. Sungguh sangat memilukan, untuk melepas semua
kenanganku bersamanya.
“ Kotak itu, aku yang meletakkannya
dikelasmu. Pagi – pagi sekali aku sudah sampai disekolah, melakukan permintaan
Yoga. Dia meneleponku sekitar jam sembilanan malam tadi. Dia menyuruhku untuk
segera kerumah sakit, dia mau minta tolong sesuatu. Dan ketika dia meneleponku,
dia langsung ambruk dan jatuh koma. dia memintaku untuk mengantarkan kotak ini
padamu. Setelah mengalami koma, pukul lima pagi tadi, dia menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Dia menuliskan surat terakhir itu untukmu, didetik –
detik terakhirnya akan dijemput Sang Maha Kuasa. Aku yakin, dibalik surat itu
ada sebuah pesan terakhirnya untukmu. “ Tutur Niko menjelaskan semua
kejadiannya dari awal disaat pemakaman sudah mulai sepi. Aku hanya terdiam dan
tak menjawab perkataan Niko sedikitpun.
“ Dek.. kita pulang yuk sayang, udah
sore banget. Kamu pasti lelah “ ajak Chiko
“ Duluan aja, gue masih pengen disini
“ jawabku dengan nada datar dan pandangan kosong
“ Gue tunggu dimobil aja ya. “ sahut
Chiko. Aku mengangguk iya.
Chiko dan Niko kemudian berjalan
meninggalkanku sendiri dipemakaman Yoga. Mereka sangat mengerti dengan
permintaanku yang masih ingin berada disini. Aku mulai mencerna semua ucapan
Niko tadi. Ada pesan terakhir untukku didalam suratnya. Ya.. mungkin suratnya
yang kedua. Kotak itu masih kubawa sampai ke pemakaman ini. Aku buka benda
kecil ini, dan mengambil surat yang kedua yang diberikan Yoga padaku. Sebuah
pesan terakhirnya untukku.
Jakarta,
4 Maret 2010
Dear
Mylovely......
Debra..............mungkin kamu
membaca surat ini disaat aku telah tiada lagi disampingmu. Disaat aku telah
pergi meninggalkan dunia ini dan dirimu untuk selamanya. Tapi yang pergi adalah
ragaku, bukan jiwaku. Jiwaku akan selalu tetap ada untukmu. Jiwaku akan selalu
menyertaimu. Dan cintaku akan selalu ada untukmu. Cintaku takkan hilang ditelan
waktu, meski ragaku telah tiada lagi bersamamu.
Maafkan aku harus pergi secepat ini
meninggalkanmu. Bukannya aku tak menepati janjiku padamu. Janjiku yang akan
selamanya selalu bersamamu. Tapi ini adalah takdir. Takdir yang harus kita
lalui. Mungkin kalau aku boleh mengajukan suatu permintaan pada Tuhan,
permintaan pertamaku adalah jangan ambil nyawaku. Biarkan aku terus bisa
bersamamu untuk selamanya. Tapi itu tak mungkin lagi, penyakitku sudah benar –
benar akut. Dan jujur aku sendiri tidak kuasa lagi untuk menahan rasa sakit
ini.
Kata maaf selalu terucap dari mulutku
untuk dirimu yang telah terluka olehku. Maafkan aku yang tak memberitahukanmu
tentang penyakit yang selama ini kuderita. Berat bagiku unutk menyatakan ini
semua padamu. Karna aku masih ber-angan penyakitku masih bisa sembuh, sehingga
aku tak perlu melihat air matamu jatuh ketika kamu nanti mengetahui penyakitku.
Aku tidak pernah membayangkan, bila aku harus berhadapan dengan penyakit yang
mematikan ini. Sehingga aku sendiri terkadang sangat sulit untuk menerimanya.
Bagiku saja sudah sangat sulit, apalagi dirimu. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana keadaanmu bila aku memberitahukan hal ini padamu. Aku benar – benar
nggak sanggup melihat air matamu jatuh dihadapanku. Asal kamu tahu, tujuan
dalam hidupku hanyalah satu. Yaitu ingin membuat wanita – wanita yang sangat
aku cintai, melihatnya tersenyum bahagia, dan bukannya bersedih. Dan wanita aku
cintai itu adalah mamaku, Yoesi, dan kamu, kekasihku. Jadi maafkan aku, bila
selama ini aku harus menyembunyikannya darimu. Itu semua kulakukan karna aku
tak ingin melihatmu bersedih. Aku tak ingin melihat air matamu. Aku hanya ingin
kau selalu bahagia disampingku.
Dan pertanyaanmu tentang Ayahku dan
kerja part time yang selama ini aku lakukan, aku akan menjawabnya sekarang.
Ayahku memang telah lama menghilang, dan aku memang tak pernah
memberitahukannya padamu. Kejadian itu tak lama setelah Ayahmu meninggal karena
kebakaran itu. Aku nggak mungkin memberitahukannya padamu disaat kamu juga mengalami
hal yang sama. Yaitu sama – sama kehilangan seorang Ayah. Aku melihat kamu jauh
lebih terpukul dari aku. Jika aku kasi tahu kamu, sama aja aku nggak ngerti
dengan keadaan kamunya. Jelas – jelas kamu juga lagi bersedih, malah aku buat
kamu jadi tambah sedih lagi dengan masalah aku. Jujur, ini juga sangat buat aku
terpukul. Aku nggak mau lihat kesedihan aku ke-kamu, karna aku nggak mau jadi
beban buat kamu. Karna sekali lagi, disisa – sisa hidupku yang terakhir, aku
hanya ingin melihat kamu bahagia, bukannya bersedih.
Soal kerja part-time, aku memang
sengaja nggak kasih tahu kamu, karna alasan yang sama. Aku ingin membahagiakan
kalian semua disisa – sisa hidupku. Mungkin aku memang egois, aku hanya
menuruti keinginanku. Dan kesannya tidak mengahrgai kamu sebagai kekasihku. Tapi
aku nggak punya permintaan lain diakhir hidupku selain membahagiakan kalian
semua.
Maafkan aku sayang.... maaf banget ! Aku tau
cara aku salah, tapi aku nggak punya pilihan lain. Dan terakhir....... kamu
tahu kan, semua tujuanku tiada lain hanyalah ingin kamu bahagia. Aku
mohon....selepas aku pergi, tolonglah jadi diri kamu yang dulu. Jadi diri Debra
yang selalu ceria. Aku minta kamu kuat menghadapi semuanya, dan jangan terlalu
bersedih akan kepergianku, karna hal itu akan jauh membuatku lebih sedih di alam
sana. Dan....... bukalah hati kamu buat orang lain. Jangan pernah tutup hatimu,
untuk menerima kehadiran cinta yang baru yang bisa buat kamu bahagia. Cintailah
dia nanti dengan sepernuh hatimu. Bahagiakan dirimu untuk aku. Aku yang telah
berada dialam yang berbeda.......
I will always love you, kekasihku
Dalam hidupku hanya dirimu satu
I will always need you, cintaku
Selamanya takkan pernah terganti
From
:
Someone
loving You >> Ariyoga
Beraldi